Kota Depok, Tetangga Jakarta yang Jadi Magnet bagi Para Pendatang
Pada 2022, tercatat ada 45.132 orang pindah datang ke Kota Depok, Jawa Barat.
Setelah satu minggu menikmati libur dan kumpul bersama keluarga merayakan Idul Fitri di Klaten, Jawa Tengah, Fandi MF (27) kembali lagi ke Kota Depok, Jawa Barat. Ia melanjutkan kembali aktivitas hariannya, yaitu bekerja sebagai barista serta mekanik laptop dan komputer.
Bagi Fandi, Kota Depok seperti menjadi rumah keduanya. Bukan tanpa alasan karena kota ini merupakan tempatnya kuliah, bertemu dengan teman-teman komunitas, calon istri, dan pekerjaan. Tak heran ia merasa betah selama delapan tahun terakhir. Ia telah berencana untuk membeli rumah di Kota Depok. Saat ini, ia masih mengontrak rumah bersama tiga temannya di kawasan Sawangan.
”Jika jadi dengan yang sekarang (calon istri), besar kemungkinan akan tinggal di sini. Pacar saya asli Jakarta dan bekerja di Jakarta. Sudah ancang-ancang beli rumah di sini saja. Ini kota besar dekat dengan Jakarta dan fasilitas apa pun ada. Kota yang nyaman untuk jadi rumah,” ujarnya, Senin (1/5/2023).
Baca juga: Hari Jadi Kota Depok, Ajakan Berpadu dalam Keberagaman
Fandi tak memungkiri, pilihannya bekerja di kota besar besar karena faktor ekonomi. Kota Depok misalnya yang banyak diisi oleh mahasiswa dan para pekerja memberikan keuntungan dan menciptakan peluang usaha untuk meraup pundi rupiah.
Pilihanya menjadi barista, selain penikmat kopi, ia melihat bahwa keberadaan mahasiswa akan menciptakan geliat ekonomi. Para mahasiswa itu pasti membutuhkan kafe atau warung kopi sebagai tempat nongkrong dan mengerjakan tugas.
”Di Depok, pasarnya ada, yaitu mahasiswa. Lalu, saya dulu jurusan IT, mengerti utak-atik perangkat elektronik dan laptop. Ilmunya untuk cari uang dan pasarnya ada, yaitu mahasiswa dan para pekerja juga. Saya melihat itu menjadi peluang untuk mencari uang. Jika hanya mengandalkan satu pekerjaan, tentu kurang,” ujar pria yang berpenghasilan rata-rata Rp 8 juta per bulan itu.
Fandi menyadari, hidup dan tinggal di kota besar tidak bisa bermodal nekat apalagi menggantungkan nasib dari orang lain. Bekal ilmu dan keterampilan menjadi modal untuk bertahan, berkembang, dan menciptakan peluang usaha. Ia cukup bersyukur bisa mengenyam pendidikan hingga bangku kuliah. Tanpa itu, ia tidak akan bertahan.
Baca juga: Pindah Kota untuk Perbaiki Hidup
Meski mendapatkan pekerjaan, selama delapan tahun tinggal di Kota Depok atau sejak lulus kuliah pada usia 24 tahun, hingga saat ini Fandi belum pernah mengurus atau melapor pengurusan domisili.
”KTP masih Klaten. Surat domisili juga tidak ada. Karena awalnya selesai kuliah akan pulang jadi berpikir enggak perlu lapor dan mengurus kependudukan atau surat domisili. Ternyata lanjut tinggal di Depok. Masih malas dan takut repot saja sih mengurus administrasi seperti itu. Mungkin nanti setelah menikah baru urus-urus itu,” katanya.
Cari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bayar cicilan, menabung, pulang kerja ketemu keluarga, istirahat, kerja lagi, dan pulang.
Berbeda dengan Fandi, pendatang lainnya, Guntur (35), memilih untuk mengurus administrasi kependudukan agar mendapatkan jaminan dan memudahkan urusan perizinan dan lainnya. Ayah satu anak ini sudah menetap di Kota Depok sekitar tiga tahun.
Sebelumnya, ia bersama keluarganya mengontrak rumah di Jakarta. Ia kemudian membeli rumah di Kota Depok. Kota ini dipilih sebagai tempat tinggal karena jarak tempuh yang relatif lebih dekat ke Jakarta. Sejumlah fasilitas sarana dan prasarana, seperti transportasi KRL, pelayanan kesehatan, tempat hiburan, hingga pusat perbelanjaan, tersedia dan sudah memenuhi untuk hidup menetap di Kota Depok.
”Kita bekerja di Jakarta, tinggal di Depok. Bukan saya saja. Tinggal di Depok, Bogor, Bekasi, atau Tangerang sama saja. Kita pekerja tujuannya ke Jakarta. Cari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bayar cicilan, menabung, pulang kerja ketemu keluarga, istirahat, kerja lagi, dan pulang,” kata Cahyo.
Kepindahannya ke Kota Depok menuntut pria perantau asal Pacitan, Jawa Timur, itu untuk mengurus administrasi kependudukan. Hal itu harus dilakukan agar jika anak dan istrinya sakit mendapat jaminan kesehatan hingga pendidikan anaknya kelak.
