Walaupun Tak Nyaman, Jalanan Tetap Dipilih Gelandangan ketimbang Panti Sosial
Jalanan dianggap memberikan penghidupan dan kebahagian bagi para gelandangan. Karena itu, mereka memilih menggelandang ketimbang masuk panti sosial. Bayangan buruk panti sosial pun masih ada.
JAKARTA, KOMPAS — Kebanyakan gelandangan di Ibu Kota enggan tinggal di panti sosial karena merasa kehilangan kebebasan. Hidup menggelandang bagi mereka lebih bisa memuaskan batin.
Sudah lebih dari delapan tahun, Gani (75) tinggal di kolong Jalan Layang Tomang, Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Dia memutuskan untuk menggelandang setelah sang istri meninggal pada tahun 2012. Saat itu, satu-satunya rumah di Jati Pulo, Palmerah, Jakarta Barat, yang biasa dia huni bersama istri terpaksa dijual untuk biaya pemakaman istri di Sumedang, Jawa Barat.
”Saya jual rumah Rp 40 juta, tapi cuma dapat Rp 10 juta. Sisanya diambil anak tiri karena transfer uang ke rekening dia. Saya memang sempat menikah lagi karena pengin punya anak, tapi tetap enggak dikasih. Akhirnya cuma punya anak tiri,” ujarnya saat ditemui pada Senin (1/2/2021).
Baca juga : Sulitnya Mengentas dari Lingkaran Pemulung
Di usianya yang sudah menginjak kepala tujuh, Gani tinggal seorang diri. Anak tiri dari istri keduanya sudah tidak memedulikannya lagi. Pun dengan saudara-saudaranya di Cirebon, Jawa Barat. Gani akhirnya memilih hidup mandiri agar tidak merepotkan orang lain.
Gani kini mengisi hari tuanya dengan memulung meskipun penghasilan yang didapatkan tidak seberapa. Mengandalkan sisa-sisa tenaga dari tubuh rentanya, Gani hanya mampu meraup penghasilan Rp 50.000-Rp 100.000 setiap pekan. Dia mengaku hanya mampu berkeliling mencari rongsokan tidak lebih dari empat jam sehari.
”Biasanya berangkat sekitar jam 1 siang sampai jam 5 sore. Enggak kuat jauh-jauh, capek badannya. Kalau dulu mah saya pernah jadi kuli bangunan, tukang becak, sampai montir,” ungkapnya.
Jika malam tiba, Gani tidur di kursi taman yang terbuat dari besi. Dia menggunakan kardus-kardus bekas sebagai alas tidur. Dinginnya udara malam bukan menjadi penghalang baginya. Gani tidak pernah mengeluh sakit.
Bertahun-tahun berada di kolong Jalan Layang Tomang, Gani juga selalu lolos dari upaya penertiban. Dia juga tidak pernah dibawa atau ditawari untuk tinggal di panti sosial maupun panti jompo. Namun, jika tawaran itu datang, dia tidak pikir panjang untuk menolak.
”Enggak mau (ke panti). Di sana pasti enggak bisa ngapa-ngapain. Paling cuma makan-tidur. Kalau di sini, kan, bebas bisa pergi ke mana-mana. Badan juga lebih sehat,” katanya.
Baca juga : Gelandangan Ingin Mandiri Tentukan Nasib
Meski membayangkan akan mendapatkan makanan gratis setiap hari, Gani tetap lebih nyaman tinggal di jalanan dan mencari makan sendiri. Makan dua kali sehari, menyesap segelas kopi, dan merokok setiap pagi, dirasanya sudah cukup.
Di kolong jalan layang tersebut, Gani juga mengaku tidak pernah jenuh. Lalu lalang dan bisingnya suara kendaraan yang kerap melintas di sana menjadi hiburan baginya.
Enggak mau (ke panti). Di sana pasti enggak bisa ngapa-ngapain. Paling cuma makan-tidur. Kalau di sini, kan, bebas bisa pergi ke mana-mana. Badan juga lebih sehat.
Kapok ke panti
Ocit (45) dan Boim (40) juga mengaku kapok masuk ke panti sosial. Kedua gelandangan yang biasa beristirahat di pinggir Jalan Bhakti, Cideng, Gambir, Jakarta Pusat, ini mengaku pernah merasakan kehidupan di panti sosial meski hanya dalam hitungan hari.
Boim bahkan sudah tiga kali keluar-masuk panti sosial. Pria asal Aceh ini mengaku trauma kembali ke panti sosial. Dia sempat dibuang di kawasan Comal, Pemalang, Jawa Tengah, seusai menjalani rehabilitasi sosial. Saat itu dia hanya dibekali uang Rp 50.000 untuk bertahan hidup.
”Saya kena razia karena tidur di emperan toko waktu itu. Eh, taunya dibuang sampai ke Comal. Pokoknya disuruh jauh-jauh dari Jakarta. Tapi akhirnya bisa balik lagi kemari naik kereta barang,” kenangnya.
Sebelum dibuang ke Pemalang, Boim tinggal di salah satu panti sosial di Jakarta selama 10 hari. Rutinitas yang dia lakukan di sana, menurut dia, cukup menjemukan. Salah satu yang paling dia ingat adalah melakukan olahraga senam setiap pagi. Selebihnya hanya makan dan melamun.
