Sejak pagi hingga jauh malam, para kurir bergerak mengukur jalan demi mengantar beragam barang pesanan konsumen. ”Paket!” Demikian seruan khas penanda mereka telah sampai ke rumah kita.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·6 menit baca
Sejak pagi hingga jauh malam, para kurir bergerak mengukur jalan demi mengantar beragam barang keperluan. Sayangnya, kehadiran kurir yang didorong dengan teknologi tidak dibarengi dengan jaminan mereka untuk memiliki perlindungan hukum yang jelas karena termasuk dalam kategori pekerja informal.
Sambil duduk di teras depan kontrakan berlokasi di Kelurahan Gaga, Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Kamis (9/3/2023) siang, Damiri (42) memilih barang yang akan diantarnya kepada para pemilik paket. Di kontrakan tiga petak dengan teras berukuran 1 meter terdapat satu meja. Di atas meja tersusun tiga karung yang berisi barang-barang konsumen. Jumlah paket di dalam karung itu mencapai 150-an barang.
Sejak pukul 07.00, Damiri sudah mengambil barang dari gudang penyortiran di kawasan Ciledug, Tangerang, ke titik base camp, yakni kontrakannya.
”Bersama rekan kurir lain, kontrakan ini kami sebut sebagai base camp. Di sini kami memilih dan menyusun kembali barang yang akan diantar kepada pemiliknya berdasarkan wilayah RT dan RW,” kata bapak dua anak yang bekerja sebagai kurir ekspedisi J&T Express itu.
Hingga Kamis siang, ia sudah berkeliling mengantar 70 paket di sekitar permukiman wilayah Larangan dan Ciledug, Kota Tangerang. Ia mengendarai sepeda motor, yang di bagian depan dan belakangnya diletakkan karung berisi paket. Ia menyusuri Jalan Inpres 15, lalu berbelok ke Jalan Inpres 16, serta lurus melewati Jalan Inpres 17.
”Paket!” teriak Damiri dari depan gerbang sebuah rumah. Tergopoh-gopoh si pemilik rumah mengambil paketnya dari balik gerbang dengan menjulurkan tangannya ke luar.
Butuh waktu 2-3 jam untuk menyelesaikan 50 paket itu. Setiap hari, ia bekerja tanpa waktu menentu untuk mengejar target dan mendapat uang lebih banyak. Jika tidak ada kendala, ia bisa mengantar 100-200 paket sehari.
”Semua orang di kawasan ini banyak yang sudah saya kenal. Yang membuat lama pengiriman karena transaksi cash on delivery (COD). Jika tidak ada pemilik barang di rumah itu, terpaksa saya kembalikan ke gudang,” tutur Damiri.
Menurut dia, kurir dibayar berdasarkan jumlah barang yang bisa diantar, dengan ongkos kirim bervariasi. Ia dibayar dengan Rp 1.400 per paket. Total upah dalam sebulan berkisar Rp 2,5 juta-Rp 3,5 juta.
”Tetapi, kalau seperti ini untuk saya pribadi belum cukup. Pengeluaran untuk kebutuhan keluarga saya bisa Rp 100.000 per hari, belum dipotong bensin dan bayar kontrakan per bulan,” ujarnya.
Apalagi, Damiri hanya lulusan sekolah dasar di wilayah Bogor, Jawa Barat. Sebelum bekerja menjadi kurir, ia pernah bekerja sebagai sopir perusahaan hingga jadi pramusaji di restoran.
”Untuk menabung saja sulit. Saya terus berkeinginan membuka usaha konfeksi celana pendek karena istri bisa menjahit,” katanya.
Damiri hanya berstatus sebagai kurir mitra sehingga tidak memperoleh jaminan seperti BPJS Kesehatan ataupun BPJS Ketenagakerjaan. Ia hanya memperoleh upah sebesar jumlah paket yang bisa diantarkan kepada konsumen.
Kurir mesti mengetahui batasan dirinya, baik sisi kesehatannya maupun kendaraan yang digunakannya, supaya jumlah barang yang dibawanya tidak melebihi kapasitas ( overload). Ini juga menghindari risiko kecelakaan kerja.
Senada dengan Damiri, Yoga (32) mulai bekerja mengantarkan paket sejak pukul 07.30 sampai pukul 21.00-23.00. Dalam sebulan, ia bisa bekerja 27 hari dengan skema libur satu hari per minggu.
Dia bercerita, berat barang yang diangkut dari gudang setiap hari berkisar 10-20 kilogram. Ini bakal berdampak pada performa motor. Cuaca hujan dan banjir bagi kurir menjadi penghambat mereka untuk mengantarkan barang.
