Perbedaan usia warga memengaruhi respons sebagian warga terhadap bahaya pandemi Covid-19. Situasi tersebut dikhawatirkan memperburuk penularan virus di Indonesia.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sore di akhir pekan, Minggu (23/8/2020), sebuah kafe di Jalan Haji Agus Salim, Menteng, Jakarta Pusat, ramai kedatangan pengunjung. Makin sore, kafe itu kian ramai oleh muda-mudi yang berkumpul memenuhi setiap meja makan.
Saking ramainya, sebagian pemuda tidak lagi mengabaikan protokol kesehatan Covid-19 di sekitar kafe. Tidak ada jaga jarak antarorang minimal 1 meter, sebagian orang pun melepas masker saat berbicara satu sama lain.
Mahesa (24), seorang pengunjung kafe, mengetahui ada kewajiban protokol kesehatan Covid-19. Namun, dia mengakui hal-hal tersebut tidak selalu diterapkan. Dalam beberapa kesempatan, masker menghalangi sejumlah konteks percakapan dan bercandaan antarteman.
”Kadang memang kalau sedang asyik mengobrol, masker membuat percakapan jadi kagok. Tapi saya yakin saja teman saya pada sehat-sehat, dari berangkat pun sudah bareng-bareng, kok. Mudah-mudahan enggak kenapa-napa,” tuturnya.
Dalam waktu yang hampir bersamaan di luar kafe, ada pasangan paruh baya yang memakai masker, saling menjaga jarak, dan mencuci tangan sebelum masuk ruangan. Pasangan Adi (42) dan Liani (40) ini membungkus makanan untuk dibawa pulang ke rumah. Mereka cenderung memilih untuk makan di rumah selama pandemi Covid-19.
Alasan itu juga karena situasi pandemi di Jakarta tak kunjung reda. Adi dan Liani paham betul kalau masih terdapat ratusan pasien yang setiap hari positif Covid-19, sementara angka rasio positif secara total di Jakarta masih 6,1 persen atau belum cukup aman. ”Serba sulit, sih, di masa seperti ini karena penularan Covid-19 tidak bisa kita duga. Kalau saya dan istri lebih baik menghindari kerumunan saja,” tutur Adi.
Pengalaman Mahesa, Adi, dan Liani sekilas mewakili tanggapan dari kalangan usia yang berbeda soal bahaya pandemi Covid-19. Mahesa yang berusia muda masih punya alasan untuk bepergian bersama teman di tengah pandemi, sementara Adi yang paruh baya merasa perlu untuk makin berhati-hati.
Situasi serupa juga terjadi beberapa pekan terakhir di berbagai tempat. Sumardjo (50), akademisi di perguruan tinggi swasta di Grogol, Jakarta Barat, sekitar sepekan lalu juga mengkhawatirkan kepadatan angkutan umum yang memicu penularan Covid-19. Dia yang berangkat dari Cawang, Jakarta Timur, selalu waswas saat bus kedapatan banyak penumpang di Jalan Gatot Subroto.
Di tempat lain, Andri (17), pemuda di RT 003 RW 010 Kelurahan Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan, kerap berkeliling sepeda dengan teman-teman tanpa memperhatikan aturan jaga jarak fisik. Pekan lalu, Andri berkumpul di luar lingkungan Taman Tebet dan tidak memakai masker.
Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Indonesia Paulus Wirutomo membenarkan adanya perbedaan respons di beda kalangan usia. Pengalamannya dalam beberapa bulan terakhir, sebagian muda-mudi cenderung abai menerapkan protokol kesehatan. Sebagian kalangan pelajar muda bahkan nekat tawuran di masa pembelajaran jarak jauh (PJJ).
”Sebagian kalangan muda, bahkan ada pelajar yang nekat tawuran, menandakan minimnya sikap kewaspadaan mereka. Kalau diperhatikan juga, banyak tawuran pemuda di permukiman yang semakin sering. Mereka yang tawuran itu, pasti dari anak-anak muda,” tuturnya.
Seiring dengan itu, Badan Pusat Statistik (BPS) juga melihat kecenderungan serupa dalam survei Sosial Demografi Dampak Covid-19. Survei turut mengukur indeks perilaku ketaatan warga terhadap protokol kesehatan Covid-19 dengan metode non-probability sampling.
Skor indeks perilaku ketaatan menunjukkan warga usia 50 tahun hingga 70 tahun ke atas cenderung mematuhi imbauan memakai masker, cuci tangan, berjaga jarak, dan lain-lain. Skor mereka ditunjukkan dengan angka di atas 8,0 poin. Sementara warga di usia 21-25 tahun memiliki skor 7,7 poin. Warga usia di bawah 20 tahun memiliki skor paling rendah, yakni 7,3 poin.
Kecenderungan itu, menurut survei BPS, didasari adanya kekhawatiran terhadap risiko penularan Covid-19 yang lebih besar. Hal itu lantaran keyakinan warga bahwa semakin tua usia seseorang, semakin rentan terserang penyakit.
Riset Kesehatan Dasar 2018 mencatat, proporsi penderita penyakit jantung, stroke, diabetes, hipertensi, dan ginjal mulai meningkat di usia 45 tahun ke atas. Sebut saja penyakit diabetes melitus, angka prevalensi pasien usia 35-44 tahun adalah 1,1 persen. Pada umur 45-54 tahun meningkat menjadi 3,9 persen hingga mencapai puncaknya pada usia 55-64 tahun dengan 6,3 persen.
Hal yang sama juga terjadi pada penyakit hipertensi. Angka prevalensi usia 45-54 tahun meningkat menjadi 12,62 persen. Sebelumnya, pada kategori usia 35-44 tahun hanya ditemukan 5,73 persen. Angka tersebut semakin tinggi pada usia 65 tahun ke atas.
Mei lalu, Ketua Gugus Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo dalam siaran pers menuturkan, warga usia 45 tahun ke bawah diperbolehkan untuk bekerja, tetapi terbatas pada 11 bidang usaha yang diatur pemerintah. Bidang itu antara lain sektor kesehatan, bahan pangan, energi, komunikasi dan teknologi informasi, keuangan, industri, serta perhotelan. Alasannya, agar kalangan tersebut terhindar dari risiko penularan virus (Kompas, 22/6/2020).
Terkait itu, Dicky Budiman, epidemiolog Griffith University, Australia, mengingatkan, kasus Covid-19 pada anak-anak dan remaja harus tetap diwaspadai. Penularan dari kalangan ini akan tetap riskan, sekalipun kalangan penduduk tua dilindungi.
”Indikator bahwa wabah sudah mengalami tingkat penularan penyakit yang meluas adalah jika kasus infeksi terjadi pada ibu hamil dan anak-anak. Mereka seharusnya kelompok paling terlindungi dan berada dalam posisi akhir dari piramida penularan suatu pandemi,” ujar Dicky, Jumat (21/8/2020).