Di Jakarta, kelas tari untuk orang ”down syndrome” sulit ditemukan, hanya sebagian kecil sanggar tari memilikinya. Salah satunya dihadirkan oleh Gandrung Dance Studio dan Sanggar Nyi Ronggeng.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pentas akhir tahun 2022 Gandrung Dance Studio dan Sanggar Nyi Ronggeng menghadirkan penampilan kelas down syndrome, selain kelas anak, remaja, dan dewasa. Sebanyak lima orang down syndrome membawakan dua tarian di Gandaria City Mall, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Minggu (18/12/2022).
Pemilik Sanggar Gandrung Dance Studio dan Nyi Ronggeng Rosmala Saridewi menjelaskan, pentas terbuka ini merupakan upaya memperkenalkan tari tradisional kepada masyarakat metropolitan, seperti Jakarta. Selain sebagai hiburan, pentas ini juga sebagai ajang apresiasi tarian tradisional oleh masyarakat.
”Kita perlu membuka ruang selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk menikmati tarian tradisonal. Selain itu, juga memberi kesempatan bagi siapa saja yang ingin mempelajarinya, tidak terkecuali orang berkebutuhan khusus seperti down syndrome,” katanya.
Pentas ini menampilkan total 100 penari dari dua sanggar asuhan Rosmala, yaitu Gandrung Dance Studio dan Sanggar Nyi Ronggeng. Sebanyak 20 tarian ditampilkan dalam panggung ini. Para penari terbagi pada kelas anak, remaja, dewasa, dan down syndrome.
”Kelas khusus down syndrome dibuat karena kami ingin memberi ruang yang setara dan kesempatan yang sama bagi siapa pun untuk menari. Di Jakarta juga sangat sulit menemukan kelas menari untuk mereka, padahal menari bagus untuk motorik dan kognitif orang down syndrome,” ujarnya.
Adapun kelas down syndrome diampu oleh lulusan sarjana seni tari yang pernah mengajar untuk orang berkebutuhan khusus seperti down syndrome dan difabel.
Pelatih kelas down syndrome, Nirwan Mulyawan, memaparkan, secara umum tidak ada perbedaan yang signifikan antara materi untuk kelas umum dan kelas down syndrome. Mereka sama-sama mempelajari tari tradisional Indonesia. Perbedaannya, pada kelas down syndrome, tempo dan kesulitan koreografer dibuat lebih mudah.
”Karakteristik setiap orang down syndrome berbeda, maka penanganannya berbeda juga. Penanganan untuk anak pendiam adalah harus banyak diajak komunikasi, berbeda dengan yang aktif,” kata Nirwan.
Dua tarian dibawakan oleh kelas down syndrome, yaitu tari jipeng dari Jawa Barat dan tari sambo mambo dari Papua. Kelima penari hapal dengan gerakan tariannya walaupun sesekali gerakan mereka tidak selaras.
”Memang susah bagi mereka untuk memperhatikan satu sama lain dan menyelaraskan gerakan. Berbeda dengan penari normal yang akan menengok dan menyesuaikan penari lain ketika tampil. Itu memang hal yang spesial dari teman-teman down syndrome,” ucap Nirwan.
Raafi menjadi lebih interaktif dan ceria karena energinya tersalur melalui menari dan berinteraksi dengan teman-temannya. (Ernie Parwati)
Kelas down syndrome di sanggar ini memiliki enam siswa laki-laki dengan rentang usia 16-27 tahun. Satu tarian membutuhkan waktu tiga bulan bagi siswa di kelas ini untuk paham dan ditampilkan.
Orang tua siswa down syndrome Teti Salmiati (50) menceritakan, putranya Farhan (17) sudah dua tahun mengikuti kelas ini. Ia mendapat info mengenai kelas ini dari orang tua anak down syndrome lain.
Menurut Teti, putranya mengalami perubahan yang berarti selama dua tahun mengikuti kelas menari. Farhan menjadi lebih tenang, tidak mudah panik, dan paham dengan situasi. Relasi dengan temannya juga lebih baik, karena sering bertemu dan berinteraksi.
”Selama ini saya kesulitan mencari kelas tari khusus down syndrome di Jakarta. Sekarang Farhan memiliki kesibukan datang ke kelas ini setiap hari Minggu. Kami juga berlatih mandiri di rumah. Ia terlihat senang dan menikmati,” tuturnya.
Tinggi Farhan sekitar 155 cm. Sembari mengenakan pakaian dan dandanan tari sambo mimbo dari Papua, Farhan berpose mengepalkan tangan mengikuti gerakan tarian.
”Senang, tapi capek,” katanya sambil tertawa ketika ditanya bagimana perasaannya bisa menampilkan dua tarian hari ini.
Orangtua anak down syndrome lain, Ernie Parwati (56), menjelaskan, putranya Raafi (17) juga selalu senang ketika menari, terutama ketika bersama teman-temannya. Selama hampir dua tahun berada di kelas tari ini, Ernie merasa terjadi perubahan perilaku baik oleh Raafi.
”Raafi menjadi lebih interaktif dan ceria, karena energinya tersalur melalui menari dan berinteraksi dengan teman-temannya,” kata Ernie.
Albin (2016) dalam publikasi pada Journal of Dance Education memaparkan, tarian merupakan bentuk terapi yang baik dan efektif orang down syndrome. Hal ini karena menari meningkatkan koneksi antara tubuh dan pikiran yang mampu merangsang perkembangan, kesehatan, dan kemampuan kognitif.