Delapan Kelurahan Jadi Prioritas Penanganan Tengkes di Kota Bogor
Pemkot Bogor terus mendorong percepatan akselerasi kelurahan terbebas dari perilaku buang air besar sembarangan. Di kelurahan itu juga masuk dalam penanganan tengkes.
Oleh
AGUIDO ADRI
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Pemerintah Kota Bogor menetapkan delapan kelurahan sebagai fokus penanganan tengkes pada 2023. Penanganan tengkes ini dibarengi dengan program percepatan akselerasi kelurahan terbebas dari perilaku buang air besar.
Ketua Tim Percepatan Penanganan Stunting sekaligus Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim mengatakan, penanganan stunting atau tengkes di Kota Bogor terus berjalan pada jalurnya dan menunjukkan hasil yang cukup baik. Meski begitu, masih diperlukan kolaborasi serta inovasi dari semua pihak agar Kota Bogor mencapai nol kasus tengkes.
”Stunting merupakan urusan semua pihak, kepedulian antarwarga, kepedulian dari dunia usaha dengan pemberian CSR (tanggung jawab sosial), atau yang lainnya. Untuk bersama-sama membangun generasi yang berkualitas, baik secara fisik maupun mental,” ujar Dedie, Senin (24/7/2023).
Dari kolaborasi dan kepedulian itu, saat ini angka tengkes menunjukkan penurunan. Saat ini terdata ada 2.001 anak di Bogor mengalami tengkes. Angka tengkes saat ini jauh turun dari tahun sebelumnya. Seperti pada 2021, ada 5.392 anak mengalami tengkes.
Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, dari 27 kota/kabupaten Jawa Barat, Kota Bogor berada di peringkat ke-17 dengan prevalensi tengkes sebesar 18,7 persen. Kota Bogor juga masuk dalam kota/kabupaten di Jawa Barat yang mendapat perhatian khusus dalam penanganan tengkes.
Untuk menurunkan prevalensi tengkes, Pemkot Bogor menetapkan delapan kelurahan yang menjadi fokus program penurunan dan pencegahan tengkes 2023. Adapun delapan kelurahan itu meliputi Rangga Mekar, Cilendek Timur, Cikaret, Curug, Tanah Baru, Bubulak, Tegallega, dan Kencana.
Di delapan kelurahan tersebut, Pemkot Bogor akan mengintervensi penanganan berupa pemberian telur dan pangan. Selain itu, berdasarkan hasil audit, masih ditemukan ibu hamil yang tidak mendapat pendampingan gizi.
Oleh karena itu, pendampingan gizi oleh ibu hamil akan digencarkan. Begitu pula dengan pemantauan anak usia 1.000 hari pertama.
Program lainnya yang telah berjalan dan dinilai cukup berhasil menurunkan angka tengkes yaitu, program Pemkot Penting-Lur. Program ini mewajibkan para aparatur sipil negara menjadi orangtua asuh dengan menyumbang dua telur per hari untuk satu anak tengkes. Jika diakumulasi, dalam satu bulan bisa menyumbang 1,5 kilogram telur yang diterima satu anak.
”Ada sekitar 6.700 ASN dikerahkan menjadi ayah dan ibu asuh tengkes,” ujarnya.
Selain itu, kata Dedie, pihaknya saat ini terus mendorong percepatan akselerasi kelurahan terbebas dari perilaku buang air besar (BAB) sembarangan atau open defecation free (ODF). Program ini merupakan bagian penting dalam penanganan tengkes karena pemetaan kelurahan ODF juga termasuk kantong-kantong tengkes.
Sejauh ini, ada penambahan 19 kelurahan ODF. Angka ini menambah dua kelurahan sebelumnya yang telah ODF sehingga total ada 21 kelurahan dari 68 kelurahan di Kota Bogor yang dinyatakan ODF. Capaian ODF Kota Bogor saat ini masuk di 30,9 persen.
Kelurahan ODF itu seperti Kelurahan Rangga Mekar, Genteng, Pasir Mulya, Kertamaya, Cibadak, Lawang Gintung, Empang, Kencana, Loji, Pamoyanan, Curug Mekar, dan Tajur. Selain itu, juga Kelurahan Bondongan, Bojongkerta, Babakan, Kayu Manis, Mekarwangi, Margajaya, Harjasari, Rancamaya, serta Pabaton.
”Ada 19 kelurahan di Kota Bogor dideklarasikan ODF. Masyarakat juga diingatkan untuk ikut bertanggung jawab dalam kehidupan sosial dan menjaga lingkungan,” kata Dedie.
Kelurahan Empang, Kecamatan Bogor Selatan, menjadi salah satu kelurahan yang sudah dinyatakan ODF. Lurah Empang Muhamad Al Farhan mengatakan, wilayah kelurahannya yang dilintasi aliran Sungai Cisadane ini sebelumnya memiliki persoalan perilaku BAB sembarangan.
Di kelurahan itu sebelumnya ada 195 rumah lalu berkurang menjadi 123 rumah tidak memiliki jamban atau saluran pembuangannya langsung mengalir menuju sungai. Kini, secara bertahap perilaku masyarakat juga berubah seiring upaya edukasi oleh pihak kewilayahan, perangkat daerah, sanitarian, juga puskesmas. Perilaku itu dibarangi dengan pembangunan infrastruktur pendukung.
”Mereka yang tidak memiliki jamban itu BAB di WC posyandu, masjid, mushala, WC bersama. Setelah itu kemudian dilakukan pemetaan lokasi untuk septic tank komunal, bersama, mandiri, dan portabel karena lahan kami terbatas,” ujar Farhan.