Usulan DKI Jakarta menggunakan jalan tol sebagai ruas jalan sepeda balap mendapat penolakan. DKI mesti kembali ke aturan jalan tol untuk kendaraan bermotor bukan kendaraan non-motor.
Oleh
Helena F Nababan
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pihak menegaskan, jalur tol bukan untuk sepeda sesuai dengan peruntukan dan mempertimbangkan aspek keselamatan. Penegasan itu terkait usulan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada Kementrian PUPR untuk membuka ruas Jalan Tol Lingkar Dalam Cawang-Tanjung Priok sisi barat setiap hari Minggu khusus untuk mendukung acara hari bebas kendaraan bermotor.
Deddy Herlambang, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Kamis (27/08/2020), mengatakan, untuk pengusulan itu, ada hal yang harus dijelaskan. Menengok kepada ruas tol yang dimaksud Pemprov DKI Jakarta, ruas itu tol itu merupakan link selatan Jakarta Utara. Cawang-Tanjung Priok merupakan jalan tol sepanjang 16 km dengan 12 km di antaranya merupakan elevated toll (layang tol). Jalan tol ini merupakan proyek jalan tol layang pertama di Indonesia yang dibangun pada 1987-1990.
Pada perkembangan, lanjut Deddy, sesuai laporan PT Jasa Marga volume capacity ratio (VCR) ruas tol ini sudah mencapai 0,8 pada hari Minggu pukul 09.00. Untuk layanan jalan tol, ini sebenarnya sudah tergolong padat.
Apabila VCR telah mencapai 1 (nilai absolut) ekuivalen lalu lintas macet, nilai 1 tersebut menurunkan level of service (LOS) atau tingkat layanan jalan tol. Masalah turunnya LOS atau bisa juga disebut sebagai standar pelayanan minimum (SPM tol) ini tentunya akan mengganggu kinerja operator jalan tol dalam hal ini PT Jasa Marga.
Kemudian, apabila setiap hari Minggu pukul 06.00-09.00 sepeda diizinkan melintas di ruas Tol Cawang-Tanjung Priok, meski hanya sisi Barat, Deddy melanjutkan, tentunya tetap dibutuhkan rekayasa lalu lintas. Rekayasa bisa dengan menutup sisi lajur barat, maka jalan tol sisi lajur timur dipakai berjalan kendaraan bermotor dua arah.
Apabila hal ini diizinkan KemenPUPR, VCR dapat melebihi angka 1 (macet total). Karena normal VCR 0,8 berjalan di 4 lajur (2 arah) apabila sisi Barat ditutup, maka tol berjalan hanya di 2 lajur (2 arah).
Dari aspek keselamatan pun, imbuh Deddy, belajar dari hari bebas kendaraan bermotor (HBKB) di jalan layang nontol (JLNT) Antasari yang ditutup setiap hari Minggu. Ketika jam HBKB selesai dan JLNT sudah dibuka, ternyata masih banyak pesepeda yang di jalan layang tersebut. Akhirnya sempat terjadi insiden pesepeda yang masih di atas itu tertabrak kendaraan bermotor.
Skenario lain yang harus dipikirkan Pemprov DKI Jakarta, apabila lajur sisi barat tol tidak ditutup, sepeda akan berjalan bersama kendaraan bermotor. Untuk keselamatan pesepeda di tol, kecepatan kendaraan bermotor di tol akan dipaksa berjalan di bawah 60 km per jam.
Mengingat sepeda yang akan berjalan di tol tersebut bukan permanen sehingga tidak mungkin dibuatkan pembatas beton sepanjang 16 km untuk pembatas keselamatan jalur sepeda. Kalau tidak dibatasi, jalur sepeda di tol akan lewat dimana, sementara bahu jalan tol adalah untuk jalur darurat dan jalur patroli operator jalan tol.
Belum lagi ruas tol tersebut setiap hari (tanpa kecuali hari Minggu) dilewati truk-truk besar yang tentunya berjalan di jalur tol sebelah kiri. ”Apakah jalur sepeda dan jalur kendaraan besar (truk) akan dijadikan satu di sebelah kiri jalan tol? Hal ini sangat jelas tidak mungkin. Jalan tol harus kembali ke khitahnya sebagai jalan bebas hambatan dan cepat sampai tujuan,” kata Deddy.
Teguh P Nugroho, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya, juga menegaskan, usulan Pemprov DKI itu absurd. Tentang jalan tol, sudah ada Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Di dalamnya mengatur bahwa jalan tol hanya untuk kendaraan bermotor. Begitu juga dengan turunan UU tersebut, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2009 tentang Perubahan atas PP No 15 Tahun 2005, tol hanya untuk kendaraan roda empat, walaupun mungkin ada untuk pengecualian bagi kendaraan roda dua bermotor seperti di jembatan Suramadu.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2009 tentang Perubahan atas PP No 15 Tahun 2005, tol hanya untuk kendaraan roda empat, walaupun mungkin ada untuk pengecualian bagi kendaraan roda dua bermotor seperti di jembatan Suramadu.
