Infrastruktur Fisik Belum Mampu Mengurai Kemacetan di Jakarta
Lima tahun terakhir pertumbuhan kendaraan di atas 5 persen, pertumbuhan jalan 0,1 persen. Pantaslah volume kendaraan membeludak. Infrastruktur fisik seperti jalan layang belum mampu atasi macet. Perlu solusi jitu lain.
Oleh
ZULIAN FATHA NURIZAL
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan sarana fisik jalan seperti jalan layang hingga saat ini nyatanya belum mampu mengurai kemacetan di DKI Jakarta dan kota-kota di sekitarnya. Langkah nyata untuk mengurai kemacetan dari dan menuju Ibu Kota dinantikan masyarakat yang setiap pagi dan petang berjibaku dengan padatnya kemacetan.
Di sepanjang jalan Lenteng Agung Raya, Jakarta Selatan, pukul 06.30-08.00, antrean kendaraan memenuhi jalan raya sepanjang 1,8 kilometer pada Kamis (6/10/2022). Kendaraan berjalan tersendat rata-rata sekitar 20 kilometer per jam di kawasan yang berbatasan dengan Kota Depok, Jawa Barat, itu. Arus lalu lintas begitu padat karena di kawasan ini terdapat sejumlah lembaga pendidikan, yang juga mulai beraktivitas sejak pagi hari.
Pembangunan jalan layang (fly over) Tapal Kuda yang ikonik dan diharapkan dapat mengurai kemacetan justru tak jua mengurangi kepadatan lalu lintas di kawasan tersebut. Satu dari tiga ruas jalan eksisting kini harus berbagi dengan jalan layang Tapal Kuda sehingga menyebabkan penyempitan jalan. Kendaraan yang sebelumnya dapat mengantre dalam tiga lajur, kini terpaksa bergantian masuk menjadi dua baris melalui jalan itu bak leher botol (bottleneck).
Sumber kemacetan lainnya terlihat berada di bawah jembatan penyeberangan orang (JPO) Stasiun Lenteng Agung. Bus Transjakarta, angkutan kota, dan ojek daring yang berhenti sembarangan untuk menaikkan penumpang turut memperlambat arus kendaraan dari Depok menuju Pasar Minggu.
Adinda Amalia (26), karyawan swasta asal Depok, harus berangkat lebih pagi untuk bisa sampai ke kantornya di Meruya, Jakarta Barat. Kemacetan di ruas jalan Lenteng Agung sudah biasa ia rasakan sejak menjadi mahasiswa pada tahun 2015.
”Sebelumnya, aku menggunakan Transjakarta dan ojek daring menuju kantor. Sekarang beralih menggunakan sepeda motor karena dirasa lebih cepat sampai dan murah,” ujar Adinda.
Dalam seminggu, ia menghabiskan Rp 120.000 untuk mengisi bahan bakar minyak (BBM) sepeda motornya. Jauh lebih mahal ketika ia menggunakan Transjakarta dan ojek daring yang menghabiskan Rp 460.000 dalam seminggu. Alasan inilah yang membuat Adinda beralih dari angkutan umum ke sepeda motor.
Hal serupa dirasakan Andrean Candra (22), mahasiswa asal Bekasi, Jawa Barat. Ia menghabiskan waktu 1 jam perjalanan menggunakan kereta komuter agar masuk kelas tepat waktu menuju kampus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta yang lokasinya dekat dengan sumber kemacetan.
Meskipun demikian, Andre lebih memilih naik kendaraan umum karena lebih efisien, nyaman, dan mudah dijangkau dari rumahnya di daerah Bekasi. Dalam seminggu, ia menghabiskan Rp 75.000 untuk naik kereta komuter dan Transjakarta menuju kampus.
”Habis naik KRL, saya naik Transjakarta menuju kampus. Bus seringnya datang lama karena terjebak macet. Jadi bus penuh terus,” ujarnya.
Apa yang dirasakan Andre dan Adinda turut dirasakan warga kota Bekasi saat melintasi jalan I Gusti Ngurah Rai menuju Jakarta Timur. Perbaikan jalan yang berlubang dan pembangunan jalan layang Cakung sudah dilakukan, tetapi belum mengurai kemacetan.
Kondisi ini diperparah dengan banyaknya pedagang dan ojek daring yang berhenti di pinggir jalan. Hal ini menyebabkan pejalan kaki turun ke jalan yang menambah sesaknya jalan. Selain itu, tidak adanya petugas dishub dan polantas membuat pengendara melanggar aturan dengan menggunakan jalur sebelah kanan melawan arus.
”Hape saya pernah terpental karena saya menghindari pengendara motor yang melaju kencang melawan arus. Sudah ditegur malah dia yang lebih galak,” ujar Widya Damayanti (26), karyawan swasta yang menggunakan KRL untuk bekerja di kawasan Kota Tua, Jakarta.
Widia berharap adanya pembangunan yang mementingkan pejalan kaki seperti dirinya, seperti pembangunan JPO ataupun pelebaran jalan. Ia menambahkan, semoga nantinya kejadian yang menimpanya tidak terulang lagi dan keamanan pejalan kaki meningkat.
Lima tahun terkahir, pertumbuhan kendaraan di atas 5 persen, sedangkan pertumbuhan jalan hanya 0,1 persen. Pantaslah volume kendaraan membeludak.
Jurus jitu
Dihubungi via telepon, Ajun Komisaris Joko Purnomo, perwira Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan, membenarkan kondisi Jalan Lenteng Agung Raya yang macet. Ia mengungkapkan penyebab kondisi kemacetan, di antaranya pertemuan arus dari sejumlah jalan di sekitar yang bermuara ke jalan Lenteng Agung sehingga volume kendaraan meningkat dan kian padat.
”Kami sudah melakukan beberapa hal untuk mengurai kemacetan, antara lain peneguran angkot dan kendaraan yang berhenti sembarangan, penilangan, sampai penjagaan dari anggota kami di lokasi,” ujarnya.
Ketika dikonfirmasi, ia mengatakan, pihaknya tidak memiliki rancangan khusus jangka panjang terkait kemacetan di ruas jalan Lenteng Agung. Menurut dia, kondisi tiga ruas jalan dibagi dengan jalan layangharusnya bisa mengurai kemacetan, nyatanya tidak bisa.
Pemerhati transportasi dan Mantan Kasubdit Gakkum Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Budiyanto, mengungkapkan, masalah utama kemacetan di kota besar seperti Jakarta dan kota penyangganya ialah perkembangan jumlah kendaraan tidak sebanding dengan sarana fisik, seperti penambahan jalan.
”Lima tahun terkahir, pertumbuhan kendaraan di atas 5 persen, sedangkan pertumbuhan jalan hanya 0,1 persen. Pantaslah volume kendaraan membeludak,” ujarnya.
Budiyanto menambahkan, pihak terkait, seperti kepolisian, dinas perhubungan, dan pemerintah daerah, seharusnya memiliki rancangan yang jelas, yang lebih ekstrem dan berdampak nyata, untuk mengurai kemacetan. Program yang dilakukan selama ini kurang maksimal.
Selain itu, masyarakat juga harus dibiasakan untuk taat pada aturan di jalan sehingga arus lalu lintas bisa berjalan lancar, edukasi taat lalu lintas harus ditanamkan sejak dini. Jangan sampai masyarakat baru taat jika bertemu dengan petugas di jalan, setelah itu lalai.
”Mengenai kemacetan itu kompleks, tidak bisa dilakukan sendiri. Harus ada kolaborasi antarpemangku kebijakan, penegak hukum, juga peran serta masyarakat,” kata Budiyanto.