Sampah di Jakarta menghidupi banyak warganya. Salah satunya adalah pemulung. Mereka yang saban hari mencari sampah yang bernilai ekonomis ini terselip di antara gemerlap Ibu Kota.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
Demi penghidupan yang lebih baik, Nosih (35) dan suaminya meninggalkan kampungnya di Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat. Mereka hijrah ke Jakarta 13 tahun lalu. Di Ibu Kota, pasangan suami istri ini menjadi pemulung. Tak ada rasa enggan bersentuhan erat dengan sampah yang berserak.
Meski tinggal di gubuk yang selalu tiris dan kebanjiran setiap hujan turun, memungut sampah di Jakarta lebih menjanjikan pendapatan daripada tinggal di kampung. Di Muara Gembong, suaminya menjadi kuli serabutan. Kerjaan tak selalu tersedia setiap hari.
”Pokoknya ada saja gitu uang masuk meskipun selalu tekor,” katanya, Rabu (2/12/2020), di kompleks lapak pemulung di Petukangan Utara, Jakarta Selatan.
Nosih dan suami menjadi anak buah pemilik lapak tempat itu. Selain mereka, ada 24 keluarga lain yang menjadi anggota. Pemilik lapak menyediakan gubuk berukuran 2 × 3 meter secara gratis. Setiap hari, setiap keluarga dipinjami uang makan Rp 25.000. Mereka mengganti uang makan ini ketika menjual hasil pungutan sampah kepada induk semang.
Tekor
Nosih dan suami menimbang hasil pungutan dua kali sebulan. Sebelum pandemi Covid-19, mereka mendapat Rp 400.000 setiap menimbang berbagai sampah yang sudah disortir. Ketika Covid-19 melanda, sampah pun berkurang. Walhasil, penghasilan setiap kali menimbang sampah turun menjadi Rp 300.000.
Kalau menghabiskan semua uang makan dari induk semang, Nosih harus membayar utang Rp 350.000 setiap menimbang sampah. Dari gambaran ini saja, keluarga ini sudah tekor Rp 50.000 pada masa pandemi. Namun, uang makan sebesar Rp 25.000 itu jauh dari cukup untuk kebutuhan harian. Nosih dan keluarga bisa menghabiskan Rp 80.000 saban hari.
Kebutuhan keluarga ini tergolong besar karena mereka harus menghidupi dua anak, yang satu kelas 5 SD dan satu lagi berusia 13 bulan. Iqbal, si bungsu yang senang bermain sama ayam di kompleks pemulung itu, juga mengonsumsi susu formula. Sementara si sulung bisa jajan Rp 10.000 per hari.
Semua ketekoran ditutup dengan gaji tetap suaminya sebagai pemungut sampah di salah satu RT di Petukangan Utara. Setiap bulan, suaminya mendapat Rp 1,3 juta. Jika gaji tetap suami masih belum bisa menutup pengeluaran, Nosih mengadu ke induk semang. ”Biasanya kalau butuh banget bos pinjamin Rp 100.000. Ini SPP anak sudah empat bulan nunggak. Setiap bulan Rp 75.000,” ujarnya.
Di dalam gubuk mereka siang itu, suami Nosih sedang tidur setelah kecapaian memungut sampah sejak pukul 04.00. Sebuah televisi lawas teronggok di sudut gubuk. Sudah tiga bulan televisi itu rusak. Akibatnya, Iqbal tak bisa lagi menonton film favoritnya, Upin Ipin.
Di tengah keterbatasan, Nosih dan keluarga setidaknya bisa menghemat pengeluaran karena bantuan sembako dari pemerintah. Mereka mendapatkan beras, minyak, gula, dan telur setiap bulan.
Para pemulung adalah masyarakat dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terendah di Indonesia. Data itu dipublikasikan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun lalu. Merujuk data tersebut, ada 109.919 rumah tangga dan 154.249 individu berstatus kesejahteraan 40 persen terendah yang bekerja sebagai pemulung.
Menyimpan mimpi
Intan (13) dan Sulis (12) merupakan dua dari belasan anak yang besar di lapak pemulung di Petukangan Utara. Mereka tumbuh di sela berkarung-karung botol plastik dan kardus yang mengisi setiap ruang kosong tempat itu.
Intan, siswa SMP, itu memendam keinginan punya gawai sendiri. Keinginan ini pernah disampaikan kepada mamanya. ”Tapi mama diam bae,” katanya.
Gawai menjadi kebutuhan terutama saat pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemi ini. Akhirnya, selama PJJ dia meminjam gawai mama. Ini membuatnya tak lepas menggunakan gawai saat masih boleh memegang ponsel mamanya. Sebab, tak lama setelah sekolah usai, gawai kembali ditarik mama. Padahal, Intan juga ingin menengok aktivitas teman-temannya di media sosial.
Sulis pun demikian. Dia juga ingin gawai. Demi memiliki gawai idaman, Sulis sempat punya tabungan Rp 200.000, hasil ia menyisihkan uang jajan. Akan tetapi, impian itu kandas lantaran orangtuanya memakai tabungan itu untuk biaya sekolah. Putus sudah harapan untuk punya gawai sendiri. Untuk sementara, mimpi tentang gawai mesti disimpan entah sampai kapan.
Intan, siswa SMP, itu memendam keinginan untuk punya gawai sendiri. Keinginan ini pernah disampaikan kepada mamanya. ’Tapi mama diam bae.’
Enggan berutang
Di belakang Stasiun Karet, Jakarta, pemulung Efendi (67) sedang memiuh botol minuman plastik. Dia dapat 2 kg hari ini, hasil pilinan botol Efendi. ”Saya setiap hari memulung di sekitar Bendungan Hilir sampai Kebayoran,” katanya.
Ayah empat anak ini menjadi pemulung sejak Covid-19 melanda Indonesia. Sebelumnya, dia adalah juru parkir liar di Jalan Blora, Jakarta. Profesi yang sudah dijalani selama 30 tahun terpaksa ditinggalkan karena petugas dinas perhubungan sering razia.
Dia menimbang hasil memulung setiap empat hari. Dia rerata mendapat Rp 130.000. Penghasilan itu tak cukup. Sebab, kebutuhannya setiap hari sekitar Rp 50.000.
Sebagai pemulung lepas, dia tak bisa berutang kepada pemilik lapak. Kepercayaan antara mereka belum terbangun. Di sisi lain, ia juga enggan minta tolong ke teman-teman sesama pemulung. ”Kalau minta rokok okelah. Tapi minta makan? Malu saya. Makanya kalau tidak ada sama sekali, saya tahan saja. Saya pernah seharian tak makan dan masih hidup sampai sekarang,” kisahnya.
Sebetulnya, Efendi punya istri yang tinggal di Menteng Atas, sebuah kawasan padat penduduk dan kumuh di Jakarta Pusat. Namun, hubungannya dengan istri sedang renggang. Mereka sudah tak bertegur sapa sejak tiga tahun terakhir. Ditanya alasan meninggalkan rumah, Efendi menjawab, ”Piring saja yang keras bisa retak, apalagi rumah tangga,” ujarnya.