Berkolaborasilah Berdayakan Daerah Asal Pendatang
Pascalebaran, arus migrasi berulang terjadi. Operasi yustisi sudah tidak relevan karena tidak adil dan diskriminatif. Perlu kerja bersama berdayakan daerah migran untuk menahan laju urbanisasi tak terkendali.
Di hari-hari menjelang arus balik Lebaran 2023, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta merilis prediksi jumlah pendatang baru di Jakarta meningkat 20-30 persen. Untuk mereka, DKI Jakarta tidak menggelar operasi yustisi, tetapi melakukan pendataan pendatang baik yang sifatnya migrasi permanen dan nonpermanen.
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta Budi Awaluddin, Sabtu (29/4/2023), menjelaskan, kepada pendatang baru tidak dilakukan operasi yustisi kependudukan. Kepada mereka, Disdukcapil DKI Jakarta melakukan pendataan nomor induk kependudukan.
Untuk itu, pendatang baru wajib lapor secara mandiri ke loket disdukcapil di kelurahan terdekat. Dalam proses kontrol sosial, jelas Budi, Disdukcapil DKI Jakarta bekerja sama dengan pengurus RT/RW dan kader dasawisma.
”Kami bersama dengan pengurus RT/RW dan kader Dasawisma menyosialisasikan kepada warga, semisal ada pendatang baru di lingkungan tersebut, maka diwajibkan melapor ke loket dukcapil di kelurahan,” kata Budi.
Pengurus RT/RW dan kader Dasawisma, disebutkan Budi, akan memantau langsung. ”Bagi pendatang yang tidak lapor, maka akan ditegur dan diminta lapor diri segera ke kelurahan,” ujar Budi.
Baca juga: Pascalebaran, Diprediksi Ada 30.000-40.000 Pendatang Baru di Jakarta
Upaya lapor diri itu menjadi salah satu strategi DKI Jakarta menghadapi pendatang baru pasclebaran. Data Disdukcapil DKI Jakarta menyebutkan, kondisi penduduk Jakarta setiap tahunnya selalu meningkat pascalebaran.
Dalam tiga tahun terakhir saja, jumlah pendatang itu meningkat. Pada 2022 sejumlah 151.752 tercatat sebagai pendatang baru, tahun 2021 sejumlah 139.740 orang, dan tahun 2020 sejumlah 113.814 orang pendatang baru.
Budi melanjutkan, untuk Lebaran tahun 2023, Disdukcapil DKI memprediksi jumlah pendatang baru akan bertambah 20-30 persen atau 36.000-40.000 pendatang. Dengan jumlah penduduk Jakarta yang per semester kedua 2022 berjumlah 11.317.271 orang, penambahan penduduk berpotensi memunculkan masalah baru.
Saat ini saja, dengan penduduk sebanyak 11 juta jiwa lebih, kepadatan penduduk di Jakarta sudah sampai 17.000 orang per kilometer persegi. Dibandingkan dengan kepadatan penduduk di wilayah Indonesia, kepadatan Jakarta ini terhitung sudah 118 kalinya.
”Cukup padat. Daya tampung kita ya sebenarnya sudah over kondisinya,” kata Budi.
Budi menambahkan, dengan postur jumlah penduduk yang tidak ideal juga berpotensi meningkatnya kemiskinan, stunting, pengangguran, transportasi, hingga masalah kriminalitas.
Strategi DKI Jakarta dengan melakukan pendataan pendatang baru, menurut Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia Semiarto Aji Purwanto, sudah tepat. Registrasi penduduk, bagian dari pencatatan dan tertib administrasi penduduk, sudah tepat.
Dengan karakter Jakarta sebagai kota terbuka, tidak mungkin juga melarang orang untuk tidak datang. ”Operasi yustisi bagi mereka yang datang dan tidak punya KTP, ditangkap, dan dipulangkan sudah tidak relevan lagi saat ini,” kata Semiarto Aji Purwanto, Guru Besar Antropologi FISIP UI tersebut.
Menurut sosiolog dari FISIP UI, Imam B Prasodjo, melarang warga Indonesia lain untuk datang ke Jakarta itu diskriminatif, tidak adil. ”Apalagi bila yang menjadi sasaran warga miskin yang datang lalu dipulangkan tanpa diberi pekerjaan, jangan-jangan itu melanggar secara hukum dan hak asasi,” ujar Imam.
