Tak banyak terlihat publik, sebagian orang menawarkan bantuan bagi orang-orang yang kesulitan di tengah unjuk rasa penolakan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY / Aguido Adri
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gelombang unjuk rasa penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tidak hanya tentang amarah, kekerasan, dan kerusakan yang ditimbulkan. Namun, di sebagian aksi terselip kisah kemanusiaan sesama warga. Solidaritas itu muncul sebagai bentuk dukungan dari mereka yang tidak bisa turun ke jalan.
Kericuhan saat unjuk rasa penolakan terhadap RUU Cipta Kerja, Kamis (8/10/2020), lalu menyedot perhatian publik. Bentrokan antar-elemen di lokasi demonstrasi tak terhindarkan. Sebagian orang terluka baik dari warga maupun aparat. Gedung-gedung hingga fasilitas umum rusak. Akan tetapi, ada cerita lain selain itu.
Fauziah Fitri (25) spontan menawari peserta aksi perempuan untuk menginap di indekosnya. Sebab, unjuk rasa di Jakarta, Kamis, berlangsung hingga larut malam. Cuitan akun Twitter-nya mensyaratkan informasi identitas diri, foto terkini, dan kronologi bantuan supaya tak salah sasaran.
”Cuma mau bantu saja. Saya harus ikut melakukan sesuatu meskipun tidak turun aksi. Alternatifnya memberikan tumpangan untuk mereka (perempuan) yang turun aksi,” ucap Fauziah, Jumat (9/10/2020). Sebagai karyawan, ada kekhawatiran RUU Cipta Kerja bakal memangkas kesejahteraannya. Dia pun terpanggil untuk membantu mereka yang mempersoalkan ketentuan itu.
Sampai subuh tidak ada peserta aksi yang menginap meskipun banyak respons atas cuitannya. Kebanyakan respons justru tidak terverifikasi seperti langsung meminta nomor Whatsapp dan langsung ke indekosnya di Jakarta Timur. ”Makanya, aku butuh data untuk verifikasi, menghindari orang-orang yang cuma iseng,” ujarnya.
Sembari menanti mereka yang ingin menginap, Fauziah membantu Aldy (22) untuk mencari tahu keluarga dan kampus seorang perempuan bernama Nindy. Dia disebut-sebut sebagai salah satu peserta aksi yang sakit dan menjalani perawatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto.
Sebelumnya, Nindy sesak napas saat aksi. Ia ditolong oleh Dinny (20), teman dari Fauziah dan Aldy. Dinny sempat hilang kabar seusai ke rumah sakit. Ia mengabarkan lokasinya setelah meminjam gawai orang lain. Gawainya disita polisi saat membubarkan unjuk rasa. Aldy langsung menuju ke rumah sakit dan menemui Dinny. Mereka berada di sana dari pukul 22.00 hingga pukul 07.00 setelah menemukan keluarga dan kampus Nindy.
Di tempat terpisah, Khusniatul Amri (25) mampir ke minimarket Stasiun Kebayoran, Jakarta Selatan, sebelum pulang ke rumah. Dikantonginya beberapa botol Oronamin C dan C1000 serta vitamin untuk peserta aksi unjuk rasa di seputaran Gedung Parlemen.
Ia segera melipir ke depan kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan setelah turun di Stasiun Palmerah, Jakarta Pusat. Di situ beberapa mahasiswa dan pelajar yang lewat dicegatnya. Sebagian terkejut karena tiba-tiba dicegat dan mendapatkan minuman dan vitamin.
”Saya ingin menyemangati mereka saja karena saya tidak bisa turun bareng mereka. Apalagi, sekarang lagi pandemi. Mereka harus tetap sehat. Jadi, aku ambil jalan gampangnya, bagi vitamin,” kata Khusniatul. Ruang dialog antar-berbagai pihak mutlak diperlukan setelah unjuk rasa di sejumlah daerah berakhir ricuh.
Kisah serupa dilakukan Dulhadi (17) dan Aris (16). Dua lelaki yang menginjak dewasa itu membopong teman mereka, Ciko (16), Kamis. Mereka membelah kerumunan massa demonstran di Jalan Abdul Muis, Jakarta Pusat. ”Tolong, minggir, tolong. Kasih jalan, tolong minggir,” teriak Aris di tengah kerumunan demonstran, Kamis.
Napas Ciko tersengal, matanya berair, kepalanya basah oleh air bercampur darah. Dibopong dua temannya, tubuhnya seperti lunglai. Di tengah tembakan gas air mata yang terus menghujani kumpulan massa, ketiga pemuda itu terus berusaha lepas dari kejaran polisi.
Petugas di salah satu kantor di Jalan Abdul Muis membuka gerbang. ”Yang sakit masuk, yang sakit masuk,” kata petugas jaga kantor tersebut.
Mendengar teriakan petugas itu, Dulhadi dan Aris masuk ke gerbang itu. Di selasar kantor, dua pemuda itu membaringkan Ciko yang tak lagi bergerak, sejumlah petugas pun membawa air, kain, dan perlengkapan P3K untuk membantu Ciko. Tak sampai semenit, kantor itu ramai oleh korban yang kehabisan napas dan luka-luka.
Bentrokan fisik di banyak tempat memicu keprihatinan sebagian akademisi. Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra meminta Presiden Joko Widodo mengundang pihak-pihak terkait untuk berdialog. Mereka meliputi pemimpin buruh, organisasi keislaman, dosen, dan guru besar yang menolak pengesahan UU.
”Perlu ada dialog dengan mereka karena di dalam masyarakat terdapat ketidakpercayaan,” kata Azyumardi. Tanpa dialog, maka kebuntuan komunikasi yang akan terjadi, dan energi yang terkuras untuk menyelesaikan masalah makin besar.