Dibuang Dulu, Dinikmati Kemudian
Di tangan para pemulung khusus ini, buah dan sayuran yang dianggap rusak, tak bernilai guna, bisa dimanfaatkan sedemikian rupa. Cara itu memutar roda perekonomian dan mengurangi kemubaziran pangan.
Siti Komah (62) bergegas mendekati lekukan yang membatasi lapak buah dan tempat kendaraan mengangkut-menurunkan muatan di Pasar Kramatjati, Jakarta Timur. Di sana, seorang lelaki memiringkan peti kayu. Semangka-semangka di dalam peti pun berjatuhan.
Semangka-semangka itu menambah ramai area yang sebelumnya sudah diisi beberapa melon dan jeruk. Siti mengambil beberapa semangka dan menepuk-nepuknya.
”Kalau bunyinya buk-buk-buk berarti semangka ini enggak bagus (sudah busuk semuanya),” kata Siti menirukan bunyi pukulan tangan ke bantal, bunyi yang tidak nyaring, Jumat (17/2/2023).
Jika terdengar bunyi teng-teng-teng—dengan e seperti membaca emas—ada kemungkinan masih ada yang bisa diselamatkan dari buah yang terbuang itu.
Untuk memastikannya, Siti akan mengiris semangka. Pada lapis kesekian, ia biasanya menemukan bagian yang dianggapnya masih layak dikonsumsi dan dijual.
Siti merupakan satu dari sekitar 10 pemulung buah di Pasar Kramatjati. Para pemulung kebanyakan perempuan yang usianya tidak lagi muda. Mereka berasal dari Jawa Tengah, dengan Demak mendominasi. Hanya Siti yang datang dari Purwodadi.
Setelah mengumpulkan semangka dan melon, Siti dan pemulung lain berkumpul di tepi jalan menuju zona semangka. Mereka menaruh keranjang berisi buah hasil sortiran sambil menawarkannya kepada calon pembeli.
Baca juga : Bara di Tanah Merah
Pemulung bernama Ramijah (54) mengatakan, satu keranjang berisi empat atau lima semangka laku Rp 20.000. Dalam sebulan, Ramijah bisa mengantongi Rp 4 juta. Itu cukup untuk biaya sehari-hari, biaya bulanan kontrakan, ongkos pulang ke Demak setiap bulan, dan ditabung.
Pembeli pun datang dengan beragam motif, mulai dari yang berniat mengonsumsi sendiri, menjualnya kembali, hingga mengolahnya lagi. Anita (26) membeli empat semangka Ramijah untuk dikonsumsinya dan keluarga. ”Anak saya bisa ngehabisin satu buah sendirian,” katanya.
Di lapak reguler, semangka per kilogram Rp 7.000. Satu buah semangka seberat 2-3 kg dihargai lebih dari Rp 20.000.
Pedagang buah potong dan rujak di sisi selatan pasar juga pelanggan para pemulung buah tersebut. Selepas tengah hari, mereka berpencar ke sekitar Pasar Kramatjati, Taman Mini Indonesia Indah, dan Jatinegara, menjajakan dagangannya.
Kelir (32) mengatakan, dagangannya kombinasi buah yang dibeli dari lapak penjual di dalam pasar dan buah dari pemulung. Meski kadang bentuknya tak sempurna, pedagang asal Pemalang, Jateng, ini memastikan buah yang dibeli dalam keadaan layak makan.
”Buktinya yang biasa beli buah ke saya enggak pernah protes, berarti menurut mereka ngerasa enak-enak saja, kan,” ucap Kelir.
Baca juga : Sampah Makanan Indonesia Mencapai Rp 330 Triliun
Tak hanya buah, sayur rusak pun ada yang menyelamatkannya. Bagi Takdim (72), Siti Maimunah (56), dan pemulung sayur lain, Pasar Kramatjati ibarat surga kubis. Sebab, hampir dipastikan ada kubis terbuang sebelum sampai di lapak penjual.
Setibanya di pasar, kubis biasanya dikupas lebih dulu sebelum diangkut ke lapak. Kupasan itu disortir kembali oleh pemulung. Bagian yang layu, bolong, busuk, basah atau menghitam dibuang.
Selama 3 jam sejak pukul 06.30, Takdim mengumpulkan kubis di tiga karung waring bekas bawang. Ia memperkirakan beratnya 15 kg. Per karung dijual Rp 10.000-Rp 15.000. Pembelinya menjual kembali ke Pasar Klender dan Pasar Jatinegara.
Siti Maimunah mencuci dan memotong kubis hasilnya memulung. Pembelinya, penjual somai atau gorengan.
