Perlu Pemahaman Menyeluruh Soal Vaksin untuk Atasi Penolakan
Sebagian publik masih ragu untuk divaksinasi Covid-19. Pemahaman menyeluruh tentang vaksin dari pemerintah dibutuhkan untuk meminimalkan penolakan terhadap vaksin.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keraguan sebagian orang terhadap vaksin Covid-19 masih ada. Ini dipicu beberapa hal, seperti ketidakpahaman tentang arti efikasi vaksin, penerapan protokol kesehatan walau sudah divaksin, hingga pertanyaan karena vaksin ditemukan dalam waktu relatif cepat. Edukasi menyeluruh tentang vaksin pun diperlukan.
Menurut survei Litbang Kompas terhadap 2.000 responden pada 27 Desember 2020 hingga 9 Januari 2021, sebanyak 76 persen responden bersedia divaksinasi. Alasannya beragam, seperti kesadaraan akan manfaat vaksin, faktor ekonomi, sosial keagamaan, dan politik.
Sementara itu, sebanyak 18,8 persen responden ragu untuk divaksin Covid-19. Sebanyak 5,2 persen responden lain menolak divaksinasi.
Survei oleh Kementerian Kesehatan dan Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (ITAGI) dilakukan terhadap lebih dari 115.000 orang. Hasilnya, dua pertiga responden bersedia menerima vaksin. Ada pula kelompok yang ragu dan sebagian kecil menolak vaksin. Alasan penolakan antara lain karena faktor keamanan, efektivitas, dan kehalalan.
Karyawan swasta di Jakarta, Bernadette (32), termasuk salah satu orang yang tidak yakin terhadap vaksin Covid-19. Yang ia tahu, penemuan vaksin butuh waktu belasan hingga puluhan tahun. Penemuan vaksin Covid-19 yang memakan waktu sekitar setahun membuat dia bertanya-tanya.
”Menurut saya, pemerintah perlu data penunjang yang lebih banyak soal vaksin. Selain itu, perlu juga memantau efektivitas program vaksinasi di negara-negara lain,” katanya, Senin (18/1/2021).
Irma (28), wiraswasta, juga mengaku ragu karena penemuan vaksin Covid-19 relatif cepat dibandingkan dengan vaksin penyakit lain. Ia kini menunggu reaksi dan dampak vaksin dari orang-orang yang sudah divaksin, antara lain Presiden Joko Widodo, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, dan tenaga kesehatan. Jika dampak vaksin dinilai aman, ia mau divaksinasi di masa depan.
Baik Bernadette maupun Irma paham vaksin tidak langsung menghentikan pandemi. Bernadette patuh melakukan protokol kesehatan, seperti menghindari kerumunan, memakai masker, mencuci tangan, dan mengurangi mobilitas. Sementara Irma paham potensi penyakit masih ada walau seseorang sudah divaksinasi.
”Contohnya, saya pernah divaksin cacar saat masih kecil. Seminggu setelahnya saya tertular cacar dari teman sekolah. Walau demikian, cacar yang saya alami tidak parah. Analogi yang sama berlaku untuk vaksin Covid-19,” ujar Irma.
Anita (25), tenaga kesehatan di Sangatta, Kalimantan Timur, mendukung program vaksinasi Covid-19. Kendati demikian, masih ada rekan-rekannya yang ragu terhadap vaksin. Menurut Anita, rekan-rekannya mempertanyakan efek samping dan kehalalan vaksin.
”Ini karena banyak hoaks beredar. Semuanya serba ’katanya, katanya, katanya’. Malas bertanya malah jadi sesat di jalan,” ujar Anita.
Kecepatan vaksin
Pada November 2020, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Cissy Kartasasmita mengatakan, vaksin penyakit lain lambat ditemukan karena terkendala teknologi. Vaksin Covid-19 bisa ditemukan lebih cepat karena kini teknologi sudah maju.
”Sekarang teknologi sudah maju, kemampuan (di bidang medis) maju, biaya juga ada sehingga (penemuan vaksin) bisa dilakukan secara paralel,” ucap Cissy pada webinar berjudul ”Keamanan Vaksin dan Menjawab Mitos dengan Fakta”.
Pemerintah telah menjamin efikasi dan kehalalan vaksin. Efikasi vaksin produksi Sinovac itu sebesar 65,3 persen. Kendati belum 100 persen, efikasi vaksin sudah melebihi standar minimal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 50 persen. Vaksin pun sudah mendapat izin penggunaan darurat dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan vaksin Covid-19 halal dan suci. Penetapan kehalalan itu dilakukan setelah Komisi Fatwa mengkaji secara mendalam laporan tim audit MUI.
Pemahaman vaksin
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan mengatakan, masyarakat belum punya pemahaman utuh soal vaksin. Pemerintah perlu mengedukasi publik, mulai dari penjelasan kenapa vaksin cepat ditemukan, makna efikasi, hingga kenapa publik masih harus melakukan protokol kesehatan setelah divaksinasi.
”Orang ragu karena tidak tahu cara memahami arti efikasi vaksin sebesar 65,3 persen. Pemahaman perlu diberikan dengan bahasa yang mudah oleh orang yang kompeten. Penjelasan tentang karakter virus dan vaksin juga perlu,” ujar Ede.
Ketua Satuan Tugas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban sepakat. Menurutnya, orang yang menolak vaksin kemungkinan tidak paham manfaat dan keamanan vaksin. ”Atau mereka sudah mendapat informasi keliru yang mengendap di pikiran mereka sehingga menolak vaksin,” katanya.
Ia menekankan bahwa vaksin tersebut aman dan efektif. Ia mengimbau warga agar tidak khawatir, sebab pemerintah telah mengantisipasi bila penerima vaksin mengalami reaksi alergi.
“Pelajarilah data-data terbaru. Jika Anda masih ragu, silakan hubungi pusat informasi terdekat. Bisa jadi puskesmas, dinas kesehatan, guru, dokter, atau kantor IDI. Silakan berdialog untuk mendapat informasi yang baik dan benar,” kata Zubairi.