Kerap Bermasalah, Pelaksanaan PPDB Tidak Perhatikan Proporsi Sekolah
Proporsi sekolah dengan jumlah penduduk membuat sistem PPDB jalur zonasi menjadi semacam persaingan yang melahirkan kecurangan. Ombudsman Banten menemukan berbagai modus seperti pemalsuan dokumen dan jual beli kuota.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Dugaan kecurangan dalam proses penerimaan peserta didik baru atau PPDB sekolah negeri terus mencuat di masyarakat. Di Banten, jual beli kursi dan pemalsuan dokumen dilakukan agar calon peserta didik bisa masuk sekolah negeri. Permasalahan ini akan terus berlanjut apabila pemerintah tidak fokus ke permasalahan mendasar, seperti kesenjangan kualitas dan minimnya jumlah sekolah di perkotaan.
Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Feriansyah menjelaskan, persaingan tidak sehat antara orangtua calon siswa dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) jalur zonasi terjadi akibat minimnya sekolah negeri yang terjangkau di suatu kecamatan/kelurahan. Bukan hanya soal kualitas yang belum merata, pemberlakuan PPDB zonasi juga terus bermasalah karena sistem ini tidak dibarengi dengan pertambahan jumlah sekolah, khususnya di perkotaan.
Hal ini menjadi beban ganda bagi calon peserta didik dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah karena banyak dari mereka bergeser pindah ke daerah pinggiran kota. Terbatasnya jumlah sekolah dalam satu kecamatan atau kelurahan akhirnya melahirkan persaingan yang tidak sehat.
”Rata-rata sekolah negeri yang berkualitas ada di pusat kota, sedangkan masyarakat berpenghasilan rendah tinggal di pinggiran. Katakanlah rumah mereka dekat sekolah pun, mereka tetap kalah, karena kuota penerimaan terbatas. Kuota yang terbatas ini melahirkan persaingan yang tidak sehat. Ujung-ujungnya pendidikan didapat kalangan tertentu saja,” ucapnya dihubungi dari Tangerang, Sabtu (15/7/2023).
Feri menambahkan, persaingan PPDB zonasi banyak terjadi di tingkat sekolah menengah atas negeri (SMAN) karena jumlahnya yang sedikit, tidak sesuai dengan proporsi jumlah sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Belum lagi, mayoritas SMA dimiliki oleh swasta, bukan pemerintah. Tidak hanya itu, penerapannya pun dinilai tidak transparan karena verifikasi calon siswa yang dilakukan sistem sulit dipantau oleh masyarakat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2021, jumlah SMA di Indonesia tercatat sebesar 13.865 sekolah, dengan 50,24 persen atau sekitar 6,966 sekolah adalah milik swasta. Dengan ini, kesempatan untuk memperoleh pendidikan semakin terbatas bagi kelompok tertentu.
Akses masuk sekolah menjadi semacam kompetisi bagi para orangtua. Hasilnya, masyarakat yang tidak mampu pasti kalah.
”Celah-celah persaingan ini yang harus ditutup. Bila tidak mampu membangun sekolah negeri, setidaknya ada mekanisme beasiswa bagi masyarakat tidak mampu untuk menempuh pendidikan di sekolah swasta karena jumlahnya lebih banyak,” tambahnya.
Siasat lolos
Berbagai modus curang pun dilakukan untuk bisa meloloskan peserta didik dari persaingan masuk sekolah negeri. Kepala Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Banten Fadli Afriadi menjelaskan, pihaknya sudah menerima sekitar 36 pengaduan terkait pelaksanaan PPDB di Provinsi Banten. Dugaan kecurangan terjadi dari setiap jalur PPDB, yaitu, zonasi, afirmasi, dan prestasi.
Di PPDB jalur afirmasi, pihaknya menemukan calon peserta didik yang merupakan anak dari pejabat dan pengusaha, tetapi mendaftar dengan menggunakan surat keterangan tidak mampu. Ada pula beberapa data Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang tidak aktif, tetapi tetap digunakan untuk ikut PPDB jalur afirmasi.
Sementara pada PPDB jalur zonasi masih didapatkan permasalahan tidak aktifnya kartu keluarga yang tidak sesuai dengan data Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil Kabupaten/Kota dan Data Pokok Pendidikan. Hal lain yang ditemukan adalah masalah penentuan jarak antara rumah dan sekolah yang dituju.
Sementara itu, melalui PPDB jalur prestasi, Ombudsman Banten menemukan adanya calon peserta didik yang menggunakan sertifikat palsu. Contohnya, terdapat calon peserta didik yang melampirkan sertifikat kejuaraan bela diri, tetapi tidak mampu membuktikan kemampuannya.
”Masih ada pula pungutan liar atau jual beli kursi, khususnya di tingkat SMA. Dana sebesar Rp 5 juta-Rp 8 juta diminta oleh oknum dari orangtua agar anaknya masuk ke sekolah negeri yang dituju. Perlu ada pengawasan agar tidak ada peserta didik yang diterima di luar proses PPDB,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Langkah awal
Selain memastikan jumlah ketersediaan sekolah dalam satu kecamatan atau kelurahan, pemerintah daerah juga perlu memastikan adanya distribusi guru dengan kompetensi baik di tiap sekolah. Peneliti di Center for Indonesian Policy Studies, Natasya Zahra, menjelaskan, hal tersebut bisa menjadi langkah awal untuk pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia.
Mengenai penentuan zonasi, pemerintah daerah harus terus memperbarui dan mengintegrasikan data dari rapor pendidikan peserta didik dari semua jenjang dengan data kependudukan. Hal ini agar penetapan zonasi wilayah menyesuaikan dengan daya tampung sekolah dan jumlah pendaftar beserta kebutuhannya.
Adanya perbedaan tafsir antara orangtua calon siswa dan juga pemerintah daerah juga menjadi permasalahan yang perlu diselesaikan. Perbedaan ini akibat tidak adanya petunjuk teknis yang jelas mengenai implementasinya.
Sebagai informasi, aturan mengenai PPDB terdapat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 1/2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Dalam aturan tersebut, pemerintah pusat memberikan kewenangan besar bagi pemerintah daerah untuk menetapkan zonasi, dan memberikan ruang untuk menerapkan persyaratan tambahan.
Hal ini menuai masalah seperti yang terjadi pada tahun 2020 saat Dinas Pendidikan DKI Jakarta memasukkan syarat umur pada PPBD jalur zonasi, yang akhirnya menuai protes dari orangtua. ”Proses PPDB ini krusial karena menentukan masa depan seorang anak. Sangat penting ada petunjuk teknis yang disepekati semua pihak harus dirumuskan,” ucapnya.