Jatuhnya Sriwijaya Air SJ-182 di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, menambah deretan kasus kecelakaan pesawat saat lepas landas. Evakuasi diutamakan sebelum mencari penyebab kecelakaan.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan pengerahan segala upaya untuk mencari pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ-182 yang diduga jatuh di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Sabtu (9/1/2021). Pencarian lebih maksimal dilakukan pada Minggu ini untuk menemukan 62 jiwa di dalam pesawat Boeing 737-500 itu.
Sriwijaya Air SJ-182 tujuan Bandara Supadio, Kalimantan Barat, tersebut hilang dari radar pukul 14.40 WIB setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Banten. ”Manajer operasi langsung koordinasi dengan Basarnas, bandara tujuan, dan instansi terkait. Pada pukul 17.30, Bapak Presiden memberikan arahan kepada kami untuk memaksimalkan upaya pencarian,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson Jauwena memastikan akan mendampingi keluarga penumpang dan kru pesawat Sriwijaya Air SJ-182. ”Maskapai juga akan bekerja dan berkoordinasi erat dengan semua pihak terkait pencarian pesawat,” ujarnya.
Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Bagus Puruhito mengatakan, terkait upaya pencarian dan pertolongan, Basarnas telah berkoordinasi dengan TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara, dan kepolisian.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, saat dihubungi Kompas, menjanjikan pengerahan kapal survei TNI AL untuk mencari Sriwijaya Air SJ-182. ”Kita kerahkan kapal survei Hidro-Oseanografi yang dapat membantu penginderaan di bawah air selain berbagai jenis kapal dan personel TNI AL,” ujarnya.
Dua kapal survei yang dimiliki TNI AL adalah KRI Spica dan KRI Rigel yang dibuat di Perancis. Kapal tersebut memiliki sistem penginderaan dan survei bawah laut termodern di Asia Tenggara.
Kepala Dinas Penerangan TNI AL Laksamana Pertama (TNI) Yulius Wiyono, dihubungi terpisah, menambahkan, TNI AL akan mengerahkan kekuatan dari Armada I dan Lantamal III. Di antaranya, KRI Teluk Gilimanuk yang membawa tim Komando Pasukan Katak (Kopaska), KRI Kurau, KRI Parang, KRI Teluk Cirebon, KRI Tjipatdi, KRI Cucut, KRI Tenggiri, dan dua Sea Rider Kopaska berikut dua kapal tunda, yakni TD Galunggung dan TD Malabar.
Hingga berita ini dicetak, badan pesawat belum ditemukan. Walau demikian, telah ada dugaan titik lokasi jatuhnya pesawat sehingga aparat telah bersiap di sejumlah pelabuhan dan pangkalan laut. KRI Gilimanuk, misalnya, sudah disiapkan di Dermaga Jakarta International Container Terminal (JICT) 2, Jakarta Utara.
Hilang kontaknya Sriwijaya Air SJ-182 mengingatkan pada jatuhnya Lion Air JT-610 pada 29 Oktober 2018 di Laut Jawa, Karawang, Jawa Barat. Boeing 737 MAX 8 Lion Air itu juga jatuh setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta.
Deputi Operasi Pencarian dan Pertolongan dan Kesiapsiagaan Basarnas Mayor Jenderal (TNI) Bambang Suryo Aji mengatakan, posisi pesawat saat hilang kontak di antara Pulau Laki dan Pulau Lancang di Kepulauan Seribu, sekitar 1,5 mil hingga 2 mil dari bibir pantai. Kedalaman perairan di wilayah tersebut berkisar 20-23 meter.
Bambang menyebutkan, tim gabungan di lapangan menemukan benda-benda yang diduga bagian dari pesawat itu. ”Benda-benda itu akan diteliti lebih dalam,” ujarnya.
Ketua RW 002 Kelurahan Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Naki (38), ketika dihubungi Kompas, mengatakan mendengar dentuman kencang sekitar waktu hilangnya pesawat. Naki bermukim di Pulau Lancang, yang dapat dicapai hanya 30 menit dengan kapal dishub dari Muara Angke.
Pulau Lancang berjarak satu jam pelayaran dari Pulau Laki. Adapun Pulau Laki kerap digunakan sebagai tempat latihan TNI sehingga warga kerap mendengar bunyi dentuman dari sana meski Sabtu kemarin tidak ada latihan.
Tidak berfungsi
Belum ditemukannya pesawat itu salah satunya disebabkan perangkat suar yang menunjukkan lokasi pesawat atau emergency locator transmitter (ELT) Sriwijaya Air SJ-182 tidak memancarkan sinyal.
Dihubungi terpisah, pengamat penerbangan Alvin Lie menyampaikan, sinyal ELT dapat menyala dengan dua cara. Pertama, dinyalakan langsung oleh pilot. Kedua, ELT otomatis menyala karena adanya hantaman pada suatu permukaan.
Menurut Alvin, ELT tetap menyala meski pesawat menghantam permukaan air. Namun, sinyal dapat terganggu apabila ELT dalam posisi tenggelam.
Ketua MPR Bambang Soesatyo menyampaikan dukacita atas jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182. ”Kementerian Perhubungan dan KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) harus menyelidiki kejadian ini secara serius. Biarkan penyelidikan berjalan tanpa ada intervensi dari pihak mana pun. Hal ini demi kebaikan kita bersama di masa mendatang,” ujarnya.
Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono menjelaskan, KNKT sedang mengumpulkan seluruh informasi terkait pesawat yang hilang kontak.
Jefferson Jauwena mengungkapkan, Boeing 737-500 produksi tahun 1994 yang dioperasikan Sriwijaya Air dalam kondisi prima. Boeing itu, lanjutnya, menunda lepas landas selama 30 menit karena cuaca tidak memungkinkan.
Chappy Hakim, mantan Ketua Tim Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi, menegaskan, usia pesawat bukan faktor penentu dalam kecelakaan. ”Kecelakaan tidak ada korelasi dengan usia pesawat. Kita tidak tahu penyebab kecelakaan itu, sampai tim investigasi menyelesaikan tugasnya,” ungkap mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara itu di Jakarta.