Kemudian, dari sisi penanganan pandemi Covid-19, jelas Teguh, ia setuju bersepeda itu sehat. Namun, bukan berbentuk kegiatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pada saat transmisi Covid-19 meningkat terus, Pemprov DKI Jakarta terus saja memfasilitasi kenaikan mobilitas orang.
”Sudah HBKB, sudah ruang terbuka, wacana berikutnya bioskop, fasilitasi sepeda. Semua itu bagus, tapi bukan di masa pandemi,” kata Teguh.
Dari aspek regulasi saja, ujar Teguh, PUPR tidak punya kewenangan memberikan izin peruntukan jalan tol untuk sepeda. ”Itu perintah undang-undang,” kata Teguh.
Dalam undang-undang itu pun, kata Teguh, bisa diberlakukan ada diskresi di jalan tol. Namun, itu untuk keadaan darurat, misalnya banjir atau pengaturan contra flow lalu lintas. ”Namun diskresi itu adalah dari kepolisian yang membolehkan,” kata Teguh.
Gilbert Simanjuntak dari Fraksi PDI-P menegaskan, PDI-P menolak usulan itu. ”Biaya membangun jalan tol yang begitu besar untuk kepentingan agar tidak macet, bisnis tidak terganggu, malah diminta untuk hiburan, senang-senang sekelompok orang. Sense of crisis Gubernur DKI sangat mengecewakan, pada saat rakyat terpuruk masih tidak fokus memikirkan kesulitan rakyat,” kata Simanjuntak.
Sekretaris Fraksi Golkar DPRD DKI Jakarta Judistira Hermawan menyatakan, kebijakan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai kebijakan aneh. ”Ya usulan itu aneh. Itu jelas pasti membahayakan sepeda disitu, karena yang diminta pemerintah provinsi itukan hanya satu jalur sepeda namun lainnya tetep melintas dengan kecepatan cukup tinggi sehingga potensi di situ ada bahaya,” ujarnya.
Judistira menjelaskan, ruas jalan di DKI Jakarta untuk melakukan HBKB tidak kurang. ”Ruas jalan tidak kurang. Hanya saja saat ini sedang massanya PSBB, jadi ditunda. Jangan sampai menjadi klusterisasi penyebaran terbaru Covid-19 di wilayah jalan tol. Saya kira tidak perlulah,” kata Judistira.
Sementara Ketua Fraksi PKS, DPRD DKI Jakarta Muhammad Arifin mengatakan, kebijakan ini perlu dipertimbangkan kembali ke depannya karena tidak terlihat urgensi di dalamnya.
Simanjuntak mempertanyakan, ruas jalur sepeda yang saat ini ada seperti di Jalan Pemuda masih belum digunakan secara optimal. ”Maka jadi aneh kenapa jalan tol yang hendak digunakan,” tanyanya.
Contoh di negara lain
Deddy menambahkan, terkait jalur sepeda, Jakarta bisa melongok ke negara lain. Jalan Tol di Korea Selatan antara Daejeon ke Sejong, terdapat jalur sepeda yang berada di tengah jalan tol. Namun jalur itu terpagari kanan-kiri dengan baja dan kanopi solar sepanjang 32 km karena memang fungsional untuk energi listrik.
Di San Francisco, tepatnya di Jembatan San Rafael, juga terdapat jalur sepeda tetapi ada pagar beton antara lajur mobil dengan sepeda. Selain itu memang di Jerman dan Inggris ada jalan tol khusus sepeda.
Deddy menjelaskan, sebenarnya sah-sah saja bila sepeda (gowes) dibuatkan aturan hukum tetap berjalan di tol tetapi tentunya harus dibarengi dengan pembangunan infrastruktur terpisah antara kendaraan bermotor dan kendaraan non-motor (sepeda) untuk keselamatan pesepeda. Bahu jalan tol dan lajur sepeda ada namun terpisah dengan pagar beton atau baja seperti di luar negeri.
Sah-sah saja bila sepeda dibuatkan aturan hukum sehingga bisa digenjot di tol. Namun, harus dibarengi dengan pembangunan infrastruktur terpisah antara kendaraan bermotor dan kendaraan non-motor (sepeda) untuk keselamatan pesepeda.
”Masalahnya apakah ada investor yang mau menarik tarif bagi pesepeda atau pesepedanya mau bayar tol? Karena jalan tol adalah private sector bukan pendanaan dari APBN?” kata Deddy.