Sistem pelayanan publik berbasis elektronik yang dibangun Rahmat Effendi justru tak dipercaya oleh Rahmat.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
Kasus korupsi yang menjerat kepala daerah di Bekasi, Jawa Barat, terus berulang. Pimpinan daerah berganti, perilaku korupsi justru menetap dan kian mengakar. Rakyat Bekasi terus dikhianati.
Kasus korupsi yang melibatkan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menambah daftar panjang kepala daerah di Bekasi yang terjerat kasus korupsi. Pada 2018, Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin juga ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus tindak pidana korupsi suap perizinan proyek pembangunan Meikarta. Belasan tahun lalu, Wali Kota Bekasi Muchtar Mohamad juga dibekuk KPK karena masalah yang sama, yakni korupsi.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, ada sembilan tersangka dalam operasi tangkap tangan di Bekasi, Rabu (5/1/2022). Dari sembilan orang itu, pihak pemberi ada empat orang dan penerima sebanyak lima orang.
Salah satu dari lima orang yang bertindak sebagai pihak penerima itu yakni Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi. Jumlah uang yang diterima politisi Partai Golkar itu nilainya fantastis, yakni mencapai Rp 5,7 miliar.
”Ada Rp 3 miliar berupa uang tunai dan Rp 2,7 miliar dalam buku rekening,” ujar Firli dalam sesi konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (6/1/2022) malam.
Bekasi itu karena daerah kaya, letaknya strategis, banyak kawasan industri. Sementara struktur kekuasaan lokalnya di kuasai oleh elite-elite tertentu. Jadi, (potensi) terjadinya korupsi itu rentan.
Kasus maling uang rakyat yang menjerat Rahmat Effendi memprihatinkan. Di wilayah yang dia pimpin selama sepuluh tahun, persentase penduduk miskin di daerahnya berdasarkan data Badan Pusat Statistik meningkat signifikan di 2020, yakni 4,38 persen. Angka itu lebih buruk dari persentasi penduduk miskin Kota Bekasi pada 2018, yakni 4,11 persen.
Dari data BPS yang terangkum dalam Statistik Kesejahteraan Rakyat Kota Bekasi 2020, daerah itu juga masih memiliki pekerjaan rumah dalam meningkatkan sumber daya manusia di daerah itu. Di 2020, masih ada 5,21 persen penduduk yang belum memiliki ijazah sekolah dasar. Dari sisi ketenagakerjaan, angka pengangguran di Kota Bekasi pada 2020 mencapai 10,68 persen. Angka itu naik 2,8 persen dari tahun sebelumnya.
Sejumlah persoalan dasar itu seharusnya jadi prioritas kerja kepala daerah. Bukan memanfaatkan jabatan untuk kian menyengsarakan rakyat yang sudah memberinya kepercayaan memimpin kota itu selama sekitar sepuluh tahun terakhir.
Menabrak sistem
Menurut anggota Ombudsman Republik Indonesia, Robert Na Endi Jaweng, kasus korupsi yang terus menjerat kepala daerah di wilayah Bekasi menjadi ironi. Di Kabupaten Bekasi, daerah itu memang secara struktur politik dan ekonomi rentan terhadap tindak pidana korupsi.
”Kabupaten Bekasi itu karena daerah kaya, letaknya strategis, banyak kawasan industri. Sementara struktur kekuasaan lokalnya di kuasai oleh elite-elite tertentu. Jadi, (potensi) terjadinya korupsi itu rentan,” kata Robert saat dihubungi pada Kamis sore.
Kondisi berbeda justru terjadi di Kota Bekasi. Sebab, daerah itu lebih banyak dihuni kelompok kelas menengah dan tempat tinggal warga yang bekerja di Jakarta. Kasus yang menjerat Rahmat Effendi juga cukup disesalkan lantaran selama masa kepemimpinan Rahmat, dia dinilai inovatif dan inklusif.
Inovasi yang dilakukan Rahmat dan cukup berhasil, yakni terkait pelayanan publik. Di akhir 2021, Kota Bekasi mendapat penghargaan dari Ombudsman RI sebagai empat kota teratas dari 98 kota di seluruh Indonesia terkait dengan standar kepatuhan pelayanan publik.
Penilaian standar kepatuhan didasarkan pada 14 standar. Beberapa di antaranya terkait proses, biaya, dan waktu pelayanan saat seseorang mengurus perizinan.
”Studi lapangan kami juga menunjukkan di sana ada mal pelayanan publik yang mengintegrasikan secara fisik kantor-kantor layanan ke mal pelayan publik dan integrasi proses pelayanan,” tutur Robert.
Rahmat juga dinilai cukup berhasil dalam membangun sistem pengadan barang dan jasa serta unit pelayan pengaduan berbasis elektronik yang kuat. Sayangnya, sistem pelayanan publik berbasis elektronik yang dibangun Rahmat justru tak dipercaya oleh Rahmat.
”Kota Bekasi ini menjadi ironi. Sistem dibangun, tetapi godaan pada otoritas yang kuat dengan integritas yang lemah itu akhirnya menyebabkan (kepala daerah) mencampuri dan mengintervensi sistem yang ada. Masih ada pintu belakang dan ruang gelap kekuasaan,” ujar Robert.
Hormati proses hukum
Wakil Wali Kota Bekasi Tri Adhianto, Kamis pagi, mengatakan, pelayanan publik di Kota Bekasi dipastikan tetap berjalan seperti biasa. Pemerintah kota menyerahkan sepenuhnya proses hukum operasi tangkap tangan Wali Kota Bekasi kepada KPK.
”Yang jelas kami ikuti saja prosesnya. Tentu ada rasa prihatin dan sedih ini terjadi di Kota Bekasi. Kami doakan mudah-mudahan Pak Wali Kota dapat menjalani dengan baik,” katanya.
Dari unsur Pemerintah Kota Bekasi, sejumlah pihak yang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, selain Rahmat Effendi, ada juga sejumlah pejabat di lingkungan Pemkot Bekasi, seperti Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan PTSP M Bunyamin, Camat Jatisampurna Wahyudin, Lurah Kati Sari Mulyadi, serta Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan Jumhana Lutfi.