Hotman Paris Hutapea dan Kekuatan Viral Para Pengais Keadilan
Diversi awalnya jadi jalan penyelesaian kasus pemerkosaan oleh anak terhadap anak di Cilincing. Dalam hitungan detik, Hotman Paris Hutapea mengubahnya. Kekuatan viral masih senjata ampuh warga kecil mengais keadilan.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
Pada Selasa (20/9/2022) siang, Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Wibowo, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi, Ketua Komite Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, bersama pengacara Hotman Paris menggelar konferensi pers di salah satu gedung Polres Metro Jakarta Utara.
Kehadiran secara bersamaan berbagai pihak itu demi memastikan agar kasus pemerkosaan yang dialami seorang remaja perempuan berusia 13 tahun yang melibatkan empat pelaku laki-laki berusia 11-13 tahun itu berkeadilan dan berjalan sesuai koridor hukum yang berlaku.
Kasus pemerkosaan yang terjadi pada 1 September 2022 di salah hutan kota di Cilincing, Jakarta Utara, itu memprihatinkan sekaligus mengagetkan. Empat bocah yang berusia 11-13 tahun terlibat perencanaan dan memerkosa seorang perempuan, F (13), bukan nama sebenarnya, ketika berjalan kaki melintasi hutan kota saat hari menjelang gelap.
”Kami menyimpulkan dalam perspektif perlindungan anak bahwa nanti akan ditangani tindak pidananya melalui pendekatan diversi, yaitu menyelesaikan kasusnya di luar persidangan,” kata Arist.
Penyelesaian kasus anak dengan pendekatan diversi sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 21 menyebutkan bahwa, jika anak belum berumur 12 tahun, pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial profesional memutuskan mengembalikan anak tersebut kepada orangtua atau mengikutsertakan mereka ke dalam program pendidikan atau pembinaan yang difasilitasi negara.
Arist menyebut, dari hasil klarifikasi dan verifikasi, empat anak tersebut tidak layak dikembalikan kepada orangtua. Kondisi kehidupan orangtua dan lingkungan dinilai tak layak untuk mengembalikan anak-anak itu kepada keluarga mereka. Empat bocah atau anak yang berhadapan dengan hukum itu juga tidak bersekolah.
”Kami sudah sepakat, mengingatkan anak-anak ini putus sekolah, kemudian kami berharap anak-anak ini lebih baik lagi, mereka akan kami berikan pelatihan, pendidikan dasar, pembinaan selama enam bulan. Hasil kesepakatan akan kami ajukan ke pengadilan untuk mendapatkan ketetapan hakim,” kata Kapolres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Wibowo.
Gugatan Hotman Paris
Hotman saat mendapat kesempatan bercerita tentang kakak dari korban yang terus mengirim pesan Whatsapp. Keluarga bertanya-tanya tentang penanganan hukum yang dinilai tak menjawab rasa keadilan korban.
”Ini tidak bisa saya jawab melalui WA karena harus print dulu penjelasan undang-undang. Ibu ini masih menangis. Bagaimana cara menerangkannya, undang-undang kita yang salah, atau DPR kita yang salah,” kata Hotman sembari merangkul kakak korban.
Menurut Hotman, empat bocah yang masih berusia 11-13 tahun itu sudah memiliki perilaku seperti begal, sudah tahu memerkosa. Bahkan, saat melakukan tindak pidana, ada yang membantu dengan memegang korban dan ada yang melakukan pemerkosaan. Perilaku para bocah yang bertindak layaknya orang dewasa dipertanyakan. Apakah mereka masih pantas untuk dikembalikan kepada orangtua.
Di Indonesia ini, saking banyaknya ketidakadilan, namanya bukan lagi pencari keadilan, tetapi mengais-ngais keadilan. Kalau mencari, kan, keadilannya ada. Ini mengais-ngais, saking susahnya keadilan, saking mahalnya keadilan itu.
”Tadi saya wawancara pelaku, mereka hampir tidak mengerti sebenarnya. Secara seksual mereka mungkin tidak mengerti, tetapi mereka sering lihat saat orang (berhubungan) di jembatan,” ucap Hotman.
Hotman mengakhiri penjelasannya dengan mengajak kakak dari F turut berbicara di hadapan jurnalis. Kakak korban tak mampu berbicara banyak. ”Dulu adik saya ceria. Sekarang kalau ditanya bengong,” kata kakak korban sembari terus menangis.
Tangis keluarga korban di hadapan Kapolres Jakarta Utara Komisaris Besar Wibowo mengubah situasi. Wibowo menjelaskan bahwa dari empat pelaku itu, hanya satu pelaku yang berusia 11 tahun. Artinya, untuk satu pelaku itu, proses penanganan maksimal hanya sebatas diversi, yakni dibina selama enam bulan atau dikembalikan kepada orangtua.
”Tetapi yang di atas 12 tahun, nanti akan kami diversi ulang lagi. Kalau memang terjadi kesepakatan, bisa dilaksanakan. Tetapi, kalau tidak terjadi kesepakatan, tiga orang ini bisa lanjut hukumnya, bisa dipidana. Tergantung keputusan hakim,” kata Wibowo.
Saat itu, Hotman memastikan bahwa keluarga korban tidak sepakat dengan diversi atau berdamai. Keluarga meminta proses hukum terhadap tiga pelaku lain yang telah berusia 13 tahun terus berlanjut. Wibowo pun mengangguk.
Pengais keadilan
Hotman mengatakan, kehadirannya di Polres Jakarta Utara merupakan bagian dari misi Hotman 911. Hotman 911 merupakan langkah-langkah hukum yang dilakukan Hotman bersama tim untuk membantu dan mendampingi masyarakat kecil yang sulit memperjuangkan keadilan.
”Kriteria Hotman 911 adalah kasus yang sangat menyentuh rasa kemanusiaan, khususnya yang dialami oleh rakyat ekonomi lemah. Saya sekarang menyebutnya, pengais keadilan. Di Indonesia ini, saking banyaknya ketidakadilan, namanya bukan lagi pencari keadilan, tetapi mengais-ngais keadilan. Kalau mencari, kan, keadilannya ada. Ini mengais-ngais, saking susahnya keadilan, saking mahalnya keadilan itu,” tutur Hotman.
Hotman menyebut, pembentukan Hotman 911 juga untuk membantu mempercepat laporan atau pengaduan yang disampaikan masyarakat kepada penegak hukum. Banyak warga yang melapor ke Hotman 911 karena meski berstatus korban, penanganan terhadap laporan warga terkesan jalan di tempat.
”Dalam minggu ini, sudah hampir lima pengaduan (kasus pemerkosaan) datang ke Hotman 911. Bayangkan, itu baru yang berani. Di Indonesia mungkin lebih, hanya belum terbuka. Baru kali ini orang berani karena percaya sama Hotman,” katanya.