21 Hewan Ternak Terjangkit LSD di Depok, Pemkot Gencarkan Vaksinasi
Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan Kota Depok memberikan vaksin LSD pada 571 hewan ternak. Penyakit LSD yang kerap menyerang sapi perah ini menyebabkan benjolan seperti lato-lato.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Sebanyak 21 hewan ternak terjangkit lumpy skin disease di Kota Depok, Jawa Barat. Pemerintah Kota Depok menggencarkan vaksinasi pada hewan ternak untuk mencegah penyebaran virus lato-lato atau lumpy skin disease itu.
Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKP3) Kota Depok Dede Zuraida mengatakan, pihaknya menemukan kasus 21 sapi terjangkit virus lumpy skin disease (LSD). Pada 21 sapi yang terjangkit itu hanya ditemukan benjolan kecil, tetapi tidak bernanah.
Sebagai langkah pencegahan, petugas DKP3 akan terus berkala melakukan pengawasan, memantau kesehatan, dan memberikan vaksin LSD agar virus itu tidak menular pada hewan lain.
”Kami mengupayakan pencegahan penularan melalui vaksinasi LSD pada sapi yang berasal dari peternakan di Depok. Dari 6.542 hewan ternak di Kota Depok, ada 21 sapi yang ditemukan terkena LSD. Sementara ada enam sapi yang dilaporkan terjangkit dan dinyatakan sembuh,” kata Dede dalam keterangan resminya, Kamis (1/6/2023).
Hingga Rabu (31/5/2023), pihaknya telah memberikan vaksin LSD pada 571 hewan ternak. Masih ada 900 dosis vaksin lagi yang akan segera diberikan pada hewan ternak.
DKP3 akan memperkuat sistem surveilans dengan mendeteksi secara dini penyakit itu. Upaya lainnya, mengawasi lalu lintas hewan ternak dari luar daerah yang masuk ke Kota Depok dan memastikan hewan itu sehat. Jika terindikasi sakit, DKP3 akan langsung mengarantina dan merawat hewan ternak itu.
Pada sapi yang terjangkit LSD akan timbul benjolan seperti lato-lato. Jika penanganannya terlambat, bisa timbul nanah di sekujur tubuh hewan. Hingga saat ini belum ada pengobatan secara khusus terhadap hewan ternak terjangkit LSD.
Dede mengimbau pemilik atau pedagang hewan dapat berperan aktif membantu mencegah penyakit menular pada hewan ternak. Jika ada hewan sakit atau mati, warga diharap segera melapor kepada dinas terkait. Kebersihan kandang pun perlu diperhatikan.
Selain vaksinasi LSD, petugas DKP3 juga memberikan vaksin penyakit mulut dan kuku (PMK) pada 3.576 hewan ternak. ”Vaksinasi ini juga sebagai langkah pencegahan penyakit pada hewan kurban menjelang Idul Adha,” lanjutnya.
Ciri-ciri LSD
Dede menjelaskan, penyakit LSD disebabkan oleh virus dari keluarga Poxviridae yang menyebar melalui gigitan serangga, seperti nyamuk dan lalat.
Pada sapi yang terjangkit LSD akan timbul benjolan seperti lato-lato. Jika penanganannya terlambat, bisa timbul nanah di sekujur tubuh hewan. Hingga saat ini belum ada pengobatan secara khusus terhadap hewan ternak terjangkit LSD.
Pengobatan hanya bersifat simptomatik atau untuk meredakan gejala umum dan klinis yang muncul. Lalu, pengobatan secara suportif untuk memperbaiki kondisi tubuh ternak yang terinfeksi virus.
Dalam pemberitaan Kompas.id (11/2/2023), wabah LSD kembali muncul di Pulau Jawa pada awal tahun 2023 meski kasus awal di Riau bisa dikendalikan.
Berdasarkan data Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional pada 18 November 2022, ditemukan 11.474 kasus LSD di enam provinsi di Indonesia.
Saat itu, Kepala Balai Besar Veteriner Wates Hendra Wibawa menjelaskan, per 9 Februari 2023 tercatat 32 kabupaten/kota yang terkonfirmasi ada kasus positif LSD di Jawa Tengah. Adapun di Jawa Timur ada 7 kabupaten/kota dan di Yogyakarta 4 kabupaten/kota.
Infeksi virus LSD pada umumnya menular melalui vektor, seperti lalat, nyamuk, atau caplak. Kemudian, penyakit itu ditandai dengan munculnya nodul kulit berdiameter 2-5 sentimeter di leher, punggung, ekor, dan organ genital. Sapi juga menjadi pincang, kurus, dan tak memproduksi susu.
Meski tidak bersifat zoonosis atau menginfeksi manusia, wabah LSD tetap berdampak terhadap perekonomian. Sebab, wabah ini membuat hewan ternak mengalami kerusakan kulit, penurunan produksi susu, hingga kematian.
Penyakit LSD lebih banyak ditemukan pada jenis sapi perah. Hal ini menyebabkan sapi perah yang terpapar LSD akan mengalami penurunan produksi susu.
”Pengendaliannya mulai dari isolasi dan pemusnahan terbatas (focal culling), vaksinasi, pengawasan lalu lintas hewan, biosekuriti, pengendalian vektor, serta monitoring dan surveilans penyakit. Yang terpenting, kuncinya adalah komitmen bersama untuk pengendalian dan penanggulangan LSD,” katanya.
Produksi susu menurun
Merujuk data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, produksi susu segar nasional per tahun kurang dari 1 juta ton. Padahal, kebutuhan susu segar dalam negeri lebih dari 4 juta ton per tahun.
Pada 2020, contohnya, kebutuhan susu segar nasional mencapai 4,38 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri hanya 997.400 ton. Alhasil, kekurangan tersebut harus selalu ditambal dengan komoditas impor. Kondisi demikian sudah berlangsung bertahun-tahun, dengan persentase impor hampir 80 persen dari total kebutuhan susu segar nasional.
Produksi susu domestik yang masih sangat terbatas tersebut berpotensi kian diperparah dengan munculnya LSD. Sebagai gambaran, jika setengah dari 11.000 sapi yang terpapar LSD adalah sapi perah, setidaknya ada 5.500 sapi perah yang kemungkinan besar akan mengalami penurunan produksi susu.
Pada umumnya, sapi perah lokal akan menghasilkan susu sapi berkisar 13-15 liter per sehari. Jika penurunan produksi sebanyak 5 liter per hari per sapi, setidaknya akan terjadi penurunan produksi susu sapi sekitar 10.000 ton setahun. Angka penurunan ini akan kian besar apabila kasus penularan LSD kian merajalela dan sulit tertangani.
Wabah LSD ini hampir mirip dengan PMK yang dapat menyebabkan kematian pada sapi atau hewan terjangkit. Jadi, kedua penyakit itu, baik LSD maupun PMK, sangat besar pengaruhnya pada produksi susu sapi.