Perda Penanggulangan Covid-19 dan Urgensi Sinergi Jabodetabek
Peraturan daerah tentang penanggulangan pandemi memang diperlukan. Namun, agar wabah bisa dikendalikan, diperlukan sinergi di wilayah agregat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan peraturan daerah mengenai pembatasan sosial berskala besar atau raperda PSBB merupakan preseden yang baik bagi DKI Jakarta untuk penanganan pandemi Covid-19. Akan tetapi, agar wabah bisa dikendalikan, diperlukan sinergi di wilayah agregat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Kemauan politik dari pusat dan daerah tidak bisa lagi dinegasikan.
”Ketegasan dari pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, sebagai teladan adalah keniscayaan. Jika tidak, para kepala daerah tidak akan punya keberanian mengambil langkah karena takut terhadap berbagai tekanan mulai dari pemilik modal hingga masyarakat dengan alasan pemulihan ekonomi,” kata pakar kebijakan publik Universitas Paramadina, Khoirul Umam, ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (6/10/2020).
Ia mengamati, selama enam bulan terakhir, kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah berbasis agenda politik, nyaris tidak memakai data kesehatan, ekonomi, dan keamanan secara komprehensif. Akibatnya, setiap kebijakan merespons isu secara sepotong-sepotong dan cenderung bertabrakan.
Mengutamakan ekonomi daripada menangani pandemi sama seperti mengobati gejala penyakit, tetapi tidak menyembuhkan sakit tersebut.
Salah satu contohnya janji pemerintah pusat dan daerah untuk menangani pandemi, tetapi kenyataannya peraturan yang diambil lebih banyak mengedepankan intervensi ekonomi yang justru membahayakan kesehatan publik. Pendapat-pendapat dari pakar dan organisasi kesehatan dikesampingkan.
”Akar masalah ekonomi adalah pandemi. Semakin cepat pandemi ditangani, semakin cepat ekonomi bisa pulih. Apabila wilayah agregat Jabodetabek bisa serentak melaksanakan PSBB selama dua minggu, pandemi bisa terkendali,” katanya.
Mengutamakan ekonomi daripada menangani pandemi sama seperti mengobati gejala penyakit, tetapi tidak menyembuhkan sakit tersebut.
Institut Teknologi Massachusetts (MIT) di Amerika Serikat pada 31 Maret menerbitkan artikel kajian ekonomi yang berjudul ”The Data Speak: Stronger Pandemic Response Yields Better Economic Recovery”. Berdasarkan analisis sejarah berbagai pandemi yang terjadi di zaman modern, semakin cepat dan komprehensif penanganan pandemi, semakin cepat ekonomi bangkit. Namun, apabila ekonomi yang diutamakan, justru situasinya akan semakin babak belur karena kian banyak masyarakat yang sakit berarti kian besar biaya perawatan dan jaminan sosial yang dikeluarkan negara.
Ia melihat bahwa pemerintah pusat dan daerah ambigu dalam mengambil keputusan. Di level pusat, misalnya, antara presiden, menteri, dan pejabat negara bisa terlihat berbeda pendapat. Hal ini diungkapkan tidak hanya di media arus utama, tetapi juga di akun media sosial para pejabat bersangkutan. Ketiadaan kesamaan visi pemerintah ini akhirnya membuat persepsi masyarakat terhadap risiko pandemi kian menurun dan apatis.
Ketika berkunjung ke Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu pada 3 Oktober 2020, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan rapat dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan para kepala daerah Bodetabek mengenai raperda PSBB. Ia mengatakan, sejauh ini kabupaten/kota satelit Jakarta itu mencari cara menyinergikan kehidupan wilayah masing-masing dengan PSBB Jakarta.
Kacau
Pakar Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Iwan Ariawan, memaparkan, selain PSBB, kualitas penerapan protokol kesehatan, tes Covid-19, penelusuran kontak, dan isolasi juga harus digenjot habis-habisan. Apabila empat hal ini berjalan baik, walaupun perkantoran dan tempat perbelanjaan tetap buka, pandemi bisa dikendalikan.
Keseluruhan unsur ini masih kacau hingga sekarang. Sudah lebih enam bulan pandemi berjalan, kedisiplinan masyarakat bermasker masih rendah. Dari segi tes di Jabodetabek secara umum di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Bahkan, untuk penelusuran kontak dari pasien positif Covid-19 lebih parah lagi.
WHO meminta apabila ada satu pasien positif, harus 30 kontak eratnya yang ditelusuri. Di Indonesia, standar ini diturunkan menjadi 10 kontak erat per satu pasien positif. Akan tetapi, Biostatistik UI menghitung di Jakarta rata-rata penelusuran adalah empat kontak per satu pasien.
Penelusuran hendaknya satu hari setelah pasien menunjukkan gejala sakit seperti demam, pilek, sesak napas, dan mengalami gangguan pencernaan. Masalahnya, kesadaran masyarakat untuk langsung memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan (faskes) jika ada gejala masih rendah. Mereka baru ke puskesmas setelah beberapa hari gejala sakit tidak kunjung reda.
Tes Covid-19, seperti reaksi berantai polimerase (PCR) yang gratis di faskes pemerintah, membutuhkan tiga hari untuk keluar hasilnya. Selama itu pasien terduga dan seluruh kontak eratnya harus menjalani isolasi.
”Mengingat kontak yang dilacak hanya empat orang, berarti ada sisa enam orang yang tidak terlacak dan tetap beraktivitas seperti biasa. Bayangkan risiko luas penularan yang terjadi,” ujar Iwan.
Sinergi faskes swasta dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta juga bermasalah. Iwan berbicara dari tiga kasus positif yang terdata olehnya. Aturan mengatakan bahwa apabila menemukan pasien positif, faskes swasta harus memintanya mengisolasi diri dan melaporkan kasus itu kepada dinkes. Selanjutnya adalah kewajiban dinkes untuk melakukan penelusuran kontak erat dan meminta mereka dites dan mengisolasi diri.
Kenyataannya, di ketiga kasus tersebut dinkes tidak menghubungi pasien positif sehingga tidak ada pelacakan kontak. Pasien berinisiatif untuk mengabari semua orang yang pernah berinteraksi dengan dia. Akan tetapi, tidak ada yang tahu apabila orang-orang yang menerima kabar itu memeriksakan diri ke faskes.
”Bahkan, di situs korona milik Pemerintah Provinsi Jakarta ataupun nasional tidak ada laporan penelusuran kontak. Hanya ada diagram kluster tanpa disertai data waktu. Tanpa keterbukaan data, pihak perguruan tinggi dan lembaga riset akan sukar membantu dengan maksimal,” kata Iwan.