Itu sebabnya, menurut Semiarto Aji, dengan beban Jakarta hari ini, dengan adanya imbauan kepada mereka untuk tidak datang ke Jakarta sudah tepat.
Baca juga: Memahami Besarnya Daya Tarik Jabodetabek (2)
Faktor pendorong dan penarik migrasi
Namun, melihat fakta hari ini, juga data dari Disdukcapil DKI Jakarta yang menyebutkan dalam tiga tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah pendatang baru, Artinya, masalah pendatang pascalebaran ini belum dibereskan. Arus migrasi dari desa ke kota Jakarta masih saja terus terjadi setiap tahun.
Imam B Prasodjo menjelaskan, berbondong-bondongnya orang dari desa ke kota karena ada tekanan, ada ketimpangan parah dari kondisi desa pada umumnya. Melihat data BPS, persentase penduduk miskin perkotaan pada September 2021 sebesar 7,60 persen, lalu turun menjadi 7,50 persen pada Maret 2022. Persentase penduduk miskin perdesaan pada September 2021 sebesar 12,53 persen, turun menjadi 12,29 persen pada Maret 2022.
Dari data bisa dibaca bahwa desa itu memang menjadi rumahnya orang-orang miskin. Namun, itu tidak hanya sekadar angka kemiskinan biasa karena di dalamnya juga terdapat indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan. ”Jadi di kalangan orang miskin, ada yang benar-benar miskin. Jadi ada kesenjangan di situ,” katanya.
Kemudian, di desa juga terdapat pengangguran tersembunyi. Kondisi yang menunjukkan orang seakan sepertinya bekerja tetapi sebetulnya menganggur.
Kondisi kemiskinan di desa itulah yang menjadi masalah utama, yang memicu menjadi push factor atau faktor pendorong. Sebagai pull factor atau faktor penarik di kota-kota besar, sirkulasi uang mayoritas di kota-kota besar dan Jakarta menjadi yang paling utama.
Penarik lainnya, di kota-kota besar terdapat keragaman opsi untuk mendapatkan pekerjaan mulai dari tukang parkir, satpam, sampai buruh bangunan, hingga PKL. Itu semua menarik para migran yang umumnya tidak memiliki ketrampilan, pendidikan rendah, dan tidak memiliki modal. Para migran sektor informal itu biasanya tinggal di bantaran sungai, mengontrak tempat tinggal bersama temannya.
Para migran sektor informal ini adalah orang-orang desa yang tidak punya informasi, tidak punya jaringan, tidak punya tempat tinggal. Lebaran di mana teman-teman atau tetangga atau keluarga pulang kampung menjadi kesempatan mereka untuk ikut ke kota. Jadi, para migran baru ikut arus balik datang ke kota besar karena dijamin dalam waktu tertentu oleh teman atau keluarganya yang juga berkegiatan di sektor informal. Orang-orang itu menjadi pendamping atau network migration.
Semiarto Aji berpandangan, secara tradisional memang faktor pendorong dan penarik migrasi itu masih ada. Tarikan atau daya tarik Jakarta yang terlalu kuat kemudian di desa ada faktor-faktor yang mendorong mereka untuk keluar.
”Tapi saya rasa itu pendekatan yang kuno yang sudah mesti kita kritisi,” katanya.
Baca juga: Kota Besar Masih Jadi Daya Tarik bagi Pendatang
Bahwa arus migrasi masih menyasar Jakarta, dari sudut pandang antropologi, dari sisi kultural mesti dipahami, ada yang belum berubah. Imaji atau simbol Jakarta sebagai patokan sukses itu belum tergantikan.
”Surabaya, Medan, belum bisa menggantikan imaji itu, bahkan desa-desa tempat asal para migran. Anda boleh sukses di desa, boleh ngetop di desa. Tapi tidak akan top kalau belum menaklukkan Jakarta,” kata Semiarto Aji.
Berangkat dari sana, migrasi yang menjadi salah satu pemacu urbanisasi atau perubahan satu kawasan menjadi kota maupun kota yang kian tumbuh meraksasa, menurut Semiarto Aji, mesti dilihat sebagai satu masalah sosial yang kompleks. Artinya, migrasi yang tidak terkendali tidak bisa diselesaikan dengan satu kebijakan saja, dia harus terkait dengan kebijakan-kebijakan yang lain.
