Ganjil Genap Tak Selesaikan Masalah Tingginya Mobilitas Warga Saat PSBB Transisi
Kebijkan ganjil genap dinilai tidak menyelesaikan tingginya pergerakan warga selama PSBB transisi. Pengaturan dari hulu ke hilir terkait mobilitas warga selama masa pandemi Covid-19 yang lebih diperlukan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perluasan sistem ganjil genap dinilai belum menyelesaikan pokok masalah yang dituju, yakni menekan tingginya mobilitas warga saat pembatasan sosial berskala besar transisi. Membatasi pergerakan warga harus dimulai dari hulu, salah satunya mengatur jam kerja perkantoran.
Kebijakan ganjil genap berlaku di 25 ruas jalan di Jakarta mulai hari ini, Senin (3/8/2020), oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kebijakan ini berlaku bagi pengguna kendaraan roda empat pada pukul 06.00-10.00 dan pukul 16.00-21.00.
Pengamat tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengatakan, ganjil genap pada dasarnya adalah skenario untuk manajemen lalu lintas. Tujuannya agar masyarakat mau beralih ke transportasi umum. Kebijakan ini tidak bisa digunakan untuk membatasi pergerakan warga, terlebih memecah kepadatan di pusat kegiatan seperti perkantoran.
”Informasi tentang kantor yang karyawannya bekerja di rumah (work from home/WFH) perlu dibuka, khususnya perkantoran di ruas jalan yang terkena ganjil genap. Selama warga diminta bekerja di kantor, mobilitas warga tetap akan tinggi. Informasi di hulu (tentang kegiatan perkantoran) perlu dibuka untuk melihat pengaruh ganjil genap,” kata Yayat.
Pengaturan jam kerja dan menerapkan kembali kebijakan bekerja dari rumah dinilai efektif mencegah warga bepergian di Jabodetabek. Kerumunan yang kerap ditemui di stasiun pada Senin pagi pun bisa dicegah.
Menurut Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Turro Wongkaren, sebanyak 81 persen orang yang bergerak di Jakarta adalah pekerja. Mayoritas merupakan pelaju dari Depok. Jumlah pelaju kedua terbanyak ialah dari Bekasi, Bogor, dan Tangerang Selatan (Kompas, 27/7/2020).
Pelaju paling banyak menuju ke Jakarta Selatan yang terdapat gedung-gedung bisnis, seperti Senayan, Sudirman, dan Kebayoran Lama. Pelaju juga bergerak ke Jakarta Pusat dan Jakarta Timur.
Kebijakan ganjil genap ini menyasar warga menengah ke atas, yaitu kelompok yang sangat mawas diri terhadap pandemi. Meminta mereka beralih ke transportasi umum akan terkendala. Sebab, tidak ada jaminan keamanan di transportasi publik.
Di sisi lain, tingginya pergerakan warga dinilai sebagai salah satu pemicu penyebaran Covid-19. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di DKI Jakarta mencatat perkantoran sebagai salah satu kluster Covid-19. Data per 28 Juli 2020 menyatakan ada 90 kluster perkantoran dan 459 kasus positif Covid-19.
Yayat mengatakan, seluruh pihak terkait harus bekerja secara sinergi guna menekan mobilitas warga, baik dinas perhubungan maupun dinas tenaga kerja. Pengawasan ketar protokol kesehatan di perkantoran dan transportasi publik pun perlu dilakukan.
”Kebijakan ganjil genap ini menyasar warga menengah ke atas, yaitu kelompok yang sangat mawas diri terhadap pandemi. Meminta mereka beralih ke transportasi umum akan terkendala. Sebab, tidak ada jaminan keamanan di transportasi publik,” ucap Yayat.
Pengamat transportasi Universitas Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengatakan, pemerintah dapat memaksimalkan operasi bus regional, seperti Jabodetabek Residential (JR) Connexion. Bus ini dapat memecah kepadatan pelaju Jakarta-Bodetabek yang kerap terjadi di stasiun.
”Saya mendorong agar JR Connexion disediakan di semua daerah di Bodetabek. Selain menyediakan alternatif transportasi bagi pelaju, ini adalah kesempatan pemda untuk menata ulang angkutan umum di daerahnya,” kata Djoko.
Ia menekankan pula pentingnya menerapkan protokol kesehatan di dalam transportasi umum. Bus harus diisi maksimal 50 persen dari kapasitas maksimalnya. Seluruh penumpang pun wajib mengenakan masker, disarankan mengenakan baju lengan panjang dan pelindung wajah. Jarak duduk dan berdiri pun perlu diatur agar penumpang bisa saling menjaga jarak.
Jika kapasitas bus hendak diisi 70 persen atau 100 persen, operator bus perlu menyediakan sekat antarpenumpang. Menurut Djoko, operator transportasi umum harus bisa menjamin keselamatan dan keamanan penumpang selama pandemi.
Sementara itu, Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan menyarankan agar Pemprov DKI mempersiapkan, mengawasi, dan meyakinkan bahwa angkutan umum benar-benar sehat. Peningkatan dan akses layanan angkutan umum pun perlu dilakukan untuk menghindari penumpukan, misalnya di halte.
”Pelaksanaan kapasitas, jadwal kerja, dan protokol kesehatan di perkantoran dan perusahaan Jakarta perlu diawasi dan ditegakkan secara benar serta konsisten,” kata Azas, yang juga mantan Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta.