Selain kesadaran warga, pemerintah pusat dan daerah juga harus tegas menjalankan aturan penegakan protokol kesehatan. Kerumunan massa seharusnya bisa diantisipasi sejak awal, bukan setelah peristiwa terjadi.
Oleh
AGUIDO ADRI/LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pencegahan penularan virus Covid-19 akan sia-sia jika protokol kesehatan tidak dijalankan dengan displin, seperti yang terjadi di Petamburan, Jakarta Pusat, Sabtu (14/11/2020). Pemerintah pusat dan daerah harus tegas menimplementasikan aturan yang telah dibuat.
Di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, kerumunan massa dalam jumlah yang banyak menimbulkan risiko penularan Covid-19. Sejumlah warga melihat itu sebagai potensi masalah. N Salim (50), warga Tanah Abang, mengatakan, pemerintah dinilai tidak tegas mengawasi kerumunan massa di daerah Petamburan.
”Bagaimana kerumunan sampai ribuan seperti itu tidak dilarang? Jadi sekarang kami diminta untuk dengar pemerintah untuk menjalankan protokol kesehatan, tetapi mereka sendiri tidak mengawasi dan membiarkan kerumunan itu. Kan, seharusnya tidak dizinkan,” kata Salim, Minggu (15/11/2020).
Pemerintah seharusnya tidak memberikan izin berkumpul dalam jumlah besar atau mengantisipasi kerumunan massa. Jika acara berkumpul yang mengundang kumpulan massa besar tetap terlaksana, tidak hanya pihak penyelenggara yang salah, pemerintah pun harus disalahkan karena mereka mengabaikan kesehatan warga luas.
Menanggapi kerumunan massa di Petamburan, Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengatakan mengapresiasi Pemprov DKI Jakarta karena telah mengambil langkah terukur terhadap pelanggaran di Petamburan dengan memberikan denda administrasi Rp 50 juta kepada pihak penyelenggaran acara.
”Ini denda tertinggi. Apabila terulang kembali, menurut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, denda akan dilipatgandakan Rp 100 juta bila. Satgas DKI Jakarta juga memberikan sanksi kepada 17 orang yang tidak menggunakan masker, dengan total Rp 1,5 juta masuk ke Satpol PP,” kata Doni.
Doni terus berupaya berkoordinasi dengan Gubernur DKI Jakarta melalui imbauan lisan dan tertulis untuk tidak mengizinkan acara mengumpulkan banyak massa. Selain itu, Satpol PP yang menurunkan sekitar 200 personel untuk memantau kegiatan di Petamburan menilai telah terjadi pelanggaran aturan protokol kesehatan sehingga memberikan sanksi administrasi Rp 50 juta kepada pihak penyelenggara.
Terkait penambahan hukuman, menurut Doni, pemerintah pusat dan satgas nasional tidak bisa begitu saja mengintervensi aturan Peraturan Gubernur DKI Jakarta. ”Sesuai Pergub denda Rp 50 juta. Itu kewenangan Pemprov DKI,” katanya.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta Arifin, saat dihubungi, mengatakan, penegakan kedisiplinan protokol kesehatan selama pembatasan sosial berskala besar transisi tidak menebang pilih. Denda Rp 50 juta untuk resepsi pernikahan anak Rizieq Shihab tersebut telah dibayar yang bersangkutan.
Sesuai dengan Peraturan Gubernur Jakarta Nomor 79 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 ditegaskan bahwa apabila pelanggar aturan keamanan dan kesehatan melakukan pelanggaran kembali, jumlah dendanya akan ditingkatkan. Namun, Arifin menekankan bahwa hal ini bukan sekadar membayar denda, tetapi kesadaran menjaga keselamatan bersama.
”Pemerintah Provinsi Jakarta mengizinkan masyarakat mengadakan resepsi pernikahan selama PSBB transisi, tetapi ada aturan keamanan yang harus dipatuhi seperti jumlah orang di dalam ruangan hanya boleh 25 persen dari kapasitas maksimal dan semuanya wajib memakai masker,” tuturnya.
Seperti dikutip dari Kompas.com, wakil keluarga Rizieq menyatakan bisa memahami dan menerima denda administrasi tersebut. ”Jadi, Habib Rizieq sudah menerima surat denda dari satpol PP, surat sanksi tersebut. Kami dari pihak keluarga menerima dan memaklumi,” kata Hanif Alatas, menantu Rizieq.
Pihaknya sudah berupaya menerapkan protokol kesehatan secara optimal, tetapi antusiasme warga sangat tinggi.
Efek jera
Sementara itu, epidemiolog Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko, menyayangkan kerumunan massa masih saja terjadi sehingga akan berdampak luas terhadap penyebaran virus Covid-19. Selain itu, aturan protokol kesehatan yang sudah dibuat harus ditegakkan oleh pemerintah daerah. Namun, implementasi aturan melalui pergub masih sangat lemah.
”Pergub saja tidak cukup. Harus ada peraturan pemerintah (PP). dari awal seharusnya penanganan Covid-19 terutama protokol kesehatan harus menyeluruh, tidak bisa sekadar pergub. PP lebih kuat, artinya pemerintah pusat dan daerah bisa bersama mengawasi kepatuhan protokol kesehatan,” katanya.
Selain itu, lemahnya aturan tersebut juga diperparah dengan tingkat pemahaman protokol kesehatan yang masih lemah atau rendah di tataran masyarakat. Ketika pemahaman protokol kesehatan lemah, warga tentu akan abai atau tidak peduli bahkan terhadap aturan karena penindakan juga sangat lemah.
Antropolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fadjar Thufail menjelaskan bahwa pelanggaran aturan telah membudaya di Indonesia karena sanksi, baik legal, adat, sosial, maupun komunal banyak yang tidak bergigi dan memberi efek jera. Akibatnya, dalam kehidupan publik tidak ada keselarasan antara aturan dengan perilaku.
”Ada pembiaran ketika seseorang mengatakan akan berkomitmen pada suatu nilai dan norma, tetapi kenyataan bersikap sebaliknya,” ujarnya.
Perbedaan antara sikap dan perilaku bukan hal yang khas di Indonesia saja, tetapi juga di negara-negara lain. Perbedaannya ialah, di negara lain perbuatan itu tidak langsung dilupakan masyarakat. Jika tidak ada sanksi legal yang diterapkan, sanksi sosial berjalan dengan megingatkan masyarakat terhadap kesalahan yang pernah dilakukan individu tersebut disertai pesan agar tidak mengikuti jejak yang serupa.
Sebaliknya, di Indonesia kebanyakan pelanggaran, baik besar maupun kecil banyak diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Menurut Fadjar, cara kekeluargaan sendiri sebenarnya tidak masalah apabila menjamin ada efek jera bagi pelaku dan pembelajaran bagi orang lain.
Kategorisasi pelanggaran
Sementara itu, Kepala Laboratorium Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta Syaifudin menjelaskan perlunya mengenai evaluasi jenis pelanggaran. Melihat perkembangan pandemi yang kian memakan korban, semestinya kegiatan yang menciptakan kerumunan orang dengan alasan pribadi menjadi pelanggaran kategori terberat.
”Bukti dari wilayah lain di Indonesia dan seluruh dunia sudah jelas. Kluster resepsi yang tidak mematuhi jaga jarak menelan korban tamu, keluarga, bahkan pengantinnya sendiri,” tuturnya.
Pemerintah pusat dan daerah sudah sewajarnya meletakkan kegiatan menciptakan keramaian di dalam tingkat kewaspadaan tertinggi. Dalam hal ini, ketika penyelenggara acara mengajukan proposal kegiatan ke pemerintah, mulai dari tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten/kota ketegasan dan pengawasan harus diterapkan.
Apabila penyelenggara tampak tidak bisa memegang komitmen untuk menjaga jarak, jangan beri izin untuk kegiatan. Apabila contoh kegiatannya adalah pernikahan, tetap bisa dilakukan di kantor urusan agama atau dinas kependudukan dan pencatatan sipil dengan hanya melibatkan mempelai, orangtua, dan saksi. Kesakralan pernikahan tidak terganggu.
Aspek kedua ialah terkait denda. Syaifudin memaparkan di satu sisi denda membuat sebagian orang takut dan menunjukkan keseriusan pemerintah memberi sanksi. Akan tetapi, di satu sisi denda justru bisa melemahkan maksud dari aturan itu karena akan ada kelompok masyarakat yang memandang aturan dari nilai nominalnya.
”Bagi masyarakat yang belum memahami tujuan aturan untuk melindungi keselamatan diri sendiri dan orang lain akan muncul pemikiran ’tidak apa-apa melanggar aturan, toh saya mampu membayar’. Jadi sebaiknya kategori denda juga dievaluasi dan ditingkatkan lagi nominalnya,” ucapnya.