Kementerian Kesehatan Didesak Buka Data Korban Gangguan Ginjal Akut
Sebagian pihak meyakini korban obat sirop beracun lebih banyak. Kementerian Kesehatan didesak membuka seluas-luasnya data jumlah anak korban cemaran senyawa etilen glikol dan dietilon glikol dalam obat sirop akhir 2022.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keluarga anak-anak korban gangguan ginjal akut progresif atipikal atau GGAPA meminta perbaikan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia agar tak ada lagi nyawa anak-anak negeri ini yang hilang sia-sia. Kementerian Kesehatan didesak segera merealisasikan pemberian uang santunan dan membuka seluas-luasnya data jumlah anak korban cemaran senyawa etilen glikol dan dietilon glikol dalam obat sirop pada akhir 2022.
Sulistia Dian Pertami (34), warga Kalisari, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur, menangis tersedu-sedu saat menceritakan kembali kasus gagal ginjal akut yang meregut nyawa putrinya, Gita Sastya Maharani, pada 1 Februari 2023. Anak keduanya yang saat itu berusia 13 bulan mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Salemba, Jakarta Pusat, sebelum mengikuti proses cuci darah.
”Saya berharap tidak ada korban lain lagi, anak-anak kecil lain. Cukup saya dengan ibu-ibu yang sedang menjalani proses ini. Cukup kami saja, jangan ada lagi korban yang berjatuhan,” kata Sulistia saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (19/7/2023) sore.
Sulistia juga berharap pemerintah tanggap dan memberi perhatian khusus kepada semua korban, baik korban yang telah meninggal maupun kepada para korban yang masih berjuang menjalani perawatan di rumah sakit. Perhatian pemerintah menyeluruh untuk korban yang tercatat ataupun yang bisa saja belum terdata.
”Seperti saya ini, belum ada pendampingan dari kuasa hukum. Kalau bisa, dibantu juga. Kalau memang ada santunan, ya, mohon diberikan juga. Dari pihak rumah sakit menyatakan anak saya ginjalnya sudah rusak,” katanya.
Sulistia sejak anaknya meninggal tak banyak mendapat informasi mengenai kasus gagal ginjal akut yang meregut sejumlah anak-anak. Namun, dia terus berjuang mencari keadilan. Dia bahkan menempuh perjalanan ke Kediri, Jawa Timur, untuk bersaksi dalam sidang perkara tindak pidana peredaran obat dengan terdakwa empat direksi PT Afi Farma, 27 Juni 2023.
”Saya juga berharap mereka yang bersalah dihukum setimpal,” kata Sulistia.
Tak ada perdamaian
Kuasa hukum yang mewakili 41 korban GGAPA Siti Habiba saat dihubungi terpisah mengatakan, pihaknya telah mengajukan gugatan class action ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak 13 Desember 2022. Sidang class action itu masih berlanjut dan pada Selasa (18/7/2023) kembali berlanjut di PN Jakarta Pusat.
”Proses mediasi sudah selesai dan terjadi kesepakatan sebagian. Mereka yang sepakat berdamai dikeluarkan dari gugatan dan bagi mereka yang tidak berdamai, terus berlanjut ke proses selanjutnya,” kata Siti.
Menurut Siti, dari 25 keluarga yang mengajukan gugatan warga negara atau class action law suit, ada 24 keluarga yang sidangnya terus berlanjut. Pihak yang sepakat berdamai, kata Siti, hanya satu orang karena kasus GGAPA mengacu pada jenis obat yang dikonsumsi.
Artinya, jumlah 326 korban itu menurut kami jumlah yang lebih sedikit. Faktanya saya yakin jauh lebih banyak (Siti Habiba).
Salah satu orangtua anak korban gangguan ginjal akut progresif atipikal anak menggugat pihak swasta dan pemerintah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (17/1/2023).
”Yang tidak berdamai ini mereka yang mengonsumsi obat Afi Farma. Sebanyak 24 keluarga ini tidak mau berdamai karena Afi Farma tidak menawarkan perdamaian kepada para korban,” katanya.
Menurut Siti, dalam sidang gugatan class action, ada 11 pihak tergugat, tetapi lima tergugat lain sudah dikeluarkan dari gugatan karena telah mencapai kata damai. Adapun enam pihak yang memilih melanjutkan proses hukum, yakni Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Kementerian Keuangan; dua perusahaan penyalur obat, PT Tirta Buana Kemindo dan CV Samudera Chemical; serta satu perusahaan farmasi, yakni PT Afi Farma Pharmaceutical Industry.
”Hal yang kami inginkan adalah perbaikan sistem. Jangan sampai ada lagi kejadian seperti ini. Kementerian Kesehatan juga tolong jangan hanya sekadar wacana untuk memberikan bantuan kepada para korban, tetapi eksekusinya mana,” kata Siti.
Mencakup seluruh korban
Siti mengatakan, gugatan class action merupakan gugatan yang mencakup seluruh korban. Oleh karena itu, siapa pun yang mengonsumsi obat yang sama dan kemudian mengalami GGAPA secara otomatis akan terikat dalam putusan gugatan class action.
”Tetapi para pihak yang menjadi korban harus konfirmasi ke kami. Sebab, kami tidak tahu keberadaan mereka dari mana saja. Kami sudah coba minta datanya ke Kementerian Kesehatan, tetapi tidak diberikan,” katanya.
Keterbukaan data dibutuhkan lantaran salah satu korban, kata Siti, saat dikonfirmasi ke Kementerian Kesehatan, disebut tak ada dalam pendataan Kementerian Kesehatan. Padahal, resume medis korban yang dipegang kuasa hukum berasal dari Kemenkes.
”Artinya, jumlah 326 korban itu menurut kami jumlah yang lebih sedikit. Faktanya saya yakin jauh lebih banyak,” katanya.
Santunan segera diberikan
Sebelumnya, Asisten Deputi Peningkatan Pelayanan Kesehatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nia Reviani memastikan santunan akan diberikan kepada semua korban yang berjumlah 326 pasien di 27 provinsi yang tercatat di Kementerian Kesehatan. Sebanyak 204 korban meninggal akan mendapatkan santunan kematian dan 122 yang selamat juga mendapatkan santunan perawatan lanjutan dan biaya hidup.
Keputusan ini diambil setelah rapat koordinasi yang dipimpin Kemenko PMK bersama Kementerian Kesehatan dan lembaga terkait lainnya pada Selasa (18/7/2023) pagi. Namun, Nia belum bisa memastikan waktu dan besaran nilai santunan yang diberikan kepada para korban.
”Kami sedang merumuskan besaran santunannya, tetapi kami berkomitmen akan memberikan santunan baik yang meninggal maupun yang hidup dengan cacat menetap. Ini akan diberikan sesuai aturan yang berlaku,” kata Nia (Kompas.id, 18/7/2023).
Kemenko PMK juga akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk mencairkan anggarannya. Nantinya, proses penyaluran santunan akan dilakukan oleh Kementerian Kesehatan atau Kementerian Sosial.
Nia menyatakan, santunan ini merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah kepada korban GGAPA selain dari pelayanan BPJS Kesehatan, yang sejak awal kejadian sampai beberapa pasien rawat jalan tetap menerima manfaat secara penuh. Santunan ini diharapkan dapat meringankan beban keluarga yang masih berjuang memulihkan anaknya dan keluarga yang kehilangan anaknya.