Lembaran rupiah masih langgeng sebagai sarana untuk memuluskan pengurusan administrasi kependudukan di Tanah Air.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
Awal Agustus lalu sebagian perhatian publik tertuju pada praktik diduga pungli untuk ”fee” tanda tangan surat ahli waris oleh Lurah Paninggilan Utara di Kota Tangerang. Aksi bekas lurah bernama Tamrin itu terekam video berdurasi 1 menit 53 detik yang ramai setelah diunggah akun Instagram @info_ciledug pada Kamis (5/8/2021).
Dalam video, perekam mengatakan, keponakannya, seorang anak yatim, dimintai uang Rp 250.000 untuk tanda tangan surat meskipun sepengetahuannya tidak ada pungutan biaya untuk pengurusan surat. Tamrin, seusai beredarnya rekaman video itu, menimpalinya dengan tidak menyebut nominal, tetapi membayar seikhlasnya. Tersebutlah angka Rp 20.000 yang kemudian diserahkankannya kepada laki-laki berseragam coklat yang duduk di kursi panjang.
Belakangan Tamrin dicopot dan dimutasikan sebagai staf bidang fungsional di Kecamatan Ciledug. Dia telah menjalani pemeriksaan oleh Inspektorat Kota Tangerang yang hasilnya bakal keluar pekan depan. Sanksi penundaan kenaikan pangkat hingga pemberhentian sebagai aparatur sipil negara (ASN) pun menantinya.
Saya kasih ongkos capek. Kalau tidak begitu, bisa seminggu baru selesai.
Pascapencopotannya, layanan publik di Kantor Kelurahan Paninggilan Utara berlangsung normal. Pekan lalu, misalnya, sejumlah warga datang mengurus administrasi kependudukan ataupun mengambil undangan penerimaan bantuan sosial. Kepada warga yang datang, pegawai di depan pintu masuk kantor menanyakan keperluan lalu mengarahkan ke loket pengurusan administrasi.
Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah dalam sosialisasi pencegahan pungutan liar dan gratifikasi secara daring kepada organisasi perangkat daerah dan lurah se-Kota Tangerang mengingatkan, praktik pungli harus hilang dari budaya aparatur sipil negara dan masyarakat. Semua jenis pelayanan harus dimudahkan, termasuk dengan memanfaatkan perkembangan teknologi.
”Saya prihatin kalau di bawah masih ada oknum-oknum yang ambil kesempatan di dalam kesempitan. Semua urusan administrasi telah dimudahkan. Jadi, para pegawai wajib berkomitmen untuk memberikan pelayanan dengan penuh tanggung jawab,” ucapnya.
Pelumas
Kemudahan dan layanan penuh tangung jawab belum sepenuhnya berjalan di lapangan. Lembaran rupiah masih jadi pelumas agar pengurusan administrasi berjalan mulus atau lebih cepat.
Samsul (40), warga Ciledug, melakoni hal itu ketika mengurus administrasi di salah satu kelurahan meskipun tahu kalau sebenarnya tidak ada pungutan biaya. Berkat uang pelicin itulah permohonannya selesai kurang dari sepekan.
”Saya kasih ongkos capek. Kalau tidak begitu, bisa seminggu baru selesai,” ujarnya.
Menurut dia uang pelicin itu lumrah asalkan besarannya tidak berlebihan. Apalagi, pelicin membuat pengurusan administrasi jadi lebih mudah, cepat, dan tidak memerlukan banyak waktu.
Warga lainnya, Leny (25), juga menghadapi situasi serupa. Karyawan swasta dari Larangan itu tahu kalau tidak ada pungutan biaya untuk pengurusan administrasi. ”Harusnya gratis, tetapi jadi lebih lama pengurusannya kalau tidak ada kenalan dan uang lelah,” ucapnya.
Kepala Inspektorat Kota Tangerang Dadi Budaeri menyebutkan, pemkot membutuhkan partisipasi warga untuk bebas pungli. Salah satunya menyampaikan aduan pungli di lapangan melalui berbagai media yang telah disediakan pemerintah, seperti Saber Pungli, aplikasi Tangerang LIVE, dan melalui pesan Whatsapp di 0811 1500 293.
”Kami harapkan masyarakat ikut serta dan jangan ragu melapor untuk ditindak lanjuti,” ujarnya.
Zona nyaman
Selepas kemerdekaan, etos kerja ASN mengalami perubahan. Kebanyakan ASN terjebak dalam rutinitas. Tak banyak yang memiliki keinginan kuat untuk berinovasi, bekerja ekstra, apalagi bekerja total untuk mengabdi kepada masyarakat (Kompas,16 Agustus 2020).
Guru Besar Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada Sofian Effendi menuturkan, perubahan drastis itu terjadi karena ASN dibiarkan seperti rumput liar. ”Kalau sejak diterima sebagai pegawai sampai berpuluh-puluh tahun kemudian dia dibiarkan tak dilatih, dibiarkan seperti rumput liar, ya, tidak akan maju-maju. Kita mengharapkan pegawai berkelas internasional, tetapi mereka dibiarkan tumbuh liar,” tuturnya.
Lanjut Sofian, budaya melayani masyarakat seharusnya ditanamkan sejak menjadi ASN dan secara berkala diingatkan. Bersamaan dengan itu, peningkatan kompetensi tak boleh dilupakan. Sayangnya perhatian untuk meningkatkan kualitas pegawai belum besar. Padahal, hal ini menjadi modal besar untuk menuju pemerintahan berkelas seperti target pemerintah.
Hal lain yang tak kalah penting menurut dia ialah sistem birokrasi yang memadai untuk mendukung perubahan aparaturnya. ”Jika sistemnya bobrok, perubahan ke arah yang lebih baik tentu sulit,” katanya.
Upaya pemberantasan
Pada 1977, Presiden Soeharto menggelar Operasi Tertib yang ditujukan untuk membenahi aparatur pemerintahan yang terjangkiti korupsi, melakukan pemerasan atau pungutan liar, dan menerima suap. Empat puluh tahun berselang, tahun 2017, Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan Saber Pungli dengan tujuan yang kira-kira identik dengan Operasi Tertib.
Bahkan, jauh sebelumnya, pada era Presiden Soekarno, dikeluarkan kebijakan pelaporan harta pejabat negara, yang kemudian kebijakan yang sama lahir kembali pada awal Reformasi melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta Asep Suryana mengatakan, reformasi birokrasi sudah berjalan, tetapi belum tuntas hingga ke level bawah. Pada tataran level menengah ke atas, pengawasan berjalan lebih ketat dan beban kerja sebanding dengan tunjangan kinerja.
”Level bawah mungkin belum sampai. Belum tuntas, baru ada dorongan supaya tidak pungli, sistem belum baik, demikian juga pengawasan,” katanya.
Sistem yang belum baik itu karena warisan masa lalu dalam layanan publik. Masih ada anggapan layanan publik milik pribadi, posisi basah yang menghasilkan uang, dan penghasilan sampingan atau tambahan.
Asep mengatakan, pengawasan dan internalisasi yang kurang kuat pada tataran level bawah akhirnya membuat mereka memanfaatkan warisan masa lalu tersebut. Pegawai akan bekerja maksimal kalau diberikan sesuatu atau terbiasa dengan pemberian sebagai ucapan terima kasih.
”Kondisi-kondisi itu meluruhkan kepercayaan kepada prosedur resmi. Kecuali ada pembuktian bahwa prosesdur resmi yang gratis berjalan lancar,” katanya.