Bendera Kuning Penanda Duka yang Makin Sering Terlihat
Bendera kuning makin sering berkibar di sekitar permukiman warga. Bendera penanda kematian warga itu makin menggelisahkan siapa pun yang melihat. Kehadirannya bagai teror yang menakutkan.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama pandemi Covid-19, kibaran bendera kuning penanda kematian warga makin sering terlihat. Kabar duka itu menggelisahkan siapa pun yang melihat. Mereka khawatir kibaran bendera itu ada di rumahnya.
Ponsel Mugiyono (41) berkedip tanda ada pesan Whatsapp dari grup pengurus warga Kelurahan Pademangan Barat, Pademangan, Jakarta Utara. Ada pesan bertuliskan ”Innalillahi, telah berpulang ke rahmatullah, Haji Sarjono, Ketua Masjid Nurul Hidayah RW 013 pukul 01.55”. Kabar yang datang pada Minggu (6/9/2020) dini hari itu seakan memecah keheningan.
Kabar itu menyambung kabar duka serupa enam hari sebelumnya 31 Agustus saat warga di RW yang sama meninggal. Belum hilang kesedihan warga, mereka harus melihat kibaran bendera kuning lagi Minggu itu. Dalam sepekan, dua warga di RW itu meninggal dengan pemakaman protokol Covid-19.
Pada pertengahan Agustus lalu, dua warga di RW yang sama meninggal dengan cara pemakaman Covid. Tidak seperti biasanya, kabar kematian ini terlalu sering di RW tersebut. ”Saya merasa, kabar duka kematian itu seperti tinggal nunggu giliran saja,” ujar Ketua RT 015 RW 013 Pademangan Barat ini.
Selama enam bulan pandemi Covid-19, warga Pademangan Barat berhadapan dengan situasi seperti ini. Saking sering, peti pengingat bahaya Covid-19 dipasang tak jauh dari lingkungan RW 013. Data laman corona.jakarta.go.id per 8 September terdapat 41 kasus positif aktif di Pademangan Barat. Sementara, hingga 6 September, ada 25 kasus kematian karena Covid-19 yang tercatat di papan informasi Kelurahan Pademangan Barat.
Pademangan Barat menjadi kelurahan dengan total kasus Covid-19 terbanyak di Jakarta dengan 454 kasus positif per 1 September. Kekhawatiran di Pademangan juga terjadi pada warga di daerah lain dengan kasus covid-19 tertinggi. Subeni (43), warga RW 002 Kelurahan Wijaya Kusuma, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, waswas karena ayahnya meninggal dan dimakamkan dengan protokol Covid-19. Dia mengkhawatirkan kondisi ibunya yang menjadi pasien Covid-19 tiba-tiba berpulang.
Daniel Manik (28), warga RW 007 Kelurahan Ciracas, Ciracas, Jakarta Timur, juga cemas saat mendengar kabar orang meninggal di lingkungannya yang zona merah. Dari sekitar dua kabar kematian yang ia dengar sebulan lalu, tidak banyak yang tahu kalau jenazah tergolong positif Covid-19 atau tidak. ”Kabar meninggal itu serba enggak pasti, padahal keluarga di sini sudah sangat khawatir buat pergi-pergi jarak jauh,” kata Daniel.
Sejumlah kasus kematian juga meresahkan Siti Nurhayati (28). warga RT 004 RW 010 Pademangan Barat, itu gelisah setiap mendengar sirene ambulans yang lalu lalang melewati rumahnya. Setidaknya tiga kali dalam sepekan kemarin, dia mendengar ambulans kembali melewati jalan raya, kemudian masuk menuju kawasan permukiman.
”Bawaannya takut karena ambulans makin sering terdengar dari arah jalan besar ke kawasan permukiman warga. Itu pun saya enggak tahu, apakah ambulans menjemput warga meninggal, atau ada yang dijemput untuk perawatan di rumah sakit,” jelas Siti.
