Pembenahan Manajerial Penting untuk Jadikan Kota Tua sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO
Masih beragamnya kepemilikan gedung dan bangunan di Kota Tua, Jakarta, membuat kawasan itu sulit mendapatkan pengakuan sebagai situs warisan dunia dari UNESCO. Upaya integrasi kepentingan di dalamnya perlu dilakukan.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penetapan kawasan Kota Tua, Sunda Kelapa, dan beberapa pulau di Kepulauan Seribu sebagai peninggalan warisan dunia masih terganjal permasalahan manajerial. Padahal, tempat-tempat tersebut telah menjadi bagian integral sejarah dunia, khususnya di era perdagangan abad ke-17 dan ke-18. Status tersebut juga penting untuk mendongkrak pariwisata Jakarta setelah pemindahan ibu kota ke Kalimantan.
Dalam seminar ”Chronicles of Two Port Cities: Relationship between Jakarta and Malacca” di Jakarta, Jumat (23/6/2023), arkeolog Universitas Indonesia, Supratikno Rahardjo, menerangkan, Jakarta sebagai kota pelabuhan menjadi salah satu pusat perdagangan di dunia bersama dengan kota Malaka, Malaysia, pada tahun 1700-1800-an. Keduanya tumbuh bersama sebagai jalur perdagangan penting saat itu, hingga menjadi rebutan penjajah dari Eropa.
Untuk itu, menjaga sejarah tersebut perlu dilakukan dengan mengajukan Jakarta, khususnya kawasan Kota Tua, Pelabuhan Sunda Kelapa, dan Kepulauan Seribu, sebagai Situs Warisan Dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Akan tetapi, sulit bagi Kota Tua untuk mendapatkan status tersebut setelah pengajuan pertama pernah ditolak UNESCO tahun 2018.
Hambatan utama adalah masih belum adanya kepemilikan dan manajemen terpusat gedung-gedung di sana. Supratikno menjelaskan, gedung dan bangunan yang ada di sana dimiliki oleh berbagai pihak, mulai dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, hingga swasta.
Akibatnya, Komisi Internasional untuk Monumen dan Situs (ICOMOS), lembaga yang membantu UNESCO memverifikasi situs warisan dunia, menilai kawasan tersebut bermasalah secara manajerial. Kepemilikan aset di sana memang beragam, seperti yang dimiliki beberapa perusahaan BUMN, yakni Bank Mandiri, Bank BNI, Pos Indonesia, dan Asuransi Jasa Indonesia. Bahkan, beberapa bangunan yang masih dimiliki secara pribadi difungsikan sebagai tempat usaha.
”Ego sektoralnya masih tinggi. Di sana juga ada Unit Pengelola Kawasan Kota Tua milik Pemprov DKI Jakarta, lalu sempat ada Konsorsium Kota Tua Jakarta tahun 2013. ICOMOS dan UNESCO menyebut itu salah satu alasannya. Pemerintah perlu buat manajemen yang terpusat, karena UNESCO mensyaratkan pengelola harus terintegrasi agar pelestariannya berkelanjutan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan pentingnya keberadaan lembaga manajerial yang profesional dan terintegrasi mengenai warisan sejarah. Hal ini juga terkait rencana alih fungsi gedung-gedung bersejarah milik pemerintah, khususnya kementerian, setelah pemindahan ibu kota ke Kalimantan.
Selain itu, situs warisan yang diajukan banyak yang sudah tidak ada lagi. Supratikno menjelaskan, pada tahun 2015 kawasan tersebut didaftarkan ke UNESCO dengan nama ”The Age of Trade: Old Town of Jakarta and 4 Outlying Islands (Indonesia) No.1524”. Dalam dokumen yang dipaparkannya, pemerintah mengajukan situs sejarah pada abad ke-17 dan ke-18 sebagai situs yang dapat menyandang status warisan dunia. Namun, pada proses verifikasi, situs-situs tersebut sudah tidak ada lagi.
”Situs-situs yang diajukan sudah tidak ada lagi. Ini memang kondisinya karena situs itu warisan Portugis, tetapi dihancurkan oleh Daendels saat Hindia Belanda datang, dan pusat ibu kota dipindahkan. Ke depan pengajuannya ada dalam rentang abad ke-19 dan abad ke-20 karena masih cukup banyak jumlahnya,” tambahnya.
Sulit mendapatkan status situs warisan dunia dari UNESCO kalau ownership-nya masih berbeda-beda.
Selain warisan situs sejarah, warisan budaya yang terbentuk di antara hubungan dua kota pelabuhan tersebut juga perlu dijaga. Salah satu bentuk warisan tersebut adalah komunitas masyarakat keturunan Portugis yang banyak disebut sebagai ”Orang Tugu”. Pemimpin Kelompok Musik Keroncong Tugu Cafrinho, Guido Quiko, menerangkan, warga keturunan yang kini banyak tinggal di kawasan Kampung Tugu, Cilincing, Jakarta Utara, berasal dari tawanan perang Belanda pasca-penaklukan Malaka dari tangan Portugis tahun 1641.
Pada tahun 1661, sebanyak 800 orang yang berasal dari 23 keluarga (marga) diasingkan ke Batavia atau kini Kota Tua. Selang beberapa waktu, mereka dipindahkan ke Batavia Tenggara, atau yang kini berada di Semper Barat, Cilincing. Jejak peninggalan mereka dapat terlihat dari kawasan di dekat Kota Tua, yang bernama Roa Malaka, yang kini menjadi salah satu nama kelurahan di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Dalam perkembangannya, komunitas masyarakat keturunan Portugis ini pun tumbuh dan melahirkan berbagai produk budaya, salah satunya kesenian keroncong. Dengan modifikasi alat-alat musik asli Portugis, musik keroncong dari kawasan ini semakin terkenal, hingga akhirnya dalam berbagai versi di daerah-daerah lain di Indonesia, mulai tahun 1900-an.
”Budaya ini yang kami lestarikan terus. Anak-anak muda kami ajarkan untuk memainkan musik keroncong, sampai sekarang,” jelasnya.
Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Susanto Zuhdi menjelaskan, kedua kota pelabuhan tersebut terbukti sebagai pusat perkembangan budaya di Asia Tenggara dan memberikan kontribusi bagi perdagangan dunia. Dengan itu, status situs warisan dunia layak diberikan ke Jakarta, khususnya Kota Tua dan Sunda Kelapa. Hal ini didasarkan pada kemiripan sejarah antara Jakarta dan Malaka di Malaysia. Apalagi, Malaka telah menyandang status tersebut pada tahun 2008.
”Nilai-nilai seperti ini yang harus dicari dalam sejarah kita. Bahwa Indonesia pernah menjadi penggerak dunia,” ucapnya.