DPRD DKI Jakarta memiliki sejumlah harapan terhadap sosok penjabat gubernur DKI Jakarta, selain kooperatif, bisa bekerja sama, dan bisa membangun komunikasi. Untuk itu, ada sejumlah kriteria yang menjadi pertimbangan.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·4 menit baca
Masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria sudah akan berakhir pada 16 Oktober 2022. Sesuai amanat surat Menteri Dalam Negeri, DPRD DKI Jakarta sudah menyelesaikan tugas membahas dan mengusulkan tiga nama calon penjabat gubernur DKI Jakarta.
Melalui rapat pimpinan gabungan (rapimgab) yang berlangsung pada Selasa (13/9/2022) disepakati tiga nama, yaitu Heru Budi Hartono yang saat ini menjabat Kepala Sekretariat Presiden, Sekdaprov DKI Jakarta Marullah Matali, dan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar.
Ketiga nama itu juga sudah dikirimkan ke Kemendagri oleh Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Mersudi. Selanjutnya, nama-nama itu akan dibahas bersama dengan tiga nama lain usulan dari Kemendagri.
Yang menarik, saat menyampaikan hasil rapat, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi tegas mengatakan, ketiga nama itu merupakan putra-putra terbaik yang memahami permasalahan Jakarta. Mereka juga dekat dengan Presiden Joko Widodo.
Namun, yang terpenting, seperti yang disampaikan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Rani Mauliani, siapa pun sosok penjabat gubernur, DPRD DKI berharap sosok terpilih adalah yang paham Jakarta, bisa bekerja sama dengan Dewan, profesional, dan kooperatif. Tentu saja, sosok terpilih diharapkan bisa berkomunikasi dengan sembilan fraksi dan seluruh anggota Dewan.
Mencermati harapan Dewan yang adalah wakil rakyat itu, mantan Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Sumarsono, Rabu (14/9), menguraikan, sosok yang akan menjadi penjabat gubernur DKI Jakarta mesti memenuhi sejumlah kriteria atau syarat. Dari syarat administrasi, sosok penjabat mestilah dari eselon I.
Melihat syarat ini, ketiga nama yang diusulkan DPRD DKI Jakarta telah memenuhi syarat. ”Eselon 1 dan tidak harus dari dalam negeri. Dari mana saja bisa asalkan ia eselon 1. Jangankan sipil, dari TNI-Polri saja ia bisa selama administrasinya eselon 1,” kata Sumarsono yang saat ini aktif mengajar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Kriteria selanjutnya yang mesti dipenuhi adalah memiliki kemampuan teknis. Kemampuan ini penting karena sosok penjabat harus menguasai teknis kompetensi pemerintahan.
Apabila disebut sosok penjabat memahami permasalahan Jakarta, ia harus memahami Jakarta memiliki banyak problem terkait program dan anggaran; serta keuangan. Untuk itu, sosok penjabat Gubernur DKI harus tahu persis atau mendalami mekanisme penganggararan yang meliputi perencanaan, pemrograman, dan sistem penganggaran.
Gubernur yang kurang menguasai hal ini, menurut Sumarsono, membuat munculnya gesekan dengan DPRD DKI. Itu terlihat dari era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama hingga gubernur yang sekarang, Anies Baswedan.
”Terakhir, Anies itu hubungannya juga tidak serasi dengan DPRD karena tidak menguasai persoalan ketiga hal ini,” ujarnya.
Dengan problem terkait program dan anggaran, serta keuangan, maka dari kebutuhan secara teknis dan fungsional, penjabat gubernur yang dibutuhkan adalah orang yang tahu mengenai program juga tahu persis atau mendalami mekanisme penganggararan. Dengan begitu, hubungan dengan Dewan akan lebih baik.
”Jadi, Dewan itu membutuhkan yang namanya eksekutor anggaran yang andal,” kata Sumarsono.
Kompetensi lain yang mesti dimiliki sosok penjabat gubernur, menurut Sumarsono, juga mesti memiliki kemampuan manajerial. Kemampuan ini berarti dapat mengelola hubungan dengan forum koordinasi pimpinan daerah (forkopimda), mengelola hubungan eksekutif-legislatif, mengelola hubungan forum kesatuan umat beragama, mengelola konflik sosial politik yang terjadi, mengelola krisis, hingga mengelola kepentingan pilar keempat demokrasi yang bernama media.
Termasuk di dalamnya merawat hubungan vertikal-horizontal. Hubungan vertikal tentu saja hubungan dengan pimpinan yang adalah presiden. Penjabat harus mampu menjembatani misi presiden. Karena kepanjangan tangan dari presiden, gubernur harus bisa memastikan keberhasilan visi dan misi nasional presiden di Jakarta. Salah satu agenda tersebut adalah pemindahan ibu kota negara (IKN).
Jakarta tidak bisa kita dekati hanya secara politik, tetapi profesionalisme harus dikedepankan karena persoalan-persoalan riilnya itu.
Terlebih dalam hubungan horizontal dengan DRPD dan hubungan ke bawah dengan rakyat harus dijaga. ”Jakarta sangat dinamis. Kemampuan komunikasi publik sangat dituntut di samping kemampuan kompetensi pemerintahan,” kata Sumarsono lagi.
Melihat ketiga nama yang diusulkan DPRD, ia menilai penilaian yang diberikan DPRD DKI Jakarta kepada ketiga nama calon penjabat gubernur cukup rasional. Heru Budi mendapat sembilan suara, Marullah mendapat sembilan suara, dan Bahtiar mendapat enam suara.
Heru Budi dengan latar belakang pernah mengelola keuangan dan aset DKI Jakarta, juga pernah dua kali menjabat wali kota, dinilai Sumarsono memenuhi teknis kompetensi ini. Latar belakang ini memenuhi kebutuhan Dewan sehingga bisa menjembatani.
Marullah juga pernah menjabat wali kota, tetapi ia belum pernah mengurusi keuangan, menghitung anggaran. Adapun Bahtiar lebih berpengalaman di politik.
”Jakarta tidak bisa kita dekati hanya secara politik, tetapi profesionalisme harus dikedepankan karena persoalan-persoalan riilnya itu,” kata Sumarsono.
Untuk itu, apabila aspirasi Dewan diakomodasi oleh Presiden akan lebih baik sehingga akhirnya terpenuhi apa yang diharapkan Dewan sebagai wakil rakyat. Meski begitu, Sumarsono mengingatkan Dewan agar melakukan evaluasi di akhir tahun pertama kepada penjabat gubernur.