Menantang Keseriusan Pemerintah Terapkan PSBB Jawa-Bali
Setelah 10 bulan penanganan pandemi dinilai publik belum ada ketegasan dan sinergi antara pusat dan daerah, aturan pengetatan kembali saat ini menjadi ujian bagi pemerintah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·6 menit baca
Penerapan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB untuk Pulau Jawa dan Bali yang dimulai pekan depan perlu dipandang dengan skeptis. Banyak kasus yang menunjukkan pemerintah pusat dan daerah justru menjadi pihak pertama yang seolah melupakan pandemi Covid-19 masih berlangsung dengan membuat kebijakan saling bertolak belakang. Keseriusan membangun persepsi masyarakat untuk penanganan pandemi serta ketegasan menegakkan protokol kesehatan harus diawasi secara ketat oleh semua pihak.
”Pertanyaannya adalah kenapa PSBB Jawa-Bali baru dilakukan sekarang setelah hampir satu tahun pandemi terjadi? Kenapa bukan dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2020 ketika semua wilayah menyiapkan diri menghadapi penyebaran virus korona baru? Sekarang ini, setelah sekian banyak kebijakan tarik ulur, yang terjadi adalah kegagalan sistematis oleh pemerintah sehingga rakyat sudah telanjur apatis dengan strategi menangani pandemi,” kata antropolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Fadjar Thufail, di Jakarta, Kamis (7/1/2021).
Ia mengatakan, harus ada bukti kesungguhan pemerintah pusat dan daerah menerapkan PSBB. Pengalaman pada tahun lalu ketika DKI Jakarta menerapkan PSBB, kota-kota satelit, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, tidak melakukan pembatasan seperti apa pun sehingga warga Jakarta pergi ke wilayah satelit untuk bersenang-senang. Kasus penularan tidak bisa dihentikan.
Harus ada bukti kesungguhan pemerintah pusat dan daerah menerapkan PSBB.
Pada wawancara tertulis pekan lalu, Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan bahwa pada Juni 2020 tingkat kepatuhan warga terhadap protokol kesehatan bermasker, menjaga jarak fisik, dan mencuci tangan dengan sabun serta air mengalir mencapai 80 persen. Akan tetapi, pada Desember 2020 menurun menjadi 60 persen.
Fadjar menjelaskan, pemerintah pusat dan daerah justru tidak tegas di dalam aturan. Misalnya, sejak November 2020 berbagai perjalanan dinas di kementerian/lembaga mulai diaktifkan. Ketika menghadapi libur hari raya, pemerintah mengumumkan cuti bersama dan pada saat yang sama meminta warga tidak keluar rumah. Akibatnya, warga beramai-ramai pergi berwisata.
Di kantor-kantor lembaga pemerintah hingga kepolisian kerap terjadi kerumunan orang. Petugas berwenang ataupun petugas keamanan tidak lagi membubarkan atau setidaknya meminta orang-orang tersebut saling menjaga jarak. Demikian juga dengan maraknya iklan mengajak masyarakat agar berkunjung ke tempat-tempat wisata demi meningkatkan perekonomian. Semua dilakukan tanpa ada penegakan protokol kesehatan yang nyata, terlihat dari banyaknya kasus pelanggaran dan meningkatnya kasus positif harian.
Data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta per 7 Januari, di Jakarta ada 17.382 kasus Covid-19 aktif. Total sejak Maret 2020 kasus di Ibu Kota mencapai 178.882 persen. Pada November 2020, tingkat kesembuhan adalah 92 persen dan sekarang berkurang menjadi 89,5 persen. Persentase kasus positif kini 13,3 persen. Bandingkan dengan akhir tahun 2020, yaitu 12 persen. Angkanya kian naik dari batas aman internasional, yakni 5 persen.
”Semakin parah karena di berita dan media sosial justru para kepala daerah dan jajarannya tampak terlibat dengan berbagai kegiatan yang mengakibatkan keramaian, baik berupa acara keagamaan, hiburan, hingga pernikahan. Beberapa bahkan tertangkap tidak memakai masker. Tentu saja masyarakat secara tidak sadar memendam persepsi bahwa tidak ada bukti nyata keseriusan menangani pandemi,” papar Fadjar.
Penataan sistemik
Fadjar menjelaskan, apabila pemerintah serius menginginkan PSBB kali ini memberi perubahan positif, harus ada beberapa pembenahan sistem. Pertama ialah membuat standar capaian PSBB untuk semua provinsi dan kabupaten/kota dengan indikator terukur dan akuntabel. Artinya, segala pencatatan administrasi dan laporan dari lapangan harus diperiksa silang oleh pakar terkait, seperti epidemiolog dan organisasi dokter, untuk memastikan keabsahan capaian daerah.
