Perbanyak Ruang Rekreasi Baru di Jabodetabek untuk Kurangi Beban Puncak
Kemacetan di kawasan Puncak, Bogor, tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan transportasi. Ada persoalan kebijakan tata ruang kota di Jabodetabek yang tidak mampu menopang hasrat masyarakat mencari katarsis.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mengurai persoalan kemacetan di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tidak cukup dengan menggunakan pendekatan transportasi. Puncak dipandang sebagai lokasi katarsis, di mana masyarakat Jabodetabek berlindung dari kepenatan hidup di kota besar. Oleh karena itu, menciptakan ruang-ruang rekreasi di sekitar Jabodetabek dinilai bakal mampu mengurangi beban kawasan Puncak yang pada akhirnya bisa mengurai kemacetan.
Kawasan Puncak menjadi destinasi favorit berwisata masyarakat Jabodetabek setiap akhir pekan tiba. Kondisi itu pula yang mengakibatkan kemacetan panjang menjadi persoalan abadi kawasan Puncak. Persoalan kemacetan telah terjadi bertahun-tahun meski pemerintah pusat dan daerah telah mengupayakan beberapa solusi, seperti menerapkan sistem buka tutup dan satu arah.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyebut sistem buka tutup dan satu arah hanya solusi jangka pendek. Ia menginginkan ada suatu narasi yang lebih komprehensif untuk menyelesaikan persoalan kemacetan di Puncak.
”Persoalan transportasi hanya puncak gunung es, banyak sekali permasalahan yang harus kita bahas. Kemacetan Puncak tidak bisa diselesaikan dari sudut pandang transportasi semata,” kata Budi dalam diskusi daring bertajuk ”Puncak, Mengapa Diminati meski Macet Menanti-Menggali Solusi Persoalan Kawasan Puncak dari Berbagai Sisi” yang diselenggarakan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Selasa (29/12/2020), di Jakarta.
Persoalan transportasi hanya puncak gunung es, banyak sekali permasalahan yang harus kita bahas. Kemacetan Puncak tidak bisa diselesaikan dari sudut panndang transportasi semata.
Diskusi juga dihadiri Kepala BPTJ Polana B Pramesti, Kepala Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah pada Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bappeda Litbang) Kabupaten Bogor Danni Rachmat, Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas, antropolog Aris Arif Mundayat, dan sejarawan JJ Rizal.
Sejumlah kajian telah dilakukan untuk mencari tahu akar masalah dan penyebab dari kemacetan di kawasan Puncak. Danni Rachmat memaparkan, penyebabnya, antara lain, karena parkir yang tidak tertata dengan baik, tidak ada fasilitas bagi pejalan kaki, dan tidak tersedia fasilitas pemberhentian angkutan umum.
Danni sependapat, sistem buka tutup dan satu arah hanya solusi jangka pendek untuk mengurai persoalan kemacetan di Puncak. Kebijakan jangka panjang yang disiapkan Pemerintah Kabupaten Bogor adalah pengadaan sistem angkutan massal yang bersubsidi. Secara prinsip, Danni mengatakan, cara paling masuk akal untuk mengurai kemacetan di Puncak adalah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
”Dengan kebijakan jangka panjang itu, kami harapkan orang yang menggunakan kendaraan pribadi ke Puncak bisa bertukar moda ke angkutan umum di beberapa lokasi yang nantinya akan disiapkan,” kata Danni.
Adapun Polana mengatakan, banyak masyarakat bepergian ke Puncak menggunakan kendaraan pribadi karena terdapat persepsi bahwa tidak ada pelayanan angkutan umum dari dan menuju ke Puncak. Oleh sebab itu, BPTJ berkomitmen mengubah paradigma dari memfasilatasi kendaraan menjadi memfasilitasi pergerakan orang.
”Dengan begitu, pilihan kebijakan kami ke depan adalah memperbanyak pilihan angkutan umum. Termasuk pembangunan transportasi umum massal berbasis rel,” kata Polana.
Lokasi katarsis
Pendapat agak berbeda disampaikan Aris dan Rizal. Mereka menilai, kemacetan Puncak tidak dapat dilepaskan dari sejarah dan dinamika masyarakat Jabodetabek itu sendiri.
Aris berpendapat, di Jabodetabek terdapat satu persoalan serius yang merupakan karakter masyarakat majemuk, yaitu adanya antagonisme sosial. Antagonisme, menurut penjelasan Aris, merujuk pada situasi di Jabodetabek yang selalu penuh dengan ketegangan dan pertentangan. Dalam kondisi itu, kawasan Puncak menjadi semacam katarsis yang menjadi tujuan masyarakat urban Jabodetabek untuk menyelesaikan persoalannya.
Aris memandang persoalan kemacetan selama ini hanya dilihat dari pendekatan transportasi tanpa berusaha menyelesaikannya dengan pendekatan persoalan politik pembangunan di kawasan Jabodetabek.
Menurut Aris, daya dukung sosial kawasan Puncak sudah hampir mencapai klimaks. Puncak tidak bisa berdiri sendiri sebagai lokasi ”pelarian” masyarakat Jabodetabek dari persoalan kesehariannya. Perlu untuk menciptakan ruang rekreasi dan ruang sosial budaya yang nondiskriminatif.
Ruang rekreasi, misalnya, bisa dibangun di tepi daerah aliran sungai karena masyarakat cenderung mencari tempat-tempat yang relatif sejuk.
”Ini belum pernah tersentuh dalam setiap pembahasan desain ruang publik, termasuk fasilitas rekreasi,” ucap Aris.
Ihwal Puncak sebagai lokasi katarsis juga dikemukakan JJ Rizal. Ia menjelaskan, kawasan Puncak pada awal perkembangannya sekitar 300 tahun yang lalu mulai diproyeksikan sebagai ruang peristirahatan dan pengobatan.
Pada saat itu, Batavia terserang wabah malaria yang menelan banyak korban jiwa. Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Baron van Imhoff, akhirnya mencari alternatif pengobatan dengan membangun rumah peristirahatan di sekitar Puncak.
”Dari sana kita bisa melihat Puncak sebagai respons atas perkembangan Kota Batavia yang salah urus sehingga timbul wabah malaria,” kata Rizal.
Darmaningtyas memaparkan, solusi penyelesaian persoalan kemacetan di Puncak bisa dibagi menjadi solusi makro dan mikro. Solusi secara makro berkaitan dengan persoalan tata ruang. Pemerintah, kata dia, perlu mendesain kembali kawasan perkotaan agar masyarakat nyaman tinggal di dalamnya.
Pembangunan berwawasan lingkungan semestinya menjadi orientasi pembangunan semua wilayah agar tercipta oase-oase baru sehingga masyarakat Jabodetabek tidak harus tumpah ruah mendatangi Puncak untuk mencari ketenangan setiap akhir pekan.
”Pendekatan transportasi, semisal membangun tol atau melebarkan jalan, justru akan mendorong pergerakan orang ke Puncak yang semakin banyak,” katanya.