Tren Kenaikan Kasus Positif di DKI Sejalan dengan Mobilitas Warga
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berkomitmen, pemerintah provinsi tidak akan mengurangi jumlah pengujian Covid-19 hanya untuk mengesankan angka kasus positif turun.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·5 menit baca
Dalam dua pekan terakhir, angka rata-rata positif atau positivity rate Covid-19 di DKI Jakarta cenderung naik. Hal itu sejalan dengan peningkatan mobilitas warga di Ibu Kota. Meski belum melampaui batas yang direkomendasikan, kondisi itu jadi alarm bagi publik untuk lebih disiplin menjalankan protokol kesehatan.
Pada Sabtu (25/7/2020), menurut pemaparan Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DKI Jakarta Fify Mulyani, ada tambahan 393 kasus positif Covid-19 di Jakarta. Angka tersebut membuat total kasus positif di DKI menjadi 18.623 kasus. Namun, tidak ada penambahan jumlah kematian sehingga jumlah yang positif Covid-19 dan meninggal tetap 768 orang.
”Sampai dengan hari ini kami laporkan, 1.410 pasien masih menjalani perawatan di rumah sakit dan 4.730 orang melakukan isolasi mandiri (termasuk data Wisma Atlet),” kata Fify dalam keterangan tertulis.
Ia mengingatkan, 55 persen dari pasien positif Covid-19 yang ditemukan merupakan orang tanpa gejala sehingga Pemerintah Provinsi DKI mengimbau masyarakat untuk tetap menjalankan protokol kesehatan dengan cara memakai masker secara benar, menjaga jarak aman 1-2 meter, serta mencuci tangan sesering mungkin.
Fify menambahkan, hingga Jumat, 24 Juli, total pemeriksaan dengan metode reaksi rantai polimerase (PCR) sudah sebanyak 510.518 sampel. Dalam sehari, Jumat, sebanyak 5.850 menjalani tes PCR dengan 4.974 di antaranya untuk menegakkan diagnosis kasus baru. Hasilnya, 393 positif dan 4.581 negatif.
Jumlah tes PCR di Jakarta yang melebihi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) turut ”berkontribusi” membuat provinsi ini beberapa kali memecahkan rekor penambahan kasus harian dalam dua pekan terakhir. Hal itu dimulai dengan penambahan pada 12 Juli sebanyak 404 kasus, lantas ”disalip” oleh tambahan kasus positif hari Selasa (21/7/2020) yang sebanyak 441 kasus.
Namun, Gubernur DKI Anies Baswedan berkomitmen, pihaknya tidak akan mengurangi jumlah tes PCR karena ”rekor-rekor” itu. ”Kami tidak akan menutup-nutupi jumlah kasus dan kami tidak akan mengurangi jumlah tes, melambatkan jumlah tes, hanya untuk sekadar memberikan kesan angkanya turun,” ujar Anies dalam video hari Jumat, 24 Juli, di akun Youtube Pemprov DKI.
Kami tidak akan menutup-nutupi jumlah kasus dan kami tidak akan mengurangi jumlah tes, melambatkan jumlah tes, hanya untuk sekadar memberikan kesan angkanya turun.
DKI bekerja sama dengan beragam laboratorium terus mengikuti standar WHO terkait tes Covid-19, yaitu 1.000 orang baru (bukan 1.000 spesimen) dites PCR per sejuta penduduk per pekan, untuk mendapatkan gambaran nyata tentang situasi penyebaran Covid-19 di wilayah Ibu Kota.
Dengan cara demikian, DKI lebih cepat mendapatkan informasi tentang orang-orang yang ternyata positif, lebih cepat mengisolasi, sehingga harapannya makin banyak warga yang bisa diselamatkan. Anies mengatakan, dalam sepekan terakhir, ada 39.268 orang baru yang dites, atau 3.688 orang baru per sejuta penduduk.
Dengan mengikuti standar WHO, data angka rata-rata kasus positif (jumlah hasil positif dibanding jumlah tes) yang dikeluarkan DKI tidak akan diragukan. Anies menyebutkan, dengan menghitung seluruh tes sejak awal pandemi, nilai positivity rate DKI 5,2 persen masih di bawah angka rata-rata nasional yang 12,3 persen.