Rasa kecemasan warga bisa dipahami karena penambahan kasus Covid-19 di Jakarta seakan tak pernah berhenti. Per 8 September, kasus harian positif Covid-19 bertambah sebanyak 1.015 orang dengan rasio positif 13,2 persen. Begitu pula dengan jumlah kasus meninggal yang bertambah 12 orang sehingga totalnya kini menjadi 1.330 orang.
Dari kasus orang meninggal selama pandemi Covid-19, ada tenaga kesehatan yang termasuk di dalamnya. Hingga 6 September 2020, gerakan inisiatif warga Lapor Covid-19 mencatat sebanyak 106 tenaga kesehatan yang gugur di tengah pandemi. Kematian mereka jelas bukanlah sekadar angka statistik.
Sejumlah kabar duka kematian warga dan tenaga kesehatan tidak lantas membuat orang-orang waspada. Di Pademangan Barat, misalnya, warga masih kerap berkerumun di jalan raya dan mengabaikan protokol kesehatan. Situasi kerumunan warga hampir tak terelakkan setiap malam. Saat dikunjungi sepekan kemarin, warga tampak berjajan dan berkeliaran di tugu peti mati pengingat bahaya Covid-19, sekitar Jalan Budi Mulia Raya. Ada sejumlah warga dan pedagang yang juga tidak memakai masker.
Hal serupa juga terjadi di wilayah Ciracas selama sepekan terakhir. Makin banyak warga yang mengabaikan protokol kesehatan. Sebagian orang tampak melenggang bebas di jalan raya tanpa pakai masker. Pengawasan dari aparat pemerintah tampak minim di tengah padatnya aktivitas warga.
Kewaspadaan warga saat ini sangat menurun dibandingkan pada April 2020. Mugiyono bercerita, saat ada kasus meninggal di daerah Pademangan Barat, misalnya, warga panik dan berupaya membatasi jarak fisik dengan menutup rumah. Kondisi pembatasan tersebut pun sangat sulit karena wilayah mereka tergolong permukiman padat.
Meski begitu, warga makin melonggarkan pembatasan sosial seiring waktu. Kini, beberapa anak mulai berkeliaran main tanpa masker dan jaga jarak fisik. ”Warga sekarang tahunya, ya, boleh bepergian asal pakai masker. Tapi yang terjadi, jaga jarak tidak dilakukan, masker pun tak dipakai,” ungkap Mugiyono.
Ketua Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko mengatakan, warga kemungkinan besar merasa semakin tidak waspada dengan situasi penularan Covid-19. Hal ini sangat bisa dipahami karena dengan berbagai pembukaan sektor non-kesehatan, orang-orang makin kurang waspada terhadap kerumunan yang memungkinkan penularan. Makin banyak warga juga yang tampak berkerumun naik angkutan umum.
Tri mengingatkan, akan makin banyak korban meninggal apabila penanganan pandemi tidak disertai ketegasan pemerintah. Dia juga menyarankan untuk mengetatkan kembali pembatasan sosial karena, menurut dia, hanya itu jalan satu-satunya.
Sulfikar Amir, Associate Professor dan Sosiolog Bencana dari Nanyang Technological University, Singapura, mengatakan bahwa penanganan pandemi selalu bicara soal hal yang paling fundamental, yakni nyawa manusia. Kematian tenaga kesehatan dan orang-orang terdekat semestinya menjadi pengingat bahwa masalah yang sebenarnya bisa dihindari dengan penanganan tepat. ”Kematian orang-orang, terutama para tenaga kesehatan, harusnya menjadi alarm bahwa kita semestinya bisa meminimalisasi dampak pandemi,” katanya dalam sesi webinar Lapor Covid-19, Sabtu (5/9/2020).
Pada akhirnya, penanganan pandemi adalah soal mencegah nyawa manusia agar tidak hilang dengan sia-sia. Warga tidak ingin melihat bendera kuning terlalu sering.