”Enggak boleh merokok, jadi bosan. Makan di sana juga enggak enak. Nasinya kadang berair kayak hampir basi,” katanya.
Pria yang mengaku jarang mandi ini juga tidak nyaman ketika diminta menjaga kebersihkan diri di panti sosial. Para petugas juga tidak akan segan-segan memandikannya jika dia menolak mandi.
Baca juga : Mengubah Sampah Menjadi Emas
Hal yang sama juga dialami Ocit yang pernah sekali masuk ke salah satu panti sosial di kawasan Jakarta Barat. Dia tinggal di sana selama tiga hari. Di panti tersebut, Ocit ditempatkan pada sebuah barak bersama sekitar 25 penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya.
”Saya rada jijik karena di sana tinggalnya bareng orang-orang yang punya gangguan jiwa. Ada juga yang punya penyakit kulit,” ucapnya.
Rutinitas yang dijalani Ocit tidak jauh berbeda dengan Boim. Setiap pagi, dia dan PMKS lainnya wajib mengikuti olahraga senam. Ocit mengaku tidak pernah mendapatkan pelatihan atau kegiatan rehabilitasi sosial lain di panti sosial tersebut.
”Waktu itu saya ketangkap gara-gara lagi tidur di dalam gerobak. Sekarang pinter-pinter ngumpet aja biar enggak kena razia,” ujarnya.
Baca juga : Kompleksitas Fenomena Gelandangan di Indonesia
Di jalanan, Ocit mengaku bisa menjalani kehidupan yang dianggapnya lebih produktif. Dengan memulung, dia bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp 50.000-Rp 75.000 per hari. Uang tersebut cukup untuk bertahan hidup di Jakarta, meski dia harus tidur di pinggir jalan.
Senang walaupun tak layak
Sementara itu, Eli (75), juga sudah puluhan tahun menggelandang di Jakarta. Perempuan asal Cimahi, Jawa Barat, ini pertama kali datang ke Jakarta pada tahun 1980-an. Berbagai pekerjaan pernah dia jalani, mulai dari berjualan asongan hingga tukang cuci-seterika.
Awalnya, dia sempat mengontrak rumah di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, bersama mantan suaminya. Setelah digusur, dia pindah ke bantaran Kali Ciliwung di Cideng, Jakarta Pusat. Di sana, dia mendirikan rumah semipermanen dari bahan papan tripleks hingga saat ini.
”Habis kalau ngontrak mahal. Sebulan biayanya Rp 500.000. Uang dari mana. Suami juga enggak kerja setelah mata kanannya enggak bisa lihat karena kecelakaan proyek,” ujar Eli.
Di rumahnya saat ini, Eli dan suami membuka warung kecil-kecilan untuk bertahan hidup. Dia menjual minuman untuk para pemulung dan pemancing di kawasan tersebut. Meski sangat tidak layak, Eli mengaku lebih senang tinggal di sana ketimbang tinggal di panti sosial atau panti jompo.
”Dulu di sebelah pernah ada nenek-nenek yang tinggal di panti jompo, tapi balik lagi ke sini. Dia enggak betah di sana. Bosen,” ungkapnya.
Eli saat ini memiliki satu anak yang bekerja sebagai karyawan swasta di Medan, Sumatera Utara. Namun, hingga saat ini putra semata wayangnya tersebut tidak mengetahui bahwa sang ibu tinggal di sebuah rumah tripleks.
”Anak enggak pernah nanyain. Ketemu kalau pas main ke rumah saudara di Cimahi,” katanya.
Eli sadar, tempatnya tinggal saat ini selalu dipantau oleh petugas satpol PP. Beberapa kali petugas datang ke sana untuk menertibkan para PMKS, termasuk Eli. Berkali-kali pula Eli harus membongkar rumahnya. Namun, tidak butuh waktu lama baginya dan suami untuk membangun kembali rumah berukuran 2 meter × 2 meter tersebut.
Baca juga : Penanganan Gelandangan Belum Sentuh Akar Persoalan
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, dalam keterangan tertulis kepada Kompas, Minggu (31/1/2021), mengatakan, selama ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah melakukan berbagai hal dalam program pelayanan terhadap gelandangan.
Pertama, dengan mengoptimalkan program penjangkauan atau penertiban gelandangan melalui Forum Kerja Sama Mitra Praja Utama di bidang kesejahteraan sosial. Kedua, melakukan penanganan bersama memulangkan gelandangan di Jakarta ke dareah asal.
”Ketiga, dengan program yang berkelanjuan, pemprov menumbuhkan kesadaran masyarakat agar tidak berspekulasi datang ke Jakarta ketika tidak ada keterampilan yang memadai, jaminan pekerjaan, jaminan tempat tinggal, dan lainnya, kendati Jakarta bukan kota yang tertutup,” jelasnya.
Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta mencatat, pada 2020, ada 1.044 gelandangan. Pada 2019, tercatat 1.574 gelandangan di Jakarta.
Menteri Sosial Tri Rismaharini juga berjanji akan memperbaiki pola penanganan gelandangan di 41 balai yang dikelola Kementerian Sosial.