Kawasan Puncak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tetap menjadi pilihan utama bagi warga di Jakarta dan sekitarnya untuk menghabiskan waktu liburan akhir pekan. Kemacetan di Puncak setiap akhir pekan pun tak jadi halangan.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Kemacetan yang kerap terjadi setiap akhir pekan bukan menjadi halangan bagi warga untuk berlibur ke kawasan Puncak, Jawa Barat. Mereka beranggapan, kepuasan yang didapatkan sebanding dengan pengorbanan yang dilakukan.
Sabtu (30/1/2021) siang, lalu lintas di Jalan Raya Puncak relatif ramai lancar. Kepadatan, di antaranya, sempat terpantau di kawasan Pasar Cisarua dan Simpang Taman Safari. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Jawa-Bali jilid II yang berlaku mulai 26 Januari-8 Februari 2021 juga tidak menghalangi minat warga berkunjung ke kawasan Puncak.
Salah satunya Setyo (32), warga Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang tengah menuju kawasan Telaga Saat, Cisarua, Kabupaten Bogor, pada Sabtu siang. Dia pergi bersama istri dan dua putranya yang masih berumur 3 tahun dan 10 bulan menggunakan sepeda motor. Gerimis yang tiba-tiba turun saat itu tidak menghentikan laju mereka.
”Dari rumah tadi belum hujan. Cuma mendung. Jadi, kami berani berangkat,” katanya saat ditemui di sela-sela waktu istirahatnya.
Setyo dan keluarga mengaku cukup sering berlibur ke kawasan Puncak. Setidaknya, mereka menyempatkan datang setiap sebulan sekali pada akhir pekan atau hari libur. Alasan Setyo dan istri cukup klise, keduanya hanya ingin merasakan hawa sejuk yang ada di Puncak.
Menurut Setyo, hawa sejuk yang dirasakan di Puncak seakan mengingatkannya pada kampung halaman di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Di sisi lain, putra sulungnya juga selalu menggodanya untuk kembali berlibur ke Puncak.
”Kebetulan sudah lama enggak pulang kampung. Di sini hawanya adem jadi berasa di rumah,” ujar karyawan swasta yang bekerja di Cilandak, Jakarta Selatan, ini.
Bencana longsor dan banjir bandang yang kerap mengancam kawasan Puncak pada musim hujan juga sempat membuat Setyo khawatir. Apalagi, belum lama ini banjir bandang baru saja melanda kawasan Gunung Mas, Puncak, Kabupaten Bogor.
”Sempat khawatir kemarin pas lihat berita banjir bandang. Yang penting waspada saja,” ujarnya.
Setyo juga mengaku tidak terlalu terganggu dengan kemacetan yang kerap terjadi di Jalan Raya Puncak setiap akhir pekan. Selain karena selalu mengendarai sepeda motor, dia juga memiliki rute khusus untuk menghindari kepadatan kendaraan di Jalan Raya Puncak.
”Kalau naik sepeda motor dari rumah sekitar 2,5 jam dengan waktu istirahat. Tapi terbayar capeknya karena anak-anak juga senang,” tambahnya.
Anton (35), warga Bekasi, Jawa Barat, juga mengaku cukup sering berlibur ke kawasan Puncak bersama keluarganya. Pria berdarah Minang ini biasanya berangkat pada hari Jumat malam agar tidak terlalu lama berkutat dengan kemacetan.
Seperti pada akhir pekan ini, dia pergi bersama keluarga dan para tetangganya untuk menginap di salah satu vila kawasan Puncak. Kebetulan pada masa PPKM ini harga vila sedang turun drastis. Jika biasanya tarif menginap untuk sehari semalam mencapai Rp 2,4 juta, kali ini dia hanya dikenakan tarif Rp 1,4 juta.
”Kebetulan ini ada acara sama rombongan arisan. Karena vilanya lagi murah jadi kami ke sini,” ujarnya.
Hal ini dibenarkan oleh Arif, warga Cisarua, Kabupaten Bogor, yang biasa mengantarkan pengunjung untuk mencari vila. Menurut dia, jika aktivitas pariwisata di Puncak sepi, para pengelola hotel dan vila biasanya melakukan banting harga. Vila dengan fasilitas kolam renang yang biasanya disewakan Rp 3,5 juta per hari, misalnya, bisa disewakan dengan harga Rp 1 juta.
Arif menduga, akhir pekan ini pengelola hotel dan vila akan melakukan hal yang sama. Sebab, suasana di kawasan Puncak pada terlihat tidak seramai seperti pada hari-hari normal. Kemacetan yang terjadi di beberapa titik juga belum terlampau parah.
”Saya juga enak. Kalau enggak macet penghasilan saya bisa nambah. Karena pelanggan saya kebanyakan sepeda motor. Kalau macet, sepeda motor biasa lewat tengah,” katanya.
Sementara Mulyono (60), wiraswasta asal Depok, Jawa Barat, memiliki cara berbeda menikmati daya tarik kawasan Puncak. Jika orang-orang kebanyakan biasanya pergi ke Puncak untuk menikmati keindahan alamnya, Mulyono datang ke Puncak untuk menikmati sensasi tanjakannya.
Suasana di kawasan Puncak pada terlihat tidak seramai seperti pada hari-hari normal. Kemacetan yang terjadi di beberapa titik juga belum terlampau parah
Setiap dua pekan sekali, Mulyono hampir pasti bersepeda dari kawasan Simpang Gadog, Bogor, menuju kawasan Puncak Pass, Cisarua, Bogor. Jaraknya lebih dari 20 kilometer. Sepeda yang dia gunakan juga bukan sepeda gunung atau mountain bike (MTB), melainkan sepeda lipat.
”Sensasinya bersepeda di Puncak memang enggak ada tandingannya. Ada rasa puas kalau kita bisa menanjak sampai ke Puncak Pass. Apalagi pada usia lansia begini,” ungkapnya.
Mulyono biasanya berangkat dari rumahnya di Depok menggunakan mobil sekitar pukul 05.00. Dia kemudian memarkirkan mobilnya di Masjid Agung Harakatul Jannah di Simpang Gadog. Di sana dia mengeluarkan sepeda dari dalam mobil dan mengayuhnya sampai ke kawasan Puncak. Dia biasanya turun sekitar pukul 12.00.
”Kalau macet memang repot. Kita yang biasanya sudah ancang-ancang dari bawah harus mengurangi kecepatan di tanjakan. Itu tantangannya. Tapi kalau macetnya sampai parah biasanya saya sepedaan di kawasan Sentul,” ujarnya.
Sabtu siang ini, Muyono mengaku berangkat seorang diri. Pada pekan-pekan sebelumnya, dia berangkat bersama komunitas sepedanya yang beranggotakan 18 orang. Dia juga memutuskan turun lebih awal karena jarak pandang di Puncak yang terhalang kabut.
”Kabutnya tebal hari ini. Jarak pandangnya sekitar 5 meter. Walaupun saya pakai lampu, tapi tetap rawan. Makanya, ini turun lebih awal,” katanya.