Apoteker Terlibat dalam Pengedaran Obat Keras dan Psikotropika di Jakarta
Ada 26 tersangka ditangkap. Pidana yang melibatkan apoteker di beberapa apotek, serta pedagang dan toko obat, ini kerap berkaitan dengan gangguan keamanan serta ketertiban di tengah masyarakat.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polda Metro Jaya membongkar praktik pembuatan resep dan peredaran obat secara ilegal di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Pidana yang melibatkan apoteker yang bekerja di beberapa apotek, serta pedagang dan toko obat, ini kerap berkaitan dengan gangguan keamanan serta ketertiban masyarakat.
Sejak Januari hingga Agustus 2023, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menerima 22 laporan polisi. Polisi pun menindaklanjuti laporan ini dengan menyidik 12 toko obat, 5 apotek, 1 klinik, dan 6 pedagang. Tempat-tempat itu menyebar di wilayah Jakarta serta Depok dan Bekasi di Jawa Barat.
”Dari sini, ada 26 tersangka yang dilakukan upaya paksa penangkapan untuk kepentingan penyelidikan lebih lanjut. Mereka terkait dengan penjualan sediaan farmasi yang tidak sesuai dengan ketentuan, baik itu di toko obat, apotek, maupun tempat-tempat lainnya seperti klinik,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Dalam penyidikan laporan beberapa bulan terakhir, polisi menemukan modus baru penjualan obat ilegal, selain pengungkapan importasi dan penjualan obat pabrikan ilegal. Perdagangan obat secara ilegal kini dilakukan melalui apotek yang tidak menjalankan prosedur berlaku.
”Di antara modus operandi baru yang kita ungkap di sini adalah peredaran obat daftar G atau obat tertentu oleh oknum tenaga kesehatan, dalam hal ini adalah asisten dokter, asisten apoteker, ataupun pedagang obat yang dilakukan secara melawan hukum. Kemudian, modus oknum tenaga kesehatan terdaftar membuat resep obat, meski tidak memiliki izin praktik atau tidak sesuai dengan kompetensinya. Modus lainnya adalah oknum karyawan apotek, yang tidak memiliki izin praktik, membuat resep obat,” kata Ade.
Polisi pun menyita sekitar 231.662 butir obat keras, 5.000 butir kapsul obat kosong, 3 bundel segel merek obat, dan 2 unit alat pres obat. Di antara obat yang disita ada obat jenis hexymer dan termadol yang termasuk obat keras masuk daftar G dan alprazolam yang merupakan psikotropika golongan IV.
Obat-obatan jenis ini, kata Ade, kerap terdeteksi atau ditemukan di tangan pelaku premanisme dan kejahatan jalanan.
”Dari hasil kegiatan kamtibmas yang kami lakukan dan melalui patroli presisi, kami sering kali menemukan pelaku premanisme ataupun tawuran yang ada di ibu kota Jakarta sebelum melakukan aksinya didapati obat-obatan daftar G ataupun psikotropika golongan 4 ini,” katanya.
Pada kesempatan sama, Pelaksana Tugas Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Elza Gustanti, menyampaikan akan menindak tegas apotek dan apoteker yang melanggar aturan seperti ini.
”Ini sudah diatur apakah itu di PT (perusahaan obat) dan di Kemenkes (Kementerian Kesehatan), dalam hal ada pelanggaran yang tidak sesuai dengan ketentuan atau tidak sesuai dengan SOP, maka dapat diberikan sanksi administratif itu oleh pemerintah yang berwenang, seperti pemerintah kabupaten kota. Adapun sanksi yang dapat diberikan adalah mulai dari peringatan tertulis sampai pencabutan izin,” kata Elza.
Prosedur yang tidak dijalankan secara sesuai oleh sarana farmasi secara langsung juga memengaruhi kesalahan oleh tenaga kesehatan atau apoteker.
Sesuai aturan hukum yang berlaku, para tersangka terancam dijerat Pasal 196 juncto Pasal 98 Ayat 2 dan Ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 60 Angka 10 juncto Angka 4 Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atas Perubahan Pasal 197 juncto Pasal 106 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Dan juga Pasal 60 Angka 10 juncto Angka 4 Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU perubahan atas Pasal 197 juncto Pasal 106 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Serta dijerat Pasal 198 juncto Pasal 108 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 62 Ayat 1 juncto Pasal 8 Ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 86 Ayat 1 jo Pasal 46 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Pasal 55 Ayat 1 Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) dan dijerat Pasal 56 KUHP.