Duo Badut Pencuri Bukan Kasus Remeh
Pencurian sepeda motor sering terjadi di kota-kota besar. Sebagian pelaku masih di bawah umur, seperti kasus badut pencuri di Kramat Pela, Jakarta Selatan. Isu kriminal juga sosial ini perlu mendapat perhatian.
JAKARTA, KOMPAS — Pencurian sepeda motor oleh duo badut pengamen di Jakarta Selatan bukanlah masalah kecil. Pengamat melihat adanya fenomena sosial di balik peristiwa itu, yakni tindak kriminal oleh anak dan kemiskinan.
F (19) dan P (15), pelaku pencurian sepeda motor milik seorang warga di Jalan Haji Aom Gang Tempe, Kelurahan Kramat Pela, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ditangkap polisi pada Senin (21/11/2022). Kedua pelaku tersebut diduga bekerja sebagai badut, yang salah satunya masih di bawah umur. Atas perbuatannya, mereka dijerat Pasal 363 KUHP tentang Pencurian dengan ancaman hukuman maksimal tujuh tahun penjara.
”Keduanya sudah kami tangkap. Saat ini, kami tengah berkoordinasi dengan orangtua pelaku dan balai pemasyarakatan karena salah satu pelaku masih di bawah umur,” kata Kapolsek Kebayoran Baru Komisaris Donni Bagus Wibisono saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (23/11).
Donni menambahkan, kedua pelaku berpenampilan badut pengamen tanpa penutup wajah saat hendak mencuri sepeda motor. Namun, aksi mereka gagal setelah salah seorang warga yang mengenali sepeda motor korban memergoki mereka.
Saat dipergoki, satu pelaku berhasil kabur, sedangkan satu lainnya ditangkap lalu dihajar warga setempat. Polisi akhirnya datang dan membawanya ke Polsek Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sementara itu, pelaku yang sempat kabur akhirnya menyerahkan diri.
Dari peristiwa itu, Donni menegaskan, salah satu kunci terhindar dari aksi kriminal adalah kepekaan atas situasi sekitar dan kewaspadaan dari masyarakat. ”Jangan selalu melihat modusnya karena modus kejahatan selalu berubah. Kejahatan terjadi bukan semata karena ada niat dari pelaku, tapi juga karena ada kesempatan,” lanjut Donni.
Kasus remaja sebagai pelaku kejahatan seperti pencurian sepeda motor ini juga tak lagi mengagetkan. Kasus serupa sebelumnya sudah banyak terjadi di Jakarta ataupun di kota-kota lain di Indonesia.
Melalui keterangan tertulis pada Kamis (24/11), peneliti dari Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa), Muhamad Bill Robby dan Ishlah Fitriani, mengatakan, perlu penelusuran khusus untuk menyelidiki berbagai faktor penyebab anak menjadi pelanggar hukum dalam konteks urban di Indonesia. Faktor tersebut antara lain berasal dari individu, keluarga, teman sebaya, sekolah, dan lingkungan.
Berdasarkan temuan studi Puskapa pada 2020, mayoritas anak yang terlibat dalam sistem peradilan berusia 14-17 tahun sebanyak 93,76 persen dan anak berusia 18 tahun ke atas 4,55 persen. Berdasarkan jenis pekerjaan, anak yang tergolong pelajar mencapai 37,63 persen, diikuti anak berstatus pekerja 18,68 persen, anak yang tidak bekerja 11,05 persen, dan sebanyak 26,32 persen anak tidak diketahui status pekerjaannya.
Selanjutnya, berdasarkan jenis perkara, pencurian adalah kasus yang melibatkan anak tertinggi, yakni 60,13 persen, diikuti penyalahgunaan narkotika 18,31 persen, kekerasan 12,47 persen, dan tindak pidana terkait Undang-Undang Perlindungan Anak 7,40 persen.
Bill menambahkan, anak yang melanggar hukum biasanya terdampak masalah struktural, seperti kemiskinan, pola asuh keluarga, pendidikan, atau kekerasan terhadap anak. Namun, salah satu masalah tersebut tidak bisa dijadikan penyebab tunggal.
Mungkin kita sering mendengar bahwa anak harus selalu dilindungi karena akan menjadi penerus bangsa. Namun, niat melindungi anak menjadi kompleks dan serba salah saat perilaku anak bertentangan dengan konsep ideal kita tentang mereka.
