Sebagian orang mungkin geli atau jijik melihat tubuhnya yang ramping dan halus dengan warna kemerahan. Akan tetapi, warga Kampung Cacing di Kota Tangerang memanfaatkannya sebagai penghasil rupiah.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
Tariman (29) baru kembali dari Banjir Kanal Barat di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta. Bapak dua anak itu lantas menuangkan sekarung lumpur bercampur dedaunan dan sampah ke kolam kecil atau amparan di tepi Kali Cisadane, Kota Tangerang, Banten.
Sepersekian detik kemudian lumpur beraroma limbah memenuhi amparan berukuran 1,5 x 1 meter yang terbuat dari gundukan tanah dan beralaskan plastik. Kedua tangannya langsung meratakan lumpur ke seluruh bagian amparan sambil memilah dedaunan dan sampah dari lumpur.
"Setelah ini keluarkan air yang kotor sampai hanya sisa lumpur. Terus tutup pakai baliho kurang lebih sejam. Nanti kotoran mengendap dan cacingnya naik," tutur Tariman, Minggu (20/11/2022).
Cacing yang dimaksud Tariman ialah cacing sutra (Tubifex sp). Cacing ramping dan halus sepanjang 1-2 senti berwarna dominan kemerahan.
Cacing sutera umumnya hidup di daerah tropis dengan kondisi perairan berlumpur dan mengandung bahan organik yang terurai dan mengendap di dasar air, seperti Kali Cisadane. Tak pelak Tariman dan warga Kampung Cacing di Kelurahan Cikokol, Kecamatan Tangerang memanfaatkan cacing sutra sebagai mata pencaharian.
Tariman sudah 9 tahun menggeluti pekerjaan sebagai penjual cacing sutra. Saban hari dia silih berganti menyelam di Kali Cisadane, Banjir Kanal Barat, Kampung Pulo, Waduk Pluit atau Kali Cikarang Bekasi Laut.
"Cacing sutra tak selalu ada. Kali Cisadane sudah hampir 8 bulan cacingnya sedikit karena air sering naik, jadinya lebih banyak pasir daripada lumpur. Musim kemarau juga susah karena lumpur kering, cacingnya mati," katanya.
Peralatan sederhana
Tak ada peralatan spesial yang digunakan warga untuk menyelam maupun memelihara cacing sutra di kolam. Kemudahan tersebut membuat 35 keluarga di Kampung Cacing tak beralih ke pekerjaan lain.
Tariman hanya bermodal kaos, celana pendek, dan serokan untuk menyelam. Ia mampu menyelam sedalam tiga meter. Meraba-raba lumpur lalu menyeroknya.
"Nyelam raba-raba lumpur nanti terasa cacing kena tangan. Langsung serok," ujarnya yang mendapat 13 gayung cacing sutra dari Banjir Kanal Barat.
Seluruh cacing itu dipindahkan dari amparan ke kolam berukuran 5 x 1,5 meter di halaman rumahnya. Ada dua kolam di situ, salah satunya sudah dihuni 40 gayung cacing sutra.
Air di setiap kolam warga jernih. Terpasang pula instalasi penyaring air. Instalasi itu menyala 24 jam penuh agar cacing sutra dapat bertahan hidup.
Namanya usaha di alam tidak bisa diprediksi. Kadang dapat kadang enggak. Syukuri saja
Santo (29) warga lainnya tengah membersihkan kolam yang keruh ketika dijumpai. Ia menyikat endapan lumpur dan kotoran cacing sebelum mengganti air kolam. Setelah semua pekerjaan beres, cacing sutra langsung dimasukan ke kolam. Sebelumnya cacing-cacing itu dijaring dan ditampung ke dalam ember.
"Kolam-kolam ini bisa tampung 100 gayung cacing sutra. Kolam harus bersih supaya cacingnya hidup. Kalau airnya butek, cacingnya pada mati," ucap Santo.
Tunai
Siang itu, Iyus (42) datang dari Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat untuk membeli cacing sutra di Kampung Cacing. Ia kebagian tujuh gayung cacing dari salah satu warga.
Harganya Rp 35.000 per gayung. Nantinya cacing-caing itu bakal ia jual lagi kepada pembudidaya ikan di Bogor. "Belanja selalu ke sini (Kampung Cacing). Ini pakan ikan favorit," ujarnya.
Rata-rata dalam sehari warga bisa mengantongi Rp 150.000 hingga Rp 200.000 dari pembeli cacing sutra. Uang tersebut dibagi untuk kebutuhan sehari-hari, biaya sewa tanah, dan kebutuhan lainnya.
"Namanya usaha di alam tidak bisa diprediksi. Kadang dapat kadang enggak. Syukuri saja," kata Santo yang mengontrak tanah Rp 3 juta untuk hunian bersama istri dan dua anaknya.
Tariman juga menyewa tanah Rp 3,8 juta per tahun. Sementara uang lainnya digunakan membeli kayu untuk perbaikan rumah dan biaya istri melahirkan anak kedua.
Selain Tariman dan Santo, ada Yuswanto (46), lelaki yang dijadikan ketua Kampung Cacing oleh warga setempat. Ia sudah bergumul dengan cacing sutra sejak tahun 2000.
Yuswanto baru kembali dari Kali Pesanggrahan ketika ditemui. Ia tengah memindahkan dua karung lumpur ke dalam amparan. Menurutnya pembeli datang dari Jabodetabek dan daerah luar, seperti Banyuwangi di Jawa Timur, Pati dan Semarang di Jawa Tengah, dan Lampung di Sumatera.
Mereka bisa membeli hingga ratusan gayung cacing setiap dua atau tiga hari dalam sepekan. Seiring waktu pembeli-pembeli itu menyebut area tepian Kali Cisadane itu sebagai Kampung Cacing.
Penghuni Kampung Cacing sendiri merupakan warga dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. Mereka mengontrak tanah milik salah satu perusahaan yang tak jauh dari lokasi.
Saat ini kebanyakan penghuninya merupakan generasi kedua. Yuswanto salah satunya yang setia mencari cacing sutra.
"Puncak ramai di sini itu tahun 2010. Orang dari Bogor sampai Labuan, Pandeglang tergantung sama cacing dari sini (Kampung Cacing). Pas pandemi (Covid-19) juga ramai sekali karena demam ikan hias (cupang)," ucapnya.
Ke depannya, Yuswanto dan warga mulai berpikir untuk mendirikan koperasi sebagai wadah usaha cacing sutra. Dengan begitu jual beli cacing bisa terkoordinasi melalui satu pintu sehingga lebih teratur. Sebab, mereka ingin berdaya dengan cacing sutra.