Membatasi pergerakan warga idealnya dimulai dari hulu. Pembatasan mobilitas warga bisa efektif dengan pengetatan aturan jam kerja ataupun keharusan bekerja dari rumah.
Oleh
Tim Kompas
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberlakuan kembali sistem ganjil genap di sejumlah ruas jalan di DKI Jakarta belum menyelesaikan pokok masalah yang dituju, yakni menekan mobilitas warga. Membatasi pergerakan warga bakal lebih efektif jika dimulai dari hulu.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memberlakukan lagi kebijakan pembatasan kendaraan roda empat dengan sistem ganjil genap di 25 ruas jalan mulai Senin (3/8/2020). Kebijakan berlaku pada pukul 06.00-10.00 dan pukul 16.00-21.00.
Pada hari pertama aturan itu diterapkan, Yulvia Chrisdiana (31) nekat mengendarai mobilnya yang berpelat nomor genap masuk ruas jalan yang terkena pemberlakuan ganjil genap. Dengan mobil pribadi, warga Kota Bekasi, Jawa Barat, ini mengantar ibunya yang menjadi tenaga kesehatan di salah satu rumah sakit pemerintah di Jakarta.
Selama pandemi ini, Yulvia hampir setiap hari mengantar ibunya ke Jakarta. Jika berhalangan, sang ibu naik omprengan berpelat nomor hitam, yang berangkat dari dekat Gerbang Tol Bekasi Timur.
Pemprov DKI sebenarnya menyiapkan bus sekolah untuk antar-jemput tenaga kesehatan yang berdomisili di luar Jakarta. Sayangnya, tidak ada jadwal bus yang cocok dengan jadwal ibunya yang masuk pukul 07.00 dan pulang pukul 15.30.
Pilihan menggunakan bus umum atau kereta rel listrik (KRL) dicoret karena Yulvia khawatir akan bahaya penularan Covid-19 saat bus atau KRL ramai penumpang.
Sementara bus Transjakarta rute Juanda-Bekasi Timur tidak beroperasi sejak pandemi Covid-19. ”Kalau kebijakan ganjil genap diterapkan, solusinya harus ada, dong. Paling tidak, akses angkutan umum jangan dibatasi,” katanya berharap.
Rina, pegawai di kawasan Kuningan, Jakarta, merasa terbantu ketika Pemprov DKI meniadakan kebijakan ganjil genap. Pasalnya, ia bisa setiap hari kerja naik mobil pribadi dari rumahnya di Ciledug, Tangerang, ke Jakarta. Ia mengaku khawatir naik angkutan umum selama pandemi Covid-19.
Di kantor Rina, belum ada pembicaraan tentang penyesuaian pelat nomor mobil pegawai dengan hari bekerja di kantor. Namun, ia pesimistis dengan solusi ini. ”Bisa jadi pegawai yang punya mobil berpelat nomor ganjil dan genap jumlahnya tak persis 50:50. Pasti sulit menyesuaikan sifnya,” ujarnya.
Terabaikan
Ika Safitri (26), pengguna angkutan umum, tidak mampu menghindari kepadatan penumpang di bus Transjakarta koridor 5C rute PGC-Harmoni. Upaya menjaga jarak antarpenumpang di bus kerap terabaikan ketika antrean penumpang di halte memanjang. Di Halte Kampung Melayu, misalnya, tidak ada petugas yang membatasi jumlah penumpang yang hendak naik bus.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengatakan, ganjil genap pada dasarnya adalah skenario untuk manajemen lalu lintas. Tujuannya agar masyarakat beralih ke transportasi umum. Kebijakan ini tidak bisa digunakan untuk membatasi pergerakan warga, terlebih memecah kepadatan di pusat kegiatan seperti perkantoran.
”Selama warga diminta bekerja di kantor, mobilitas warga tetap tinggi. Informasi di hulu (tentang kegiatan perkantoran) perlu dibuka untuk melihat pengaruh ganjil genap,” katanya.
Pengaturan jam kerja dan menerapkan kembali kebijakan bekerja dari rumah, menurut Yayat, efektif mencegah warga bepergian di Jabodetabek.
Pada Senin (3/8/2020), PT Kereta Commuter Indonesia selaku operator KRL Commuter Line mencatat, hingga pukul 07.00 terdapat 71.325 penumpang KRL. Sementara Senin pekan lalu pada waktu yang sama tercatat 72.529 penumpang.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Syafrin Liputo, Minggu (2/8/2020), menjelaskan, upaya Pemprov DKI mencegah kepadatan di perkantoran dan pusat kegiatan seolah-olah belum efektif. Dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 51 Tahun 2020 disebutkan, ganjil genap menjadi salah satu instrumen rem darurat untuk membatasi pergerakan warga.