”Saya ingin motor terawat. Selain untuk keamanan, juga supaya jangan sampai mogok saat mengantar banyak barang. Bagi kurir, kalau sampai mogok, pekerjaan telantar,” ucapnya yang sudah bekerja selama enam bulan itu.
Regional Manager J&T Express Area Ciledug-Larangan, Kota Tangerang, Devin Christian menuturkan, setiap kurir mengambil dan mengantarkan 150-200 paket per hari. Adapun upah per paket di pasaran oleh jasa logistik berkisar Rp 1.500 hingga Rp 2.000.
Menurut dia, 7.000 lebih paket per hari diantar kepada konsumen oleh 65 kurir di areanya. Namun, terjadi peningkatan jumlah paket 2-3 kali lipat ketika masa campaign di lokapasar.
”Kurir mesti mengetahui batasan dirinya, baik sisi kesehatan maupun kendaraan yang digunakannya, supaya jumlah barang yang dibawanya tidak melebihi kapasitas (overload). Ini juga menghindari risiko kecelakaan kerja,” tuturnya.
Risiko tinggi
Iskandar (29), kurir salah satu lokapasar di Jakarta, sudah menggeluti pekerjaan tersebut sejak tahun 2017. Dia bercerita, sebagai kurir, yang paling sering terjadi adalah berhadapan dengan begal. Saat pertama kali bekerja, ia hampir mengalami pembegalan karena mengantar paket hingga malam hari di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat.
Menurut dia, pada beberapa kasus, ada kurir lain yang mengalami hal serupa dengan luka berat saat berhadapan dengan begal. Selain itu, kurir juga kerap berhadapan dengan pengguna jasa yang menggunakan transaksi COD secara tidak bertanggung jawab.
”Yang repot bila paketnya mesti ditebus tunai, sementara pembelinya telanjur pergi. Terpaksa dikembalikan ke gudang. Kami harus memastikan agar tidak terjadi kerusakan pada barang saat pengantaran,” katanya.
Bagi pengguna jasa kurir, seperti David (30), keberadaan kurir sangat berharga. Karena itu, ia berupaya selalu memudahkan pekerjaan mereka. Salah satunya, menulis alamat jelas dan cepat merespons setiap ada pesan Whatsapp atau telepon dari kurir. Sesekali juga memberi tip. Ia paham pekerjaan kurir tak mudah.
Korban ditemukan meninggal saat hendak mengantarkan paket kepada konsumen. Dari rekam medisnya, pihak keluarga menyatakan korban memiliki riwayat penyakit jantung.
Pengajar Hukum Ketenagakerjaan di Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, berpendapat, pemerintah perlu membuat regulasi khusus yang jelas untuk mengatur sistem kerja kemitraan bagi para kurir mitra. Aturan itu dapat menetapkan jenis pekerjaan yang bisa diatur dengan skema kemitraan sampai unsur hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam hubungan kerja kemitraan.
Jika tidak segera diatur, para pekerja dengan status kemitraan tak akan mendapat hak untuk bekerja secara layak. Ini berpotensi jadi masalah serius karena tren kemitraan tidak akan berhenti dalam waktu dekat.
”Baru-baru ini ramai di media sosial tentang peristiwa kurir meninggal dunia beberapa waktu lalu. Peristiwa ini sebagai salah satu contoh atau implikasi dari kekosongan regulasi terkait kemitraan. Mereka mesti diatur terkait jam kerja, upah, hingga jaminan sosial dan jaminan kesehatan agar kejadian serupa tidak terulang,” katanya.
Pada pertengahan Februari lalu, publik tersentak oleh peristiwa seorang kurir yang meninggal saat mengirim barang di kawasan Intercon, Kembangan, Jakarta Barat. Diduga sang kurir kelelahan karena beban pekerjaan yang cukup berat.
”Korban ditemukan meninggal saat hendak mengantarkan paket kepada konsumen. Dari rekam medisnya, pihak keluarga menyatakan korban memiliki riwayat penyakit jantung,” ujar Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Kembangan Ajun Komisaris Diaman Saragih saat dikonfirmasi, Jumat (10/3/2023).
Damiri, Yoga, serta para kurir terutama yang berstatus mitra tak punya banyak pilihan. Tak ada upah minimum, apalagi perlindungan kesehatan. Yang mereka tahu hanya mengambil dan mengantar barang.
Di media sosial, ada banyak kisah para kurir yang tak jarang membuat dahi berkerut dan mengundang simpati, mulai dari tersasar akibat alamat yang tidak jelas, melewati jembatan kayu dan tercebur ke sungai, hingga dikejar anjing. Kadang terselip iba menyaksikan perjuangan para kurir.
Semua dijalani agar paket tiba di tujuan dengan selamat. Ini membuat teriakan ”paket!” juga makin menjadi akrab di telinga semua orang.