Kisah Tiga Patung di Jakarta, Terekam dan Tak Pernah Mati
Patung-patung yang berdiri kokoh di kawasan Sudirman-Thamrin menjadi saksi sejarah pembentukan bangsa Indonesia. Patung ini menjadi pengingat bagi yang melintasinya, Jakarta terus tumbuh dan berkembang hingga sekarang.
Kehadiran gedung-gedung tinggi di kawasan Sudirman-Thamrin sering kali diandaikan sebagai penanda majunya peradaban Jakarta, kota yang segera menanggalkan status Ibu Kotanya dalam beberapa tahun ke depan. Di antara itu semua, patung-patung berusia lebih dari setengah abad menjadi saksi bisu, menyaksikan bagaimana bangunan-bangunan modern tersebut dibangun sembari merekam Jakarta yang terus tumbuh sebagai kota global metropolitan.
Sejak abad ke-14, Jakarta terus bergerak dari yang hanya sebuah pelabuhan kecil di bantaran sungai Ciliwung menjadi pusat perdagangan dunia di abad ke-16, hingga menjadi pusat ekonomi Indonesia modern.
Penguasa kota ini juga terus berganti, dari awalnya milik Kerajaan Padjadjaran, lalu diambil alih kongsi dagang Belanda (VOC) pada abad ke-16, direbut oleh Jepang, hingga akhirnya menjadi pusat pemerintahan Indonesia tahun 1945. Pemimpin yang datang dan pergi membuat identitas sebagai kota koloni, kota rebutan, atau kota jajahan melekat dalam diri Jakarta.
Pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949 menjadi awal mula bagi Jakarta untuk melepas identitas itu semua, dan menancapkan tajinya sebagai kota yang merdeka, bebas dari jajahan siapa pun. Setara dengan kota-kota dunia lain semacam New York, London, Paris, Tokyo, dan lainnya.
Sejarah kolonialisme yang mendalam ini yang memantik presiden pertama Indonesia, Soekarno, menginginkan agar Jakarta menjadi identitas nasional Indonesia.
”Dalam hati dan pikiran Soekarno, menghilangkan jejak-jejak kolonial yang mendalam itu dimulai dengan mendirikan bangunan dan monumen. Patung-patung dibuat lebih tinggi dari bangunan-bangunan kolonial, dan lokasinya tidak jauh dari Koningsplein, pusat pemerintahan Belanda dulu,” ucap arkeolog perkotaan Ary Sulistyo, Rabu (21/6/2023).
Baca juga: Sejarah Jakarta: dari Sunda Kelapa hingga Batavia
Berdasarkan catatan dalam buku Monumen dan Patung di Jakarta, yang diterbitkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 1999, Patung Selamat Datang menjadi salah satu monumen awal yang dibangun oleh pemerintahan Soekarno. Penunjukan Henk Ngantung, seorang seniman, menjadi Wakil Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta periode 1960-1964 menjadi langkah awal mewujudkan ide itu.
Patung berbahan dasar perunggu yang kini berlokasi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, tersebut didesain oleh Henk. Soekarno menunjuk Keluarga Arca dari Yogyakarta di bawah pimpinan Edhi Sunarso sebagai tim pematung. Patung ini memiliki berat sebesar 5 ton, dengan tinggi 5 meter, dan ditaruh di atas dudukan setinggi 10 meter.
Patung ini digambarkan dalam bentuk seorang pemuda dan pemudi yang memegang seikat bunga, sembari melambaikan tangan kanannya, seakan menyambut tamu yang akan datang. Karya ini dipersiapkan untuk menyambut penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta. Lokasi pembangunan di dekat Hotel Indonesia dipilih karena para atlet yang berlaga akan menginap di hotel tersebut.
Dengan demikian, para atlet yang tiba di Bandara Kemayoran, lalu berangkat menuju Hotel Indonesia akan disambut oleh patung ini.
Sejarah kolonialisme yang mendalam di Jakarta coba dinetralisir dengan membangun monumen dan tugu yang bisa membentuk identitas nasional yang mandiri.
Sejarawan Jacques Leclerc dalam tulisannya Mirrors and The Lighthouse: The Search For Meaning in Monuments and Great Works of Sukarnos Jakarta, 1960-1966 tahun 1992, menjelaskan, pembangunan patung ini tidak hanya sekedar seremonial belaka.
Ia menulis, sang desainer Henk Ngantung menjelaskan, kata ”Selamat Datang” dipilih tidak hanya untuk menyambut para atlet, tetapi juga bermakna ucapan warga Indonesia yang menyambut masa depan bangsanya setelah penjajahan. Beberapa orang berpendapat, patung mirip dengan patung ”The Worker and Volkhoz Woman” karya Vera Mukhina yang didirikan tahun 1937, di Moskwa, Rusia. Namun, ada juga yang berpendapat, ini murni ide Soekarno.
Pengaruh Soviet
Meski dikerjakan oleh seniman asli Indonesia, pengaruh gaya seni patung dari Uni Soviet tetap bisa terasa dalam beberapa patung yang didirikan di era Soekarno. Patung di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, menjadi salah satu contohnya. Masyarakat sering menyebut patung ini sebagai ”Tugu Tani” atau ”Tugu Pak Tani”. Namun, nama sesungguhnya dari patung ini adalah Patung Pahlawan.