”Tidak ada faktor tunggal yang dapat memprediksi anak untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan kriminal. Maka, berbagai faktor tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mendiskriminasi anak sebagai calon pelaku tindak kriminal,” ucap Bill.
Ishlah menambahkan, pemerintah juga perlu memastikan sistem peradilan pidana anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 (UU SPPA) tentang perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dapat berjalan dengan baik. Namun, hasil penelitian Puskapa bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Unicef pada 2020 menemukan berbagai masalah, antara lain pendampingan anak yang tidak selalu tersedia serta alternatif penahanan dan pemenjaraan yang belum memadai atau layanan rehabilitasi anak yang masih terhambat.
”Mungkin kita sering mendengar bahwa anak harus selalu dilindungi karena akan menjadi penerus bangsa. Namun, niat melindungi anak menjadi kompleks dan serba salah saat perilaku anak bertentangan dengan konsep ideal kita tentang mereka,” ujar Ishlah.
Baca Juga: Penjahat Kambuhan Membegal Taksi Daring di Cilegon
Kronologi kejadian
Pada Senin sekitar pukul 21.00 WIB, Subardi (27) memarkirkan sepeda motornya di depan rumah seusai bekerja sebagai ojek daring. Adapun rumah Subardi berada di dalam sebuah gang selebar 1,5 meter. Saat itu, Subardi tidak mengunci stang sepeda motor matic merah miliknya.
Melihat posisi motor yang tidak terkunci, F dan P membawa kabur sepeda motor Subardi. Salah satu pelaku menaiki motor Subardi, sementara pelaku lain mendorongnya dengan kaki (stut) sembari mengendari sepeda motornya sendiri.
Menurut kesaksian Joko Asori, Ketua RT 009 RW 008 Kelurahan Kramat Pela, dua pelaku yang mengenakan kostum badut pengamen itu sudah cukup sering datang ke wilayahnya. Namun, saat kejadian, kedua pelaku tersebut tampak kebingungan.
Mereka tidak langsung keluar dari wilayah tersebut, tetapi memutar sehingga bertemu dua warga sekitar yang tengah berjaga. Saat hendak keluar dari gang, salah satu warga yang mengenali motor Subardi pun menegur mereka.
”Waktu ditanya, mereka bilang kalau habis COD (jual beli secara langsung) motor dan motor itu mogok. Namun, salah satu warga tahu kalau itu punya Subardi, makanya terus dikejar,” kata Joko.
Begitu sadar bahwa aksinya diketahui warga, salah satu pelaku yang mengendarai sepeda motor segera melarikan diri. Pelaku yang membawa motor Subardi pun diamankan warga setempat. Selang beberapa waktu, polisi datang dan membawa pelaku ke Polsek Kebayoran Baru, sedangkan pelaku yang melarikan diri akhirnya datang menyerah.
Terdesak
Kasus yang mirip juga pernah terjadi di Jalan Lebak Bulus 2, Jakarta Selatan, pada medio tahun ini. Pelaku yang merupakan seorang pemulung itu mencuri baut besi dari sebuah proyek pembangunan masjid di kawasan tersebut. Kapolsek Metro Jagakarsa Komisaris Multazam Dishendra yang menangani kasus tersebut saat masih menjabat sebagai Kapolsek Metro Cilandak mengatakan, motif pencurian pelaku adalah ekonomi.
Faktor yang menyebabkan mereka melakukan tindakan pencurian itu karena ada kesempatan untuk mencuri dan, di satu sisi, terdesak kebutuhan hidup sehingga mereka berpikir secara irasional atau nekat melakukan tindakan pencurian.
Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Syaifudin, menyampaikan, secara umum tindak pencurian yang dilakukan masyarakat kelas menengah bawah terjadi karena permasalahan kebutuhan hidup yang dihadapinya. Mereka juga tidak bisa mengakses sumber-sumber ekonomi yang ada secara maksimal karena latar belakang pendidikan dan sosialnya.
”Faktor yang menyebabkan mereka melakukan tindakan pencurian itu karena ada kesempatan untuk mencuri dan, di satu sisi, terdesak kebutuhan hidup sehingga mereka berpikir secara irasional atau nekat melakukan tindakan pencurian,” ujarnya.
Syaifudin menambahkan, kebutuhan hidup, kemiskinan, terbatasnya akses ekonomi dan keterampilan kerja dapat berpotensi ke arah kriminal. Negara harus lebih memperhatikan kondisi ini dengan meningkatkan jaring pengaman sosial, akses lapangan kerja dan usaha, pelatihan kerja, serta akses pendidikan.