Pekerja Waswas dengan Kelonggaran Protokol di Perkantoran
Pemerintah pusat dan daerah bisa menurunkan pengawas yang rutin datang melihat dan memastikan setiap tempat kerja menegakkan protokol pencegahan Covid-19.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Para pekerja mencemaskan keamanan di kantor seiring merebaknya kluster Covid-19 di perkantoran. Ditambah ketentuan ganjil-genap kendaraan bermotor yang memaksa orang harus naik angkutan umum, pengawasan penerapan protokol kesehatan pun semakin tidak bisa ditawar.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar menyatakan bahwa mayoritas merasa cemas. “Di satu sisi mereka harus bekerja demi menafkahi diri dan keluarga. Di sisi lain mereka khawatir tertular virus korona baru,” katanya ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (4/8/2020).
Para pekerja umumnya mengeluhkan kendornya protokol keamanan Covid-19 di tempat kerja. Padahal, perusahaan atau lembaga mewajibkan mereka untuk masuk kerja dengan alasan bekerja dari rumah tidak efektif untuk meningkatkan produktivitas kantor.
Timboel menjelaskan, ada dua jenis hal yang dikeluhkan pekerja. Pertama, kantor pada awal pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sangat ketat menerapkan protokol keamanan. Setiap orang yang datang selalu diperiksa suhu tubuhnya, diminta mencuci tangan dengan sabun atau minimal disediakan cairan antiseptik, wajib memakai masker, dan di dalam ruang kerja diterapkan menjaga jarak fisik minimal 1,5 meter. Namun, di kantor yang sama selama sebulan terakhir protokol itu melonggar.
Tidak ada lagi pengecekan suhu tubuh maupun pengawasan kedisiplinan pekerja. Karyawan yang bergerombol untuk mengobrol di jam istirahat, di sela-sela pekerjaan, ataupun ketika menunggu kendaraan umum di depan kantor dibiarkan oleh manajemen maupun petugas keamanan.
Adapun kantor jenis kedua ialah yang sedari awal ogah-ogahan menerapkan protokol keamanan. Baik atasan maupun bawahan sama-sama tidak disiplin menjaga jarak maupun memakai masker. Adanya jargon “normal baru” semakin membuat kantor lengah terhadap mitigasi penularan Covid-19.
Hal ini belum ditambah kecemasan pekerja yang harus naik angkutan umum untuk berangkat dan pulang kerja. Kebijakan ganjil-genap untuk kendaraam milik pribadi mengakibatkan mereka yang tidak memiliki dua kendaraan harus naik bus, kereta, MRT, ataupun angkutan kota. Fasilitas antar-jemput oleh kantor jarang ditemukan karena banyak perusahaan mengaku tidak mampu menyediakannya.
“Menunggu pekerja mengutarakan protes ke manajemen bukan solusi. Justru, pemerintah pusat dan daerah bisa menurunkan pengawas yang rutin datang melihat dan memastikan setiap tempat kerja menegakkan kedisiplinan protokol,” tutur Timboel.
Petugas dari dinas ketenagakerjaan dan berbagai lembaga terkait bisa menugaskan personel untuk datang memeriksa perkantoran. Ia menambahkan, bisa pula dipertimbangkan untuk membuka piket kerja di hari Sabtu dan Minggu. Cara ini bisa memecah kepadatan yang terjadi pada hari kerja reguler.
Baca juga: Pembatasan-dari-hulu-lebih-efektif/
Sebelumnya, Ketua Kamar Dagang dan Industri DKI Jakarta Diana Dewi menerangkan bahwa 60 persen perusahaan di Jakarta bergerak di sektor strategis yang semasa PSBB mendapat pengecualian serta tetap bisa beroperasi penuh. Kantor-kantor ini memiliki banyak pekerjaan yang belum bisa dilakukan dari jarak jauh karena berkenaan dengan operasional permesinan maupun pelayanan tatap muka.
Digitalisasi
Pada kesempatan yang berbeda, ekonom pakar ketenagakerjaan dari Institute for Development of Economics and Finance Ahmad Heri Firdaus mengatakan bahwa adanya pandemi menggenjot kebutuhan bagi perusahaan, terutama di Jakarta dan sekitar untuk kian memanfaatkan teknologi digital. Melalui penguasaan teknologi ini berbagai pekerjaan bisa dilakukan dari jarak jauh.
“Pekerjaan manual yang dilakukan oleh pekerja blue collar seperti petugas kebersihan dan petugas keamanan bisa diteruskan secara luring. Tapi, pekerjaan seperti administrasi dan akuntansi bisa dialihkan ke digital. Caranya dengan mulai meningkatkan kompetensi sumber daya manusia di bidang administrasi dan akuntansi untuk menguasai berbagai program komputer yang bisa membantu mereka,” paparnya.
Ia mengingatkan kepada perusahaan bahwa investasi di teknologi dan pelatihan pekerja bukan biaya, melainkan investasi. Justru bila sakit berarti biaya dan kerugian yang harus ditanggung perusahaan.