Kegigihan Riang Prasetya yang Mengungkit Derajat Ketua RT
Jabatan ketua RT sering kali dipandang sebelah mata, terlebih di perkotaan. Padahal, mereka adalah kepanjangan tangan pemerintah untuk menjangkau rakyat. Peningkatan kompetensi diperlukan agar mereka lebih dipandang.
Oleh
Stephanus Aranditio
·5 menit baca
Ketua rukun tetangga sebagai orang yang dipercaya mengelola lembaga kemasyarakatan dalam lingkup terkecil pada sistem pemerintahan sudah seharusnya menjadi garda terdepan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat. Keluhan warga sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka, terutama di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dengan segudang masalahnya.
Empat tahun terakhir, Riang Prasetya, Ketua RT 011 Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, disibukkan dengan keluhan warga atas bangunan ruko yang mengokupasi jalur pejalan kaki dan selokan di Jalan Niaga Blok Z4 Utara dan Z8 Selatan. Berkali-kali Riang menyampaikan surat aduan dari warga ke pihak Kelurahan Pluit dan Kecamatan Penjaringan tidak berbuah hasil.
Hingga akhirnya, media sosial yang membuat aduannya didengar. Sejumlah video saat Riang berdebat dengan pemilik ruko pun viral hingga terdengar Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono. Heru langsung menginstruksikan Wali Kota Jakarta Utara Ali Maulana Hakim untuk menindaklanjuti aduan Riang.
Setelah itu, terbitlah Surat Rekomendasi Teknis Nomor e-0001/PA.01.00 yang dikeluarkan Suku Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara yang menyatakan bahwa pemilik ruko telah menutup lahan sepanjang 5-7 meter. Lahan ini seharusnya menjadi trotoar, selokan, dan badan jalan.
Ada tiga peraturan yang dilanggar pemilik ruko, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 Pasal 189 Ayat 1 karena mengubah fungsi ruang, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 Pasal 190 Ayat 1 tentang Ketentuan Pemanfaatan Ruang dalam Rencana Tata Ruang, dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 Pasal 192 Ayat 1 karena bangunan menghalangi fasilitas umum.
Pemilik ruko masih diberi kesempatan untuk membongkar sendiri agar tidak mengakibatkan kerugian yang lebih besar. Namun, imbauan tidak diindahkan dan terjadilah pembongkaran paksa oleh Pemprov DKI Jakarta pada Rabu (24/5/2023).
Saat itu juga Riang didemo pemilik dan karyawan ruko. Ketua RT yang menjabat lebih dari lima tahun ini dituding telah mematikan usaha warga, padahal Riang hanya menegakkan aturan sebagaimana yang diamanatkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 22 Tahun 2022 tentang Rukun Tetangga dan Rukun Warga.
Salah satu tugas ketua RT dalam pergub itu adalah membantu dan mendukung tugas dan fungsi lurah dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan, pembangunan, kesejahteraan, dan kemasyarakatan. Mengawasi izin bangunan ruko di wilayahnya termasuk dalam tugas Riang dalam tugas membantu pemerintah.
”Kalau ini, kan, urusannya sudah pada potensi kerugian negara, jelas-jelas ini ada pelanggaran di sarana-prasarana umum, pasti saya bela. Saya bertindak atas nama kebenaran, pasti risikonya ada perlawanan,” kata Riang saat ditemui di rumahnya di Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, Minggu (28/5/2023).
Riang senang aduannya akhirnya ditindaklanjuti oleh pemerintah meski terlambat dan oknum di balik pembiaran sejak 2019 belum diproses. Peristiwa ini diharapkan bisa menjadi momentum agar semua ketua RT bergerak menegakkan aturan di wilayahnya, khususnya penataan kota agar lebih baik.
”Ini momen yang paling baik dan pas untuk pembenahan Jakarta, jangan kejadian di wilayah saya ini hanya ’hangat-hangat kuku’. Jangan ada pembiaran karena RT dianggap tidak punya kuasa. Silakan Pak Penjabat Gubernur, ini momentum, mumpung Anda tidak ada beban politik,” ujarnya.