”Intinya ini bukan hanya masalah DKI Jakarta saja sebagai kota penerima, melainkan ini juga persoalan dari daerah-daerah yang mengirim. Kalau penyelesaiannya, konsentrasi penyelesaiannya hanya di DKI Jakarta saja, dengan berbagai policy sekalipun ya tidak akan menyelesaikan masalah,” kata Semiarto.
Dalam dinamika relasi kota dan desa, baik Semiarto Aji ataupun Imam sepakat, persoalan urbanisasi bukan hanya persoalan kota saja. Dalam konteks kebijakan, jangan hanya diselesaikan dengan kebijakan di Kota Jakarta saja, tetapi harus ada instrumen lain di desa-desa di daerah-daerah yang kemudian memberikan insentif bagi warganya untuk tidak perlu ke kota, ke Jakarta.
Untuk fair-nya, Imam menjelaskan, pemerintah pusat harus memikirkan yang lebih efektif, lebih serius. Pemerintah pusat mesti memetakan terlebih dahulu daerah-daerah pengirim migran, juga memetakan potensi wilayah itu.
Pemberdayaan Desa
Lantaran urbanisasi sebagai persoalan dinamika relasi desa dan kota, Ketua Umum Analis Kebijakan Seluruh Indonesia Trubus Rahadiansyah mengungkapkan, pendataan yang dilakukan DKI Jakarta juga pemetaan yang dikerjakan pemerintah pusat, bisa menjadi kajian untuk membuat program-program pengembangan desa, pemberdayaan desa. Itu salah satunya untuk menahan laju migrasi dari desa atau daerah lebih kecil ke kota.
Menurut Imam, program pengembangan desa ataupun penciptaan lapangan pekerjaan dilakukan di wilayah-wilayah rentan, wilayah-wilayah yang masyarakatnya paling terdesak supaya mereka tidak harus keluar.
Karena daerah pengirim atau kota pengirim tidak bisa diberi tanggung jawab melakukan pemberdayaan desa ataupun menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, maka harus ada kolaborasi antara daerah-daerah seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, atau kota-kota menengah lainnya dengan wilayah pengirim migran, untuk mengeroyok, untuk membuat program-program pengembangan desa.
Kota-kota besar tujuan migrasi bisa mengadopsi konsep desa dampingan untuk permberdayaan tersebut. Pemprov dari kota tujuan migrasi bekerja sama dengan dunia usaha, pelaku usaha, perguruan tinggi, pemprov, kabupaten, desa asal migran, hingga juga pemerintah pusat. Kolaborasi ini juga harus didukung aturan yang memungkinkan penggunaan anggaran pusat dan provinsi yang seringnya kaku untuk pemberdayaan lintas wilayah, lintas lembaga, lintas pemerintahan itu.
”Kalau dana CSR (program tanggung jawab perusahaan) dunia usaha paling fleksibel,” kata Imam.
Baca juga: Pendatang Baru Dikhawatirkan Tak Terserap di Lapangan Kerja Formal
Melalui program kolaborasi, upaya menumbuhkan kewirausahaan yang harapannya bisa menciptakan lapangan-lapangan pekerjaan terwujud di wilayah-wilayah rentan itu.
Untuk pengembangan desa, jelas Imam, sudah diketahui ada fasilitasi pemerintah melalui program dana desa Rp 1 miliar. Namun, Imam menilai program itu tidak efektif karena undang-undangnya menyatakan dana itu disalurkan melalui jalur-jalur formal, di antaranya seperti badan usaha milik desa (BUMDes). BUMDes itu kebanyakan bukan sebagai wirausaha, tidak mampu menumbuhkan lapangan pekerjaan apalagi memicu pergerakan ekonomi di desa itu.
Kalau ada penduduk meninggalkan desanya, berarti perlu dicabut itu dana desanya. Karena dana desa itu menjadi sumber korupsi, artinya tetap terjadi kemiskinan, tidak bisa signifikan memengaruhi masyarakatnya untuk tinggal. Itu membuat pertanian dan perkebunan kita melemah.
Dana-dana desa itu yang, menurut Trubus, harusnya dievaluasi. Dengan tujuan untuk mengembangkan desa, tetapi migrasi tetap terjadi artinya ada yang salah dengan penggunaan dana desa itu.
