Isolasi wilayah di sejumlah negara karena Covid-19 tidak lantas membuat narkoba berhenti masuk Tanah Air.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·5 menit baca
Ajakan untuk berdamai dengan virus korona jenis baru rupanya juga diikuti para penyelundup narkotika. Di tengah risiko penularan dan meningkatnya pengawasan pintu-pintu gerbang masuk ke Indonesia, mereka tetap bergerilya mencari jalan alternatif untuk memastikan narkoba sampai ke tangan pecandu.
Wadah dan bungkusan berisi narkoba bertumpuk, berjajar di atas meja, di Lapangan Promoter Kepolisian Daerah Metro Jaya, Jakarta, Kamis (2/7/2020) pagi. Jika merujuk pada data, isi wadah dan bungkusan itu merupakan 1,2 ton sabu, 35.000 butir ekstasi, dan 410 kilogram ganja. Semuanya barang bukti dari pengungkapan kasus-kasus kurun Mei-Juni oleh Satuan Tugas Khusus Polri—atau juga dikenal sebagai Satgassus Merah Putih—serta oleh Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya.
Barang-barang itu digelar sebelum dimusnahkan dengan mesin pemusnah. Saking banyaknya, sebagian barang bukti dibawa ke Rumah Sakit Pusat TNI Angkatan Darat Gatot Subroto untuk dimusnahkan di unit insinerator di sana, karena kapasitas mesin pemusnah di Polda Metro Jaya kurang memadai.
Yang fantastis, barang bukti sabu 1,2 ton—lebih dari bobot kosong satu mobil multi guna (MPV)—hanya berasal dari dua penggerebekan, yakni 22 Mei di Serang, Banten, dengan barang bukti 821 kilogram, serta 3 Juni di Sukabumi, Jawa Barat, dengan barang bukti 402 kg. Ini mendemonstrasikan betapa sindikat transaksi narkoba tak lekang oleh korona, mengingat mereka bergerilya memasukkan narkoba ketika pandemi mendera dengan hebatnya.
Hingga Jumat malam, Coronavirus Resource Center Universitas Johns Hopkins di Amerika Serikat mencatat, kasus positif Covid-19 secara global sudah mencapai 10,89 juta kasus dengan 521.874 di antaranya berakhir pada kematian. Di Indonesia, data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada Jumat (3/7/2020) pukul 12.00 menunjukkan, ada 60.695 kasus positif dengan 3.036 orang meninggal.
Pengungkapan kasus narkoba oleh polisi pada masa pandemi pun bukan dua-tiga saja. Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Nana Sudjana, misalnya, menyebutkan, tingkat pengungkapan masalah narkoba oleh pihaknya cukup tinggi akhir-akhir ini, antara 15-20 setiap hari. Sebelumnya, dari Maret ke April 2020, kasus peredaran narkoba meningkat 120 persen.
Badan Reserse Kriminal Polri bersama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan lewat Operasi Halilintar sejak 20 Mei mengungkap peredaran narkoba dengan barang bukti 159 kg sabu, 3.000 butir ekstasi, dan 300 pil happy five.
Di Sumatera Utara, Badan Narkotika Nasional (BNN) bulan ini mengungkap upaya penyelundupan sabu asal Malaysia dengan barang bukti 40 kg. Modusnya, pelaku dari Indonesia menjemput langsung barang di Malaysia. Masih di provinsi yang sama, personel Polda Sumatera Utara di awal Juni menembak mati seorang pengendali sabu di atas sebuah kapal. Barang buktinya 35 kg sabu, juga dari Malaysia.
Di ranah narkoba internasional, terdapat dua kelompok besar sindikat, yaitu Kelompok Timur Tengah serta Kelompok China dan Segitiga Emas (daratan Asia Tenggara, termasuk Myanmar, Laos, dan Thailand).
Kepala BNN Komisaris Jenderal Heru Winarko menuturkan, kebijakan isolasi wilayah di sejumlah negara tidak lantas membuat narkoba berhenti masuk Tanah Air. Sindikat pengedar mencari beragam cara alternatif.
”Teknologi informasi membantu peredaran narkotika. Perlu diingat, narkoba masih mengintai kita meski dalam masa pandemi ini. Untuk mengelabui petugas, bandar menyelipkan narkoba ke barang atau jasa ekspedisi dan pengiriman,” kata Heru seusai konferensi pers daring menjelang Hari Antinarkoba Internasional di Jakarta (Kompas, 13/6/2020).