Kalau ada ’bekingan’, tidak dibongkar, dong. Begitu saja. Ini (terus) dibongkar kok.
Hingga Selasa (30/5/2023) pembongkaran 22 unit ruko pelanggar aturan masih dilakukan oleh Pemprov DKI. Menurut Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta Arifin, pembongkaran akan selesai dalam dua pekan.
Proses pembongkaran tidak akan menutup usaha pemilik atau penyewa ruko. Mereka masih bisa berdagang di dalam sesuai dengan patok lahan dalam izin mendirikan bangunan yang benar. Arifin juga membantah ada oknum PNS yang membiarkan pelanggaran terjadi.
”Kalau ada ’bekingan’, tidak dibongkar, dong. Begitu saja. Ini (terus) dibongkar kok,” kata Arifin di Stasiun MRT ASEAN, Jakarta Selatan, Kamis (25/5/2023).
Peran RT juga dirasakan warga Glodok, Jakarta Barat, melalui Ationg, Ketua RT 013, dan Boeng, Ketua RT 012. Mereka berdua mempertahankan Lapangan Kebon Torong dialihfungsikan sebagai puskesmas oleh Pemprov DKI.
Padahal, sejak 1950-an, Lapangan Kebon Torong digunakan warga untuk berolahraga. Pagi hari warga lanjut usia selalu melakukan senam pagi, berjemur, dan taici. Sore hari, kaum muda bermain bulu tangkis dan basket, lalu malam hari masih ada taekwondo, wushu, dan tenis. Lapangan ini juga digunakan untuk sejumlah acara lain, seperti peringatan hari kemerdekaan RI, halalbihalal, dan Imlek.
Untuk memperkuat argumentasi, pengurus RT sudah membuat kajian secara logis dan legal setebal sembilan halaman sebagai pertimbangan bagi pemerintah untuk membatalkan rencana pembangunan puskesmas di Lapangan Kebon Torong.
Dalam kajian itu, mereka menilai rencana pemerintah mengabaikan sejumlah aturan. Misalnya, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menegaskan upaya pencegahan penyakit dilakukan dengan berolahraga dan olahraga juga bagian dari hak asasi manusia yang diatur dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Adapun Pasal 104 Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Puncak, dan Cianjur mewajibkan adanya pemanfaatan ruang untuk resapan air, pemakaman, olahraga ruang terbuka, dan evakuasi bencana.
”Kajian ini sudah sering kami kasih ke lurah, camat, semuanya, kami buat sama-sama supaya lapangan kami tidak digusur. Kasihan anak cucu kami mau olahraga di mana lagi,” kata Ationg, Senin (29/5/2023).
Penolakan mereka bukan tanpa solusi, warga menyarankan puskesmas bisa dibangun di atas lahan seluas sekitar 1.500 meter persegi di Kelurahan Tangki. Lokasi ini juga masih bisa dijangkau oleh masyarakat Glodok.
Fenomena ini menurut pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, sangat baik untuk dicontoh oleh ketua RT lainnya. Sebab, mereka adalah sukarelawan yang mau meluangkan waktu di tengah kesibukan pribadinya untuk mengurusi warga lain. Penghargaan lebih perlu diberikan oleh pemerintah kepada mereka.
”Banyak ketua RT di Jakarta yang tidak dianggap warganya karena sudah individualis, pemerintah juga sering kali menganggap remeh ketua RT karena bukan bagian dari PNS. Perlu ada peningkatan kompetensi dari pemerintah untuk mengembalikan wibawa RT,” ujar Yayat.
Berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1674 Tahun 2018, pemerintah hanya memberikan uang insentif ketua RT sebesar Rp 2 juta per bulan. Uang itu pun bukan disebut sebagai gaji atau sejenisnya, melainkan uang penunjang kegiatan operasional RT, artinya milik warga juga.