Dodol Betawi Perekat Tradisi dan Silaturahmi di Hari Raya
Dodol betawi buatan Habiba dan Musa tidak hanya untuk mengais rupiah. Setiap pembuatan dodol hingga siap dijemput pelanggan berarti proses merawat tradisi dan silaturahmi, baik dengan kerabat maupun keluarga.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·5 menit baca
Sejak pagi, tetangga dan kerabat silih berganti datang ke beranda samping rumah Habiba (63) atau biasa disapa Mpok Habiba. Datang menanyakan ketersediaan dodol atau sekadar menyaksikan proses pembuatan kuliner khas betawi tersebut. Tak jarang mereka menyampaikan banyak permintaan kepada Habiba, sesuai selera masing-masing. Beranda rumah itu tak ubahnya seperti dapur keluarga. Satu juru masak siap melayani orang-orang dengan berbagai selera.
Hawa panas di beranda samping rumah Habiba, di Kampung Kuliner Dodol Betawi, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sudah terasa sejak Rabu (19/4/2023) pagi. Di beranda berdiameter 3 meter x 5 meter tersebut, terduduk dua kuali baja di atas tungku beton. Asap dari tungku yang memanaskan dua kuali tersebut mengepul ke atas, kemudian terpantul terpal sehingga menciptakan hawa panas di sekitarnya.
Keadaan itu tidak mengurangi semangat dua karyawan Habiba terus menggerakkan pengaduk berupa kayu sepanjang 1,5 meter. Seperti dua nakhoda kapal sedang mendayung menuju daratan.
”Dodolnya harus diaduk terus-menerus dengan bara api yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Apinya juga harus nyala merata selama 6-7 jam,” ujar Habiba sembari memastikan bara api tersebar merata di dalam tungku.
Habiba meneruskan usaha milik orangtuanya, pembuat dodol betawi dan merupakan suku asli Betawi, yang telah memproduksi dodol sejak tahun 1960-an. Adapun bersama suaminya, Musa Alamsyah (69), Habiba melanjutkan tradisi ini tahun 1990-an.
Habiba dan Musa sering kali bergantian memantau dua karyawan mereka yang sedang mengaduk adonan dodol tersebut.
Semakin siang, gerakan adukan dua karyawan Habiba semakin melambat, pertanda adonan tersebut makin padat. Hal ini sekaligus menjadi tanda bahwa dodol yang dinanti semua orang hampir siap disajikan.
Mendekati waktu siap disajikan tersebut, tetangga kian datang silih berganti, melihat dan memuji warna adonan dodol yang semakin padat. Sementara yang lainnya melongok ke dalam rumah melihat dodol yang telah siap dikemas.
Dengan memasak di beranda rumah, Habiba dan Musa ingin para tetangga melihat tradisi dodol sebagai warisan leluhur. Tetangga bisa menyaksikan proses pembuatan jajanan khas ini secara langsung.
Di sini kami semua bisa melihat, khususnya anak-anak bisa melihat langsung dodol ini sebagai warisan orang tua kita.
Di antara para tetangga yang merupakan calon pembeli, tidak sedikit pula kedatangan sejumlah anak-anak sekitar. Mereka yang sedang bermain di luar rumah sekadar mampir, sekaligus melongok hidangan khas, penanda hari raya sebentar lagi akan datang.
”Biasanya di tempat lain masaknya di dapur, orang luar enggak bisa lihat. Di sini kami semua bisa melihat, khususnya anak-anak bisa melihat langsung dodol ini sebagai warisan orang tua kita,” ujar Musa.
Memastikan rasa
Dulunya, Habiba dan Musa yang melakukan semua proses pembuatan dodol, mulai dari menggiling tepung, membuat santan, mengaduk, hingga menjadi dodol siap jadi. Namun, dengan usia yang semakin senja, mereka mempekerjakan dua karyawan, khususnya untuk mengaduk adonan dodol di kuali baja.
Kendati kini mengandalkan tenaga orang lain untuk mengaduk adonan dodol, Habiba dan Musa tetap aktif mengontrol proses kerja dua karyawannya. Hal ini semata-mata untuk memastikan cita rasa dodol tidak berubah.