Di dalamnya mencakup upaya yang dilakukan setiap pemerintah daerah untuk mendidik warga agar mengedepankan protokol kesehatan, mempromosikan vaksin Covid-19, dan mengubah gaya hidup agar sesuai dengan kebutuhan keamanan di masa pandemi. Penilaian tidak hanya pada program di atas kertas, tetapi keefektifan program dan kesinambungannya di akar rumput.
Kedua ialah mewajibkan setiap pemerintah daerah bekerja sama dengan perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan pengembangan yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran, kesehatan masyarakat, statistik, dan berbagai keilmuan terkait penanganan pandemi. Pemerintah sejatinya tidak bisa bekerja sendiri, lembaga-lembaga profesional ini harus diajak bersinergi melakukan pendataan masalah dan pencarian solusi berbasis statistik serta fakta lapangan, bukan berbasis persepsi normatif pemerintah.
”Sinergi ini harus menghasilkan pemetaan setiap wilayah provinsi dan kabupaten/kota mengenai titik-titik rawan penularan. Contohnya sudah dilakukan di Surabaya tahun lalu. Pemerintah kotanya memetakan bahwa wilayah pabrik paling rentan penyebaran virus korona,” tutur Fadjar.
Setiap kabupaten/kota dipastikan memiliki titik rawan yang berbeda sesuai dengan ciri khas wilayah masing-masing. Kemungkinan ada wilayah yang rawan di pasar tradisional, ada pula yang rawan di permukiman padat, terminal atau stasiun, di dalam angkutan umum, rumah ibadah, dan perkantoran. Pengawasan ketat dilakukan di titik itu sehingga penurunan aparat penegak hukum optimal, tidak sporadis.
Dalam kesempatan yang berlainan, Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia Mahesa Paranadipa juga menyetuji pentingnya pembenahan sistemik. Pendekatan koersif, seperti ancaman denda Rp 5 juta bagi warga yang menolak disuntik vaksin Covid-19, justru kontraproduktif karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan UU Hak Asasi Manusia.
Vaksin pada dasarnya adalah salah satu metode pencegahan penularan virus. Metode pertama dan utama adalah tetap penerapan protokol kesehatan yang secara klinis telah terbukti keampuhannya. Selain itu, setiap orang memiliki hak otonomi terhadap tubuhnya dan bisa menolak untuk diimunisasi. Sejatinya, ada cara lain yang lebih efektif untuk mengajak masyarakat menerima vaksin, yaitu pendidikan dan memasukkan vaksin dalam persyaratan formal untuk segala aspek kehidupan.
Mahesa mencontohkan, Arab Saudi mewajibkan semua calon jemaah haji dan umrah harus menunjukkan bukti sudah diimunisasi Sindrom Pernapasan Timur Tengah (MERS). Vaksin Covid-19 juga bisa diperlakukan demikian, misalnya semua pegawai negeri sipil atau orang-orang yang pekerjaannya mengharuskan kontak dengan publik, seperti pengemudi angkutan umum, harus memiliki bukti sudah diimunisasi Covid-19. Apabila tidak ada bukti tersebut, mereka tidak boleh kembali bekerja.
Pemerintah harus mencari tahu alasan sejumlah anggota masyarakat menolak vaksin. Bisa karena salah memahami informasi, termakan hoaks, atau karena alasan kepercayaan agama tertentu. Simpul-simpul ini yang diurai dengan pendidikan publik yang intensif dan memakai pendekatan yang bisa dimengerti semua jenis golongan. Apabila ada individu yang terbukti mendapat pengetahuan dan memahami kegunaan vaksin masih menolak untuk diimunisasi, itu adalah hak otonominya.
”Denda sekian juta rupiah dan sanksi pidana diberikan kepada orang yang terbukti menyebarkan hoaks atau hasutan kepada masyarakat agar menentang vaksin. Payung hukumnya adalah UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular yang menegaskan tak seorang pun boleh menghalangi penanganan wabah. Hoaks dan hasutan jelas skalanya masif,” tutur Mahesa.
Sementara itu, dari sisi jaring pengaman sosial, Dika Moehammad dari Koalisi Pemantau Bantuan Sosial meminta agar semua tingkat pemerintahan membuka data kepada publik agar bisa diawasi secara transparan. Pemakaian sistem bantuan sosial tunai (BST) adalah langkah yang baik karena setiap daerah memiliki bank dan kantor pos tempat mencairkan dana. Cara ini juga bisa memutar ekonomi lokal berskala kecil.
”Tinggal memastikan posko pengaduan aktif dan responsif terhadap keluhan ataupun masukan masyarakat,” ujarnya.