Patung ini digambarkan dalam bentuk seorang pria menggunakan topi caping petani sembari memanggul senjata, yaitu senapan dengan pisau bayonet di pucuknya. Patung pria tersebut ditemani patung wanita yang berdiri lebih rendah, yang digambarkan sedang memberikan bekal bagi patung pria tersebut.
Ide mengenai patung ini datang saat Soekarno berkunjung ke Uni Soviet tahun 1950-an. Ia mengaku terkesan dengan beberapa patung yang ada di kota Moskwa, dan akhirnya diperkenalkan dengan dua pematung bersaudara, Matvei Manizer dan Otto Manizer. Soekarno pun mengundang kedua pematung itu dan mengutarakan niatnya untuk membuat sebuah monumen yang menggambarkan perjuangan Indonesia dalam pembebasan Irian Barat, kini Papua.
Dalam kunjungannya, Matvei dan Otto tiba di suatu desa di Jawa Barat. Selama perjalanan, keduanya mendengarkan dongeng mengenai seorang anak laki-laki yang harus meninggalkan keluarganya untuk berlaga di medan perang. Kisah dari tanah Sunda tersebut pun menjadi dasar bagi Otto dan Matvei membuat Patung Pahlawan. Pada peresminannya tahun 1963, Soekarno menempelkan sebuah plakat besi di dudukan patung tersebut, yang tertulis: ”Bangsa yang menghargai pahlawannya adalah Bangsa yang besar”.
Lokasi Menteng dipilih karena titik tersebut menjadi titik pertemuan berbagai jalan di penjuru kota Jakarta. Patung ini juga berdiri tidak jauh dari Markas Korps Marinir TNI Angkatan Laut, hanya sekitar 100 meter, yang memiliki andil besar dalam pembebasan Irian Barat pada awal tahun 1960-an.
Seniman But Mochtar menerangkan, patung ini menjadi patung yang paling baik secara estetika. Tema yang diangkat sesuai dengan semangat sosial politik Indonesia. Penempatannya pun tidak menganggu pemandangan dan lalu lintas (Kompas, 6/8/1972).
”Gaya patung di era Soekarno mengedepankan realisme, atau sesuai dengan kenyataan, dan memiliki banyak simbol-simbol perjuangan, mirip dengan gaya Soviet. Hubungan kita dengan Soviet juga sangat erat saat itu,” kata Ary.
Gaya dengan sentuhan surealis baru mulai terlihat di karya selanjutnya, Patung Pemuda Membangun. Monumen yang terletak di bundaran air mancur Senayan ini dikerjakan oleh Insyinur Seniman Arsitek (ISA) di bawah pimpinan Imam Supardi, penanggung jawab proyek ini adalah Munir Pamuncak.
Patung ini dibuat dengan tulang beton, lalu diisi semen, sementara bagian luarnya dilapisi bahan teraso. Patung ini menggambarkan seorang pemuda yang membawa obor dengan api yang menyala. Menurut Munir, wujud patung ini ditekankan pada ekspresi geraknya. Dari pengamatan, patung ini memiliki gumpalan otot yang besar, dengan wajah sedang melantangkan teriakan.
Baca juga: LPS Monas Half Marathon, Berlari di Jantung Ibu Kota Jakarta
Semula, patung ini akan diresmikan pada peringatan Hari Sumpah Pemuda Tahun 1971, tetapi pengerjaan tak kunjung selesai. Hal ini membuat peresmian baru dapat dilakukan pada Maret 1972.
Antropolog Peter JM Nas dalam penelitiannya, ”Jakarta, City Full of Symbols: An Essay in Symbolic Ecology”, tahun 1993 menjelaskan, pembangunan tugu dan patung di Jakarta menunjukkan tiga zonasi simbol perkotaan. Pertama, Monumen Nasional, yang dekat dengan berbagai monumen, seperti Patung Selamat Datang, Patung Pembebasan Irian Barat, Patung Tugu Tani, dan lainnya, menyimbolkan usaha Indonesia yang berfokus membangun identitas nasionalnya pascakolonialisme.
Kedua, Patung Dirgantara yang mempersonifikasi Hanoman, dewa dalam kepercayaan Hindu, yang sedang terbang, dan patung Pemuda Membangun, menyimbolkan upaya Indonesia untuk bergerak dari masa lalu ke masa depan. Terakhir, adalah zona Kota Tua, yang berada di luar zona tersebut, yang dimaknai sebagai periode awal Indonesia menuju dua simbol zonasi sebelumnya.
Ruang-ruang memori tersebut terus eksis hingga kini, dan menjadi pengingat bagi siapa pun yang melintasinya bahwa Jakarta terus tumbuh seiring derap perubahan zaman.
Dalam gelaran LPS Monas Half Marathon yang akan digelar pada 2 Juli 2023, jalan tempat monumen dan tiga patung itu berada akan menjadi bagian dari jalur yang dilintasi oleh para pelari. Momen ini sekaligus menjadi kesempatan bagi para peserta meresapi sejarah panjang Jakarta yang merentang sejak era kolonialisme hingga era kemerdekaan.