”Kalau cara mengaduk, mereka (karyawan) sudah tahu. Saya paling hanya memastikan bara apinya terbakar dengan baik,” ucap Habiba.
Sisanya, semua takaran dan durasi pengadukan adonan ditentukan sendiri oleh Habiba. Sejak hari ke-15 Ramadhan, dalam sehari Habiba menghabiskan 40 liter tepung beras, 40 liter air santan, serta 40 kilogram gula merah untuk memproduksi dodol.
Jika takarannya pas, satu wajan berisi 10 liter adonan tepung tersebut akan menghasilkan dodol yang dituangkan ke dalam 25 wadah kecil besek plastik.
”Kalau matang sempurna, kelihatan dari hasil dodolnya. Kalau hasilnya sebanyak 25 besek plastik, berarti matangnya sempurna. Namun, jika berlebih atau berkisar hingga 30-an besek, berarti belum matang. Begitu pun jika semakin sedikit juga berarti matangnya berlebihan, dodolnya jadi sangat alot,” tutur Habiba.
Dengan demikian, rasa yang dihasilkan akan jauh menurun. Karena bagi Habiba kualitas dodolnya selalu lebih utama dibandingkan dengan kuantitasnya.
Cita rasa yang selalu terjaga sekaligus membuat langganan dan tetangga ikut menetap memesan dodol kepada Habiba. Apalagi jika dibandingkan dengan pembuat dodol lainnya di Kampung Kuliner Dodol Betawi telah menghentikan produksi sejak hari ke-25 Ramadhan, Habiba tetap membuat dodol untuk mengakomodasi pesanan kerabat dan tetangga.
”Tetangga biasanya memesan semakin mepet Lebaran. Karena biasanya keluarga baru berkumpul mendekati hari tersebut,” ucap Habiba.
Habiba dan Musa terus membuat hingga memasuki Ramadhan ke-28 untuk mengakomodasi pesanan dari kerabat hingga tetangga terdekat. Karena, menurut Habiba, dodol berarti sekaligus merawat silaturahmi kerabat dan para tetangga.
Tidak semua dodol tersebut harus dihargai dengan nominal rupiah. Bagi sejumlah tetangga ataupun kerabat, bisa saling bertukar kebutuhan lain. Misalnya, ketika memerlukan bahan membuat dodol seperti santan, Habiba akan meminta kepada tetangga. Imbalannya, tetangga akan mendapatkan dodol yang telah siap saji.
Nuning (59), seusai memberikan sekantong air santan kelapa, berlanjut dengan percakapan permintaan dodol sesuai seleranya. Percakapan tampak berlangsung alot di antara keduanya, apalagi saat Nuning mulai membandingkan dengan dodol buatan orang lain. Habiba dengan keyakinan tinggi memastikan dodol buatannya akan tersaji dengan sempurna sesuai dengan selera nuning.
”Hampir tiap Lebaran saya sumbang air santan. Kalau saya ngambil banyak, nambah uang juga biar si mpok enggak terlalu tekor,” katanya, diikuti gelak tawa.
Suasana cair antara Habiba dan tetangganya juga tergambar saat kunjungan Rumnaha (56). Ia bisa bebas melihat proses pembuatan dodol milik Habiba. ”Kalau datang pesan di sini sudah seperti ke keluarga sendiri, minta banyak hal pun. Kalau di tempat lain, kadang kita tidak bisa masuk sampai dapurnya,” ungkapnya.
Selain itu, tak jarang dodol buatan Habiba juga dihargai dengan saling bertukar makanan khas Lebaran. Siang itu, Habibah kedatangan sepupunya, Tartilah (61). Dengan menenteng kantong keresek berwarna merah, Tartilah memberikan kue bakar betawi.
”Di keluarga besar, Mpok (Habibah) terkenal paling enak bikin dodol. Apalagi resepnya turunan langsung,” ujar Tartilah.
Sebungkus kue bakar betawi tersebut kemudian bertukar dengan sebungkus dodol ketan hitam. Tawa dan senyum keduanya bersahutan. Beberapa saat setelah bertukar kuliner dan berbincang singkat, ajakan saling berkunjung saat hari raya, kemudian menjadi penanda Tartilah pamit balik ke rumahnya. Sekaligus jadi sebuah pesan Tartilah menunggu balasan silaturahmi dari Habiba.