”Smart City” Atasi Dampak Lingkungan Pengembangan Kota Jakarta
Pengembangan kota cerdas untuk kota berkelanjutan adalah keniscayaan. Jakarta memanfaatkan teknologi untuk menghadapi dampak lingkungan dari geliat kota.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
Jakarta akan fokus mengembangkan teknologi kota cerdas atau smart city untuk kota berkelanjutan dan setara dengan kota besar di ASEAN. Pemanfaatan teknologi untuk kota berkelanjutan ini guna menjawab tantangan dampak lingkungan dari pertumbuhan kota, seperti polusi udara, banjir, dan rob.
Kota pintar merupakan upaya inovatif yang dilakukan ekosistem kota untuk mengatasi berbagai persoalan dan meningkatkan kualitas hidup warga atau komunitas setempat. Kota berkelanjutan adalah kota yang mampu bertahan akibat tekanan perubahan ekonomi, lingkungan, sosial, dan budaya.
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menyampaikan fokus pengembangan kota cerdas itu dalam Forum Merdeka Barat 9 tentang Kota Cerdas ASEAN, Tingkatkan Kualitas Hidup pada Selasa (8/8/2023).
Kota cerdas jadi salah satu topik pembicaraan dalam pertemuan para pemimpin kota se-ASEAN atau Meeting of Governors and Mayors of ASEAN Capitals and ASEAN Mayors Forum yang disingkat MGMAC and AMF 2023.
Selain kota cerdas, pemimpin kota se-ASEAN juga membicarakan tentang ketahanan kota, membangun komunikasi antarkota, situasi pasca-Covid-19, pengembangan ekonomi, dan kesetaraan kota.
Bagaimana memberikan warga hidup yang sehat dan layak. Tantangan bertambah bagaimana mengantisipasi dampak lingkungan yang timbul.
Heru mencontohkan, Jakarta saat ini sudah menerapkan kota cerdas untuk layanan perizinan dan kanal JAKI untuk pelayanan publik sampai aduan warga. Begitu pun pengendalian banjir di Dinas Sumber Daya Air DKI melalui pemantauan titik-titik rawan banjir.
”Urbanisasi jadi tantangan Jakarta. Bagaimana memberikan warga hidup yang sehat dan layak. Tantangan bertambah bagaimana mengantisipasi dampak lingkungan yang timbul,” kata Heru.
Jakarta, misalnya, menghadapi polusi udara, banjir, dan rob. Jakarta tak bisa sendiri mengatasi polusi udara karena terkait emisi dari industri di Bodetabek dan kendaraan bermotor yang masuk ke Jakarta.
Heru merujuk lonjakan kendaraan bermotor berpelat B dalam setahun terakhir. Tercatat 6 juta mobil dan 16 juta sepeda motor. Semuanya masuk ke Jakarta dan jadi beban berat sehingga pemerintah daerah mengembangkan jaringan transportasi, penggunaan kendaraan listrik, dan penanaman pohon untuk penghijauan.
”Harapannya wilayah Bodetabek bekerja sama. Mengembangkan jaringan transportasi untuk kurangi macet dan emisi,” ujar Heru.
Sama halnya dengan antisipasi banjir dan rob. Rampungnya Sodetan Ciliwung menjadi angin segar karena mengurangi potensi banjir kiriman dari hulu di Bogor ke Jakarta di hilir.
Saat yang sama di utara Jakarta tengah disiapkan giant sea wall atau tanggul raksasa untuk mencegah rob. Penanggulangan banjir juga dibarengi dengan normalisasi sungai dan saluran sekunder seperti drainase.
”Tata ruang mau tidak mau harus mengikuti perubahan iklim. Perizinan untuk area pesisir harus ada syarat khusus, misalnya ditinggikan berapa meter, kewajiban untuk perhatikan wilayah di kiri dan kanannya,” kata Heru.
Tantangan-tantangan tersebut akan dibahas lebih lanjut bersama kota besar lain di ASEAN. Setiap kota saling bertukar pengalaman pemanfaatan teknologi untuk menghadapi dampak lingkungan dari pertumbuhan kota.
Makro
Pengembangan kota cerdas untuk kota berkelanjutan adalah keniscayaan. Sebab, pemanfaatan teknologi masa kini bukan hanya untuk meningkatkan kualitas hidup warga. Lebih dari itu untuk menghadapi dampak lingkungan dari geliat kota.
Pengajar pada Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Lin Yola, menuturkan, perkembangan kota di ASEAN kian pesat. Seiring perkembangan itu hadir teknologi untuk mendorong kualitas hidup warga, seperti transportasi untuk mobilitas dan kanal aduan agar komunikasi warga dan pemerintah dari satu arah jadi dua arah.
”Mobilitas yang tinggi mendorong tumbuhnya ekonomi. Itu hal baik, tetapi dampaknya tidak baik. Ada pencemaran udara dan lainnya yang butuh penyelesaian melalui kota cerdas,” ujar Lin.
Jakarta sebagai kota metropolitan tak bisa sendiri menyelesaikan dampak lingkungan. Butuh solusi makro sebagai satu kawasan Jabodetabek.
Lin mencontohkan, kawasan metropolitan perlu fokus memudahkan mobilitas warga melalui konektivitas dan aksesibilitas transportasi umum yang dapat mengurangi polusi udara akibat emisi. Sumber daya manusia juga perlu ditingkatkan agar memahami kota cerdas dan kota berkelanjutan.
”Tak bisa selesai dengan satu solusi mikro. Pekerjaan rumah melihat secara makro. Semua kota terkoneksi. Butuh kolaborasi untuk petakan dampak lingkungan dan manfaatkan teknologi yang tepat guna,” ucap Lin.
Kolaborasi itu, antara pemerintah, akademisi, dan privat agar bisa mengatasi dampak lingkungan secara makro dan berkesinambungan.