”Kalau ada penduduk meninggalkan desanya, berarti perlu dicabut itu dana desanya. Karena dana desa itu menjadi sumber korupsi, artinya tetap terjadi kemiskinan, tidak bisa signifikan mempengaruhi masyarakatnya untuk tinggal. Itu membuat pertanian dan perkebunan kita melemah,” kata Trubus.
Untuk gerakan kolaborasi itu, Imam melanjutkan, seharusnya dipimpin oleh Presiden dengan membentuk tim khusus untuk penanganan urbanisasi. Presiden menunjuk sosok yang betul-betul memiliki kompetensi sebagai kolaborator yang mengoordinasikan, menjadi dirigen dari semua pihak yang terkait dalam pemberdayaan desa yang lintas wilayah, lintas pemerintahan, dan lintas lembaga untuk menghadapi birokrasi yang ruwet di Indonesia.
Di dalam tim itu melibatkan kementrian terkait, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, serta Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Lalu ada pemerintah provinsi dari kota penerima migran, pemprov pengirim migran, kabupaten atau kota, akademisi, hingga dunia usaha. Kolaborasi itu perlu karena akan bekerja lintas wilayah, lintas pemerintahan, hingga lintas anggaran untuk pembangunan yang partisipatif dan integratif.
Dengan program dana desa, Kemendesa PDTT seharusnya bisa membuat pemetaan sosial, potensi-potensi unggul di wilayah desa. Dari pemetaan itu potensi unggul satu desa disinergikan dengan potensi unggul di wilayah lain untuk mendorong kewirausahaan di wilayah-wilayah itu.
Pengembangan wilayah itu bisa dimulai di 10-20 desa sebagai pilot project dengan sistem kolaboratif tadi. Sistem ini mesti dibentuk karena selama ini belum ada.
”Dengan cara seperti itu, saya yakin jauh lebih baik dari yang sekarang ada untuk menyelesaikan ketimpangan antara desa dan kota,” kata Imam.
Semiarto Aji menambahkan, di sisi lain, pemerintah harus kembali menghidupkan ide menumbuhkan kota-kota sebagai center of civilization, pusat peradaban, untuk menjadi pusat imaji atau pusat simbol selain Jakarta.
Indonesia timur, pusat perdagangan ya di Makassar. Orang Jawa tidak semuanya harus ke Jakarta karena ada Semarang,Tegal, Cirebon, atau Banten sebagai kota perdagangan yang kuat. ”Bisa kita panaskan lagi ide Yogyakarta itu kota pelajar sehingga kalau anak muda mau belajar ke Yogya, urbanisasi ke Yogya,” ujarnya.
Kalau orang dari desa, tidak selalu tujuannya kota metropolitan. Tapi bisa saja opsi pekerjaan ada di kota kecil atau menengah. Jadi beban kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung itu tidak terlalu berat karena ada kota-kota antara yang memberikan harapan hidup. (Imam B Prasodjo)
Kemudian Bandung difokuskan untuk kota seni atau ekonomi kreatif. Makassar pintu gerbang timur Indonesia sehingga orang Indonesia bagian timur tidak usah ke Jakarta, cukup ke Makassar karena Makassar sudah sama dengan Jakarta. Juga Medan atau Palembang dan tempat-tempat lain itu jadi center yang kemudian, tidak perlu semuanya ke Jakarta.
Semiarto meyakini, kegagalan pembangunan pusat peradaban selain Jakarta itu salah satu faktor yang membuat orang masih memilih Jakarta sebagai tujuan migrasi. Imam dan Trubus meyakini, tidak adanya program kolaboratif yang serius dan menyeluruh untuk mengatasi masalah di daerah asal migran, untuk memberdayakan daerah asal migran, membuat urbanisasi, migrasi terus berulang.
”Karena memang tidak ada paradigma penyelesaian yang sifatnya utuh. Penyelesaian migrasi masih parsial, belum sampai ke substansi,” ujar Imam.
Imam mengingatkan, supaya pemerintah juga memikirkan untuk membuat sebuah desain bagaimana membuat hierarki kota itu lebih masuk akal. Jadi misal, ada desa, ada kota kecil, kota menengah, baru kota besar.
”Nah kalau orang dari desa, tidak selalu tujuannya kota metropolitan. Tapi bisa saja opsi pekerjaan ada di kota kecil atau menengah. Jadi beban kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, itu tidak terlalu berat karena ada kota-kota antara yang memberikan harapan hidup,” kata Imam.