Muara Beting, Kampung "Dollar" yang Terancam Hilang
Muara Beting di Muaragembong, Bekasi, pernah mencapai masa kejayaanya pada 1980-an. Kampung itu dijuluki sebagai kampung "dollar" lantaran sangat gampang mendapat udang dan ikan. Kondisi kampung itu kini memprihatinkan.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
Kampung Muara Beting, di Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muaragembong, Kabupaten Bekasi, berlimpah ikan, udang, dan kepiting. Saking kayanya, kampung itu sampai dijuluki sebagai kampung "dollar". Namun, itu cerita masa lalu.
Kampung Muara Beting berjarak sekitar enam kilometer dari Kantor Kecamatan Muaragembong, di Desa Pantai Mekar, Kabupaten Bekasi. Meski cukup dekat, perjalanan ke kampung tersebut dengan sepeda motor membutuhkan waktu tempuh cukup lama, yakni sekitar satu jam.
Akses jalan ke Kampung Muara Beting hanya bisa ditempuh dengan sepeda motor karena jalur ke kampung itu cukup sempit, yakni lebarnya hanya satu meter. Jalan yang terbuat dari ubin itu pun tak lagi mulus, berlubang, serta berlumpur.
Kondisi jalan tersebut rusak akibat banjir rob yang cukup rutin merendam kawasan tersebut. Banjir rob selama bertahun-tahun menjadi momok bagi warga di Muara Beting.
Dampak rob bagi perumahan warga terlihat di sepanjang jalan Kampung Muara Beting. Air laut terus merangkak naik ke daratan hingga menggenangi halaman rumah warga.
Kondisi tembok rumah warga hingga tembok masjid terkelupas. Ada pula rumah warga yang telah kosong ditinggal pemiliknya.
Kehidupan warga di Muara Beting, sangat khas dengan kehidupan warga pesisir pada umumnya. Ada warga yang menjahit jaring, menjemur ikan, memilah udang, serta membersihkan bubu yang baru diangkat dari laut.
Jumhana (57), seorang ibu rumah tangga di Kampung Muara Beting, misalnya, pada Kamis (27/10/2022) siang, sedang sibuk memilah beragam jenis ikan berukuran sebesar jari telunjuk orang dewasa. Ikan-ikan kecil itu hasil tangkapan suaminya pada pagi hari.
"Cuma segini, paling hanya satu kilogram. Tangkapan nelayan lagi kurang. Satu tahun terakhir, susah dapat ikan. Laut lagi kosong," kata warga RT 005 RW 002 Desa Pantai Bahagia tersebut.
Jumhana dan suaminya selama 10 tahun terakhir kembali menggantungkan hidup di laut. Mereka mencari ikan bermodal perahu kecil dengan kapasitas bahan bakar dua liter. Perahu itu hanya mampu berputar-putar menjaring ikan dan udang di daerah pesisir.
Berharap pada laut, ikan dan udang tak lagi mudah dijumpai. Sekali melaut, jika sedang beruntung, maksimal jumlah ikan dan udang yang terjaring paling bayak hanya 3 kilogram.
Hasil tangkapan itu habis untuk mengisi bahan bakar atau bekal selama berada di laut. Utang pun kerap menumpuk di warung akibat pengeluaran sehari-hari saat melaut tak sebanding dengan jumlah ikan atau udang yang terperangkap di bubu.
Meski kini sulit mendapat ikan, warga asal Indramayu, Jawa Barat tersebut, 20 tahun yang lalu merupakan salah satu nelayan sukses di kampung tersebut. Ayahnya memiliki 15 hektar tambak. Udang, ikan, hinga kepiting di tambak melimpah.
Muaragembong ini di 1980-an, hasil alamnya luar biasa. Dari situ, mulai banyak orang ke sana
"Saya punya tambak dulu, peninggalan orangtua. Tetapi sudah rusak, kena abrasi semua," katanya.
Abrasi dan penurunan muka tanah jadi penyebab rusaknya tambak nelayan di Muara Beting. Di kampung ini, sudah tak ada lagi tambak warga yang aktif. Sebagian besar tambak kini kembali menjadi hutan mangrove.
Penurunan muka tanah dan dampak abrasi tak hanya merusak tambak nelayan Muara Beting. Penurunan muka tanah turut menghilangkan sejumlah kampung di Muara Beting Ujung. Kampung Muara Beting Ujung jaraknya sekitar 500 meter dari wilayah Muara Beting, tempat bermukimnya Jumhana dan ratusan keluarga lain saat ini.
"Di sini, penduduknya dulu hampir 200 keluarga. Sekarang tinggal 15 keluarga saja," kata Kusno (45), salah satu warga yang masih bertahan di Kampung Muara Beting Ujung, pada Kamis (27/10/2022) siang.
Jarak Kampung Muara Beting Ujung dengan pesisir pantai saat ini hanya 200 meter. Padahal, di awal tahun 2000, akses ke pesisir pantai jarak tempuhnya sekitar 1,5 kilometer. Abrasi dan penurunan muka tanah turut meleyapkan tiga kampung lain di Muara Beting Ujung.
"Tempat ini dulu, ikan dan udangnya melimpah. Kampung kami dijuluki kampung dollar. Kenapa? Kita lepas jaring satu atau dua jam saja, ikan dan kepiting penuh. Gampang sekali cari uang," kata lelaki yang telah tinggal di sana sejak 1988.
Kawasan mangrove
Yusup Maulana, pendiri Komunitas Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Muaragembong Kita, menyebut, ada beragam faktor penyebab turunnya muka tanah dan abrasi di wilayah pesisir Muaragembong. Selain karena perubahan iklim dan pemanasan global, ulah warga juga turut berdampak pada kerusakan daerah pesisir di Muaragembong.
Pesisir Muaragembong pada di 1960-an masih tak berpenghuni. Kondisi alam di daerah itu pun masih asri, hijau, dan masih banyak hidup beragam jenis satwa, mulai dari beragam jenis burung, kera ekor panjang, hingga Luntung Jawa.
"Muaragembong ini di 1980-an, hasil alamnya luar biasa. Dari situ, mulai banyak orang ke sana," kata Yusup.
Warga yang datang ke Muaragembong di berasal dari beragam tepat, seperti Banten, Jawa Barat, hingga Jawa Timur. Warga yang datang ke tempat tersebut kemudian mengubah wajah Muaragembong menjadi lahan tambak.
Laporan Kompas pada 1975, menyebut kalau belum banyak orang tahu letak Muaragembong. Pesisir Muaragembong saat itu juga digambarkan memiliki pesona alam yang indah dan dipenuhi beragam aneka burung, seperti kuntul, belibis, bluwok, pelatuk besi, hingga kepodang, dan camar.
Pesisir Muaragembong didominasi pepohonan pidada. Pohon pidada dalam usia muda tumbuh rimbun di sepanjang pinggir kali. Daun-daun pohon itu mengurai ke sungai hingga menumbuhkan panorama yang sedap, (Kompas, 3/9/1975).