Hasil riset Bappenas yang dipublikasikan pada Juni 2021 menunjukkan, terdapat 23 juta ton-48 juta ton makanan yang hilang dan terbuang per tahun atau setara 115-184 kilogram per kapita per tahun.
Sampah
Mukhlisin (38), penjual kubis di Pasar Kramatjati, mengatakan, setiap truk mengangkut 6 ton kubis. Dari jumlah itu, sekitar 10 persen atau 6 kuintal bagian terluar dikupas dan dibuang. Ini dilakukan karena pembeli secara umum biasanya memilih kubis yang tak ternoda.
Kecenderungan masyarakat memilih buah atau sayur dengan tampilan fisik sempurna itu dinilai sebagai sesuatu yang wajar. Profesor psikologi di Montclair State University, New Jersey, Debra A Zellner, memaparkannya dalam jurnal Appetite pada 2014. Dalam riset tersebut, Zellner menemukan orang menyukai makanan dan merasa makanan tersebut lebih enak ketika disajikan dengan menarik.
Preferensi terhadap bentuk yang indah dan sempurna itu berhubungan dengan proses dalam otak manusia. Kendati wajar, preferensi itu turut menyumbang tingginya angka sampah makanan. Khusus di Pasar Kramatjati, Perumda Pasar Jaya sebagai pengelola pasar mencatat pada 2022, setidaknya 20 ton sampah dihasilkan per hari. Adapun sampah yang mendominasi adalah sayur dan buah.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2022, sampah makanan menyumbang 40,7 persen sampah yang dihasilkan 19.200 ton per tahun. Adapun hasil riset Bappenas yang dipublikasikan pada Juni 2021 menunjukkan, terdapat 23 juta ton-48 juta ton makanan yang hilang dan terbuang per tahun atau setara 115-184 kilogram per kapita per tahun.
Baca juga: Mengurangi Sampah Makanan
Hal ini selaras dengan riset Ketut Kariyasa dari Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian bersama Achmad Suryana dari Badan Ketahanan Pangan. Dalam penelitian berjudul ”Memperkuat Ketahanan Pangan melalui Pengurangan Pemborosan Pangan”, mereka menjelaskan, kehilangan pangan di Indonesia terjadi sepanjang proses produksi dan konsumsi.
Fase kehilangan makanan paling besar terjadi di tahap konsumsi dengan total makanan terbuang sebanyak 5 juta ton-19 juta ton per tahun. Pemborosan pangan turut terjadi di tingkat produsen, seperti di Pasar Kramatjati.
Agar pemborosan tak terus terjadi, pendiri usaha sosial di Surabaya bernama Garda Pangan, Eva Bachtiar, mengatakan, kita perlu berdamai dengan makanan yang dicap jelek. Sejak 2017, misalnya, mulai marak gerakan ugly food di Eropa. Gerakan itu mendorong masyarakat untuk memikirkan pola konsumsinya, yakni lebih berdamai dengan makanan yang dianggap secara visual jelek.
Gerakan tersebut juga menekankan, makanan yang tidak cantik itu hanya penampilannya. Adapun rasa ataupun kandungan nutrisinya sebenarnya masih terjaga. Masyarakat diingatkan akan mubazir apabila makanan itu terbuang dan merusak lingkungan jika menambah sampah.
Baca juga: Pakta Milan, Kota, Limbah Pangan
Agar tidak khawatir akan kandungan gizi ataupun kelayakan makanan yang terbuang itu, Eva menyarankan pengujian organoleptik. Pengujian itu sederhana lantaran mengandalkan kepekaan alat indra manusia. Pengujian yang juga dilakukan para pemulung, termasuk menepuk-nepuk semangka.
”Ini metode yang sudah diakui di dunia F and B (food and beverages) untuk mengetahui kelayakan makanan. Tidak perlu pakai metode laboratorium dengan mengukur pH dan sebagainya,” ucap Eva.
Upaya pemanfaatan makanan yang masih layak konsumsi, tetapi dari visual sudah buruk, bisa pula dengan pengolahan. General Manager FoodCycle Indonesia Cogito Ergo Sumadi Rasan mencontohkan, pisang yang sudah menghitam karena terlalu matang diolah menjadi kue pisang. Saat yang terbuang itu sudah berubah bentuk karena diolah dengan baik dan menarik, orang cenderung mau memakannya.
Siti dan pemulung lain tanpa sengaja sudah ikut mengurangi pemborosan pangan. Langkah baik lagi ekonomis yang pantas diikuti.