Pengembangan Cagar Budaya Jakarta Perlu Melibatkan Masyarakat
Konservasi cagar budaya menjadi obyek pariwisata tidak boleh berfokus pada pembaruan kualitas bangunan saja, tetapi juga kesejahteraan warga. Nilai dalam masyarakat perlu juga dipandang sebagai warisan budaya.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pengembangan kawasan cagar budaya di Jakarta menjadi obyek pariwisata tidak boleh berfokus pada konservasi bangunan saja, tetapi juga kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Kehadiran masyarakat di sekitar kawasan cagar budaya penting untuk menjaga keberlangsungan sejarah di tempat tersebut.
Dalam diskusi yang digelar Ikatan Ahli Perencana Wilayah Jakarta di Jakarta, Jumat (15/9/2023), pengajar sejarah arsitektur dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Kemas Ridwan Kurniawan, menjelaskan, pengembangan cagar budaya di Jakarta sebagai obyek pariwisata perlu memperhatikan keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
Hal ini penting mengingat kawasan cagar budaya khususnya di perkotaan terancam oleh berbagai hal, mulai dari perubahan iklim hingga jumlah kunjungan yang dibatasi (mass tourism). Tidak hanya itu, upaya membangkitkan kawasan cagar budaya sebagai obyek pariwisata lebih banyak menekankan pada aspek bangunan, tanpa memperhatikan masyarakat yang ada di sekitarnya.
”Konservasi cagar budaya bukan hanya untuk mendapatkan status Warisan Dunia UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB), tapi juga harus berdampak ke masyarakat yang ada di dalamnya karena mereka juga menjadi bagian sejarah bagaimana kota bertransformasi menjadi modern,” ucap pengajar yang juga Ketua Tim Cagar Budaya DKI Jakarta ini.
Dalam perkembangannya, untuk menyelesaikan masalah tersebut, UNESCO pun mulai menggunakan konsep historic urban landscape (HUL). Dalam HUL, cagar budaya ditinjau dalam perspektif lebih luas, yakni pengembangan suatu kawasan, mulai dari bangunan, sejarah, hingga nilai-nilai masyarakat di dalamnya. Hal-hal tersebut lalu dilihat sebagai faktor-faktor penting yang terus bergerak, hingga membentuk masyarakat dan kota modern yang ada di sana.
Agar HUL dapat berjalan dengan baik, pemerintah perlu mengatur zonasi pengembangan cagar budaya dengan komprehensif. Kawasan cagar budaya yang memiliki nilai sejarah tinggi akan masuk dalam zona inti (core zone), sedangkan masyarakat ataupun ruang terbuka hijau berada dalam zona penyangga (buffer zone). Selanjutnya, terdapat zona pengembangan (development zone) dan zona pendukung (supporting zone) yang menjadi lokasi pengembangan pariwisata.
Di Jakarta, konsep HUL sudah mulai dipraktikkan dalam pengembangan kawasan Kota Tua. Pertama, mengubah zona inti Kota Tua menjadi kawasan bebas kendaraan bermotor. Lalu, merenovasi bangunan tua di sekitar untuk dijadikan restoran dan lainnya. Selanjutnya, di zona luar, pemerintah membangun layanan transportasi umum sehingga memudahkan pergerakan masyarakat.
Kemas menyebutkan, kehadiran masyarakat asli penting karena dinilai memiliki keterikatan dengan kawasan sehingga memiliki rasa tanggung jawab yang baik dalam menjaga cagar budaya. Hal ini telah dipraktikkan dalam pengembangan kawasan cagar budaya menjadi pariwisata di Malaka dan Georgetown, Malaysia, dalam satu dekade silam.
”Zona inti intervensinya seminimum mungkin, sementara zona lainnya bisa dikembangkan untuk pariwisata. Dengan ini, sebuah kawasan itu dilihat sebagai sebuah perkembangan sejarah kota. Otentisitas kawasan terjaga dan masyarakat sekitar bisa sejahtera,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, pengajar arsitektur Universitas Trisakti, Punto Wijayanto, mengatakan, dalam HUL, pelestarian cagar budaya dan pembangunan menuju kota modern adalah hal yang saling melengkapi, bukan sebaliknya. Untuk itu, dalam membangun suatu kawasan pariwisata, pemerintah juga harus membangun ruang pendukung yang bisa dimanfaatkan pula untuk warga sekitar.
Ia menyebutkan, konsep HUL membuat obyek pariwisata tidak lagi hanya gedung dan sejarah, tetapi juga perjalanan perkembangan suatu kota. Menurut dia, hal ini pula yang membuat Kota Tua kini tetap ramai, terlepas dari pesatnya pertumbuhan di kawasan sekitarnya. ”Pengembangan cagar budaya bukan hanya kualitas bangunan saja, melainkan bagaimana masyarakat dan kondisi kawasan di sekitarnya menjadi lebih humanis,” ujarnya.
Public Relations Manager Jakarta Tourisindo Tasya Lovina menuturkan, keterlibatan swasta dalam pengembangan kawasan cagar budaya di Jakarta, khususnya Kota Tua, dibutuhkan untuk mendorong pariwisata di sana. Akan tetapi, sosialisasi dan pemahaman mengenai pembangunan pariwisata di cagar budaya perlu dipahami dengan baik oleh berbagai pihak agar tidak mengganggu otentisitas kawasan.
Aturan yang menjembatani masalah tersebut pun perlu dirumuskan agar pengembangan kawasan berjalan dengan baik dan juga meminimalkan ego antarsektor. ”Pemerintah perlu punya konsep yang baik agar bisa menarik investasi ke sektor pariwisata. Tidak hanya itu, pemerintah juga perlu membuka diri dengan berbagai model bisnis yang ada,” ucapnya.