Namun, positivity rate di Jakarta melebihi angka ideal menurut WHO, yaitu 5 persen ke bawah. Meski demikian, menurut Anies, angkanya jauh di bawah batas maksimal yang juga direkomendasikan WHO, yakni 10 persen. ”Apakah berarti kemudian Jakarta aman? Tidak, belum,” ucapnya.
Sebab, dalam dua pekan terakhir, nilai positivity rate mingguan DKI terus naik. Anies memaparkan, tiga pekan lalu, positivity rate mingguan pada angka 4,8 persen, kemudian dua pekan lalu menjadi 5,2 persen, dan minggu ini menjadi 5,9 persen.
Kapasitas tempat penanganan Covid-19 di Jakarta berupa 4.556 tempat tidur isolasi di 67 rumah sakit rujukan serta 659 unit perawatan intensif (ICU) khusus Covid-19 memang masih memadai. Namun, Anies mengingatkan, minggu lalu, keterisian tempat tidur isolasi Covid-19 sebesar 42 persen dan ICU Covid-19 sebesar 25 persen. Minggu ini, keterisian tempat tidur isolasi naik menjadi 44 persen dan keterisian ICU Covid-19 menjadi 32 persen.
Artinya, lanjut Anies, ada tren peningkatan penyebaran Covid-19 dalam dua pekan terakhir. ”Peningkatan penyebaran ini sejalan dengan peningkatan mobilitas dan peningkatan aktivitas warga,” katanya.
Dari temuan kasus dengan menjalankan pengujian berskala besar, Anies menyebutkan, aktivitas di perkantoran dan komunitas warga kini menjadi salah satu tempat paling rawan penyebaran. Selain secara pribadi mematuhi protokol kesehatan, warga juga diminta tidak ragu mengingatkan sesama yang lalai menerapkannya.
Di lingkungan permukiman, mudah ditemukan warga yang bercengkerama dengan tetangga tanpa menjaga jarak atau memakai masker. Peneliti komunikasi kesehatan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Prof Deddy Mulyana, berpendapat, kolektivisme, guyub, atau kecenderungan untuk suka berkumpul sudah membudaya bertahun-tahun di masyarakat Indonesia sehingga sulit untuk membendungnya di tengah pandemi.
Kolektivisme, guyub, atau kecenderungan untuk suka berkumpul sudah membudaya di masyarakat Indonesia sehingga sulit untuk membendungnya di tengah pandemi.
Deddy mencontohkan, saat penutupan gerai perdana salah satu jaringan restoran internasional terkemuka di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, 10 Juli, pengunjung berkerumun dalam momen perpisahannya. Padahal, ia yakin, banyak di antara mereka yang berpendidikan memadai dan paham risiko penularan Covid-19.
Untuk meningkatkan kesadaran warga mematuhi protokol kesehatan, Deddy merekomendasikan pemerintah satu suara dalam komunikasi seputar Covid-19.
Dengan upaya pemerintah menyinergikan kesehatan dan ekonomi saat ini, termasuk dengan membubarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, kemudian membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, ia ragu komunikasi terkait Covid-19 terhadap masyarakat berjalan efektif sebab perspektif aktor kesehatan berbeda dengan perspektif aktor ekonomi.
Deddy melihat komunikasi sebagai suatu sistem yang terdiri dari subsistem-subsistem yang saling berhubungan. Kekeliruan atau mispersepsi pada satu subsistem akan berpengaruh pada yang lain.
”Sistem ini harus dibangun oleh, yang paling utama itu, Presiden. Memang tidak mudah, melihat negara yang besar dan masyarakat yang heterogen,” ucapnya.
Selain upaya membangun satu suara dalam komunikasi terkait Covid-19 di tubuh pemerintah, menjangkau masyarakat juga perlu ditempuh dengan aktif melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga budayawan.
Deddy mencontohkan, perebutan jenazah yang akan ditangani dengan protokol Covid-19 di Makassar (Sulawesi Selatan), Manado (Sulawesi Utara), Bekasi (Jawa Barat), Surabaya (Jawa Timur), dan Batam (Kepulauan Riau) adalah buah dari koordinasi yang kurang antara pemerintah dan pemuka agama di masyarakat. Sebab, dalam ajaran agama apa pun, manusia yang meninggal punya jiwa dan harus dimuliakan.