”Sejak pindah ke sini, saya lapor ke RT dan mengurus administrasi kependudukan. Harus seperti itu, aturannya seperti itu. Itu akan memudahkan kita ngurus banyak hal nanti. Kita bukan orang kaya yang mampu membayar ini itu. Sakit, mati, jaminan sosial, pendidikan anak akan merepotkan kita dan mungkin orang lain jika urusan kependudukan tidak diurus,” ujarnya.
Tantangan
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Nuraeni Widayatti mengatakan, migrasi atau urbanisasi warga ke kota-kota besar tidak terhindar karena faktor ekonomi, pekerjaan, pendidikan, dan lainnya.
Begitu pula dengan Kota Depok yang termasuk kota tujuan pendatang dari sejumlah daerah, baik itu karena kerja di Jakarta lalu mencari rumah di daerah penyangga seperti Kota Depok atau yang mencari pekerjaan di Kota Depok, hingga lulusan mahasiwa dari daerah yang kemudian memilih untuk menetap untuk mencari peluang pekerja.
Menurut Nuraini, warga yang masuk dan keluar Kota Depok hampir seimbang. Berdasarkan data pada 2022, tercatat ada 45.132 orang datang ke Kota Depok. Adapun warga yang pindah keluar mencapai 47.166 orang. Pada 2021, tercatat ada 37.698 orang pindah datang dan dan pindah keluar sebanyak 34.614 orang.
Dari data itu, ada kenaikan jumlah pendatang meski jumlah yang keluar juga cukup tinggi. Dari orang yang pindah datang ke Kota Depok itu merupakan warga berkartu tanda penduduk (KTP) Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan kota lainnya.
”Tahun 2023, belum bisa diprediksi berapa jumlahnya naik atau turun. Itu akan terlihat dari pendataan lanjutan. Prinsipnya siapa pun boleh pindah dan bertempat tinggal di mana saja karena itu diamanatkan dalam UU Administrasi kependudukan,” ujar Nuraini.
Nuraini melanjutkan, dalam regulasi itu mengatur bahwa penduduk yang pindah dan tinggal di suatu daerah setidaknya dalam jangka waktu satu tahun sudah harus mengurus perubahan domisili. Namun, masalah yang kerap ditemui, ada saja warga pendatang tidak melapor atau mendatakan dirinya.
Pihaknya, kata Nuraini, tidak bisa terus bergriliya dan mendatangi pintu ke pintu mendata satu per satu warga pendatang. Padahal, pendataan ini sangat penting untuk pendidikan, jaminan kesehatan keluarga, dan urusan lainnya. Jika tidak terdata, justru merugikan warga itu sendiri dan akan membebankan keuangan daerah.
Nuraini berharap, bagi para pendatang agar melapor atau mendatakan dirinya secara gratis melalui layanan daring Silondo Bermula.
Wali Kota Depok Mohammad Idris mengatakan, urbanisasi tentu menjadi tantangan yang harus dihadapi setiap daerah atau kota-kota besar. Pemerintah memiliki tugas ganda untuk mengurus warganya sekaligus tetap memperhatikan para pendatang.
Menurut Idris, di satu sisi Kota Depok sebagai kota yang layak untuk dihuni meski bekerja di kawasan Jabodetabek. Sisi lainnya sekaligus menjadi tantangan adalah jumlah penduduk yang tinggal di Kota Depok akan semakin meningkat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Kota Depok dalam angka 2023, tercatat 2.123.349 penduduk. Tingkat kepadatan penduduk di 11 kecamatan dengan luas area 199,906 kilometer persegi mencapai 10.601 penduduk per kilometer persegi. Selain itu, tingkat pengangguran terbuka di Kota Depok sebesar 7,82 persen.
Adapun, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Depok menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data, IPM Kota Depok meningkat dari 81,37 persen pada 2021 menjadi 81,86 persen pada 2022.
”Sebanyak 71 persen penduduk Kota Depok itu usia produktif. Artinya, urbanisasi ini menjadi sebuah tantangan kami untuk meningkatkan dan memperdayakan anak-anak muda. Sudah kami mulai dengan program WUB (wirausaha baru), perempuan berusaha, tempat beraktivitas berolahraga di setiap kecamatan, itu sudah kita bangun. Ke depan harus mempunyai semacam youth center untuk anak-anak berkreasi,” kata Idris.
Selanjutnya, kata Idris, terkait ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Depok meningkat mencapai 5,5 persen. Namun, laju pertumbuhan ini masih di bawah nasional dan Jawa Barat. Begitu pula dengan pendidikan dan kesehatan yang masih harus ditingkatkan sehingga bisa dirasakan oleh seluruh warga, termasuk para pendatang.
Baca juga: Memastikan Aksesibilitas Tanpa Menghambat Mobilitas di Kota Depok
Sama seperti kota lainnya, Kota Depok sebagai tujuan para pendatang membuat tugas pemerintah daerah tidak mudah. Pembangunan dan perkembangan pesat kota bagai pisau bermata dua. Bagi pendatang yang memiliki bekal pendidikan dan keahlian bisa terserap oleh kebutuhan tenaga kerja. Namun, itu juga menjadi tantangan bagi warga setempat yang kalah bersaing, sulit mendapatkan pekerjaan, dan akhirnya pengangguran.
Sisi lain, para pendatang yang tidak memiliki cukup bekal pendidikan dan keahlian apalagi tidak terdata kependudukan akan menambah beban permasalahan kota.