Pembongkaran Trotoar Simpang Santa Belum Dievaluasi
Pembongkaran trotoar sepanjang 50 meter di antara Jalan Wolter Monginsidi dan Jalan Suryo untuk menambah jalur kendaraan menimbulkan polemik. Kapolda Metro Jaya meminta strategi ini tidak dikaitkan ke politik.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembongkaran trotoar di simpang lampu merah Santa, Jakarta Selatan, untuk mengatasi kemacetan, akhir pekan lalu, menimbulkan polemik. Polda Metro Jaya yang memberikan rekomendasi bersama Dinas Perhubungan DKI Jakarta belum akan mengevaluasi pembongkaran fasilitas publik tersebut.
Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto, di Jakarta, Selasa (18/4/2023), mengatakan, pihaknya bersama Dinas Perhubungan DKI Jakarta menutup persimpangan antara Jalan Wijaya I dan Jalan Wolter Monginsidi serta putaran balik di Jalan Wolter Monginsidi.
Mereka juga membongkar trotoar sepanjang 50 meter di antara Jalan Wolter Monginsidi dan Jalan Suryo untuk menambah jalur kendaraan di Jalan Wolter Monginsidi menuju arah Jalan Gunawarman. Uji coba rekayasa lalu lintas ini memunculkan protes karena dianggap memperparah kemacetan. Atas protes itu, mereka memutuskan membuka kembali pembatas persimpangan.
”Ini, kan, masih uji coba, ya. Akhirnya, kemarin, oke, lah, kita buka dulu. Nanti kita lihat apakah memang, kalau padat sekali, nanti masyarakat bisa menilai. Paling-paling, kami bisa melaksanakan penjagaan di situ,” tuturnya.
Sementara itu, pembongkaran trotoar masih dianggap sangat tepat. Berdasarkan analisis mereka, taman dan trotoar di persimpangan itu membuat jalur kendaraan yang masuk searah ke Jalan Wolter Monginsidi di sisi barat mengalami efek leher botol.
Ini karena ada penyempitan jalur dari arah Jalan Kapten Tendean ke arah barat Jalan Wolter Monginsidi. Penyempitan menjadi salah satu pemicu kemacetan, selain adanya putaran balik dan lampu merah di Simpang Santa. Di sisi lain, trotoar itu juga dinilai jarang dipakai dan terakomodasi trotoar di sisi jalan lainnya.
”Logikanya begitu saja, ya. Memang kita enggak tahu, tahun politik ini senangnya menyerang. Kalau saya enggak peduli, yang saya peduli saya coba membantu masyarakat,” ujarnya.
Tanggapan itu disampaikan karena pembongkaran trotoar menimbulkan polemik oleh para aktivis transportasi dan pejalan kaki. Dihapuskannya trotoar yang dibangun di era pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang menjabat sebelum sekarang dinilai sebagai kemunduran.
Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus dalam diskusi ”Bangun Trotoar adalah Investasi untuk Planet: Kota-kota Jangan Jalan Mundur Peradaban”, di siaran langsung Instagram, Selasa, mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak perlu berkomunikasi dengan mereka terkait rencana ini. Namun, pemerintah perlu memastikan setiap layanan yang dibangun untuk fasilitas publik tetap dipertahankan.
”Bangun trotoar bukan seperti Roro Jonggrang meminta dibangunkan candi, tetapi memang menghancurkan trotoar bisa sangat cepat. Kita berharap jangan ada kota-kota lain meniru hal sama,” ujarnya.
Sebelumnya, ia menyebut tindakan Pemprov DKI menghapus trotoar di Simpang Santa telah melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. ”Koalisi Pejalan Kaki akan mengajak aliansi yang lain untuk melakukan gugatan di meja hijau. Pemerintah perlu diperingatkan, jangan sampai kebijakan seperti ini diikuti daerah lain,” katanya.
Ketua Forum Diskusi Transportasi Jakarta Adriansyah Yasin Sulaeman juga mengatakan, ia menyayangkan kebijakan yang menurut dia merupakan kemunduran peradaban sebuah kota. Adriansyah khawatir kebijakan seperti ini akan menjadi awal dari penutupan jalur pedestrian dan jalur sepeda lainnya di Ibu kota.
”Ini bukan soal panjang atau pendeknya jalur sepeda yang dihilangkan. Kami khawatir ini bisa menjadi preseden buruk sehingga akan diikuti dengan penutupan jalur sepeda dan jalur pedestrian lainnya,” ujarnya (Kompas, 17/4).