Jangan-jangan, Covid-19 malah memberi angin segar bagi para penjahat narkoba karena mereka paham, para penegak hukum sedang disibukkan dengan urusan menekan laju penyebaran Covid-19. Polisi mengawasi perdagangan masker dan cairan pembersih tangan yang harganya sempat melonjak karena kepanikan. Selain itu, ikut berpatroli memastikan masyarakat patuh jalankan protokol kesehatan.
Namun, Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) lewat publikasi berjudul Synthetic Drugs in East and Southeast Asia: Latest developments and challenges, Mei 2020, menyebut masih aktifnya peredaran narkoba selama pandemi Covid-19 belum tentu sebagai dampak dari adanya pandemi tersebut. Sebab, aktivitas pasar gelap memang punya fleksibilitas untuk menyesuaikan diri dengan segala krisis. Sebelum korona menyerang dunia, krisis-krisis sudah dihadapi para penyelundup, seperti berkurangnya suplai serta meningkatnya pengamanan pada sejumlah jalur perdagangan obat.
Ada misalnya penyelundup yang memanfaatkan jalur transportasi kargo resmi, tetapi itu hanya satu dari sekian banyak metode mengirimkan narkoba lintas negara. Pengangkutan kargo yang sekarang tertekan Covid-19 tidak terlalu berpengaruh pada perdagangan gelap narkotika.
Lewat publikasi lain bertajuk COVID-19 and the drug supply chain: from production and trafficking to use, UNODC mencontohkan, di Eropa sejumlah kelompok pengedar umumnya memanfaatkan kurir untuk membawa kokain masuk ke negara tujuan. Namun, penurunan drastis jumlah penerbangan sipil akibat Covid-19 membuat pengedar kemungkinan besar beralih ke metode lain.
Otoritas Belgia, misalnya, mengindikasikan penurunan lalu lintas udara memengaruhi cara kokain diperdagangkan, dan melihat adanya kenaikan transportasi kargo via laut dari Amerika Selatan ke Eropa. Pengungkapan-pengungkapan terkini terhadap penyelundupan kokain di pelabuhan-pelabuhan Eropa menunjukkan, pengangkutan kokain lewat pelayaran masih berjalan.
Pengungkapan Satgassus Merah Putih dengan barang bukti sabu 821 kg di Serang dan 402 kg di Sukabumi, juga menunjukkan kondisi serupa. Sabu pada kedua kasus berasal dari Iran dan dikirim dengan kapal.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo menuturkan, sindikat pengedar narkoba mempelajari dan menyurvei semua jalur transportasi untuk memastikan bisa memasukkan barang secara aman. Di ranah narkoba internasional, terdapat dua kelompok besar sindikat, yaitu Kelompok Timur Tengah serta Kelompok China dan Segitiga Emas (daratan Asia Tenggara, termasuk Myanmar, Laos, dan Thailand).
Pengiriman narkoba Kelompok Timur Tengah menuju Indonesia biasanya melewati jalur Samudra Hindia, kemudian masuk ke pantai barat Aceh, lantas ke selatan Pulau Jawa. “Untuk yang dari China, masuk dari China melalui Myanmar dan terus lewat jalur Selat Malaka. Dari situ, masuk lewat jalur utara (Jawa),” kata Listyo.
Obat keras
Kepala Polri Jenderal Pol Idham Azis menuturkan, obat untuk memberantas peredaran narkoba adalah tindakan tegas. Ia pun mengajak jaksa dan hakim untuk tidak segan memberi tuntutan dan vonis yang berat pada para pelaku. “Dalam kurun 2020 ini saja, kurang lebih sudah ada 100 yang divonis mati karena narkoba di seluruh Indonesia. Ya, mudah-mudahan cepat di eksekusi itu, biar orang jadi jera,” ujarnya.
Namun, Idham menegaskan, polisi tidak bisa bekerja sendiri. Ia meminta Listyo turut membangun kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk BNN, Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Bea Cukai agar pemberantasan narkoba lebih efektif.
Semoga langkah-langkah itu sukses memusnahkan sindikat pengedar narkoba, yang terbukti tangguh dan adaptif, termasuk pada saat pandemi korona seperti saat ini.