Modal ”Nyaleg” Besar, Praktik Korupsi Kian Riskan
Penipuan berkedok pinjaman dana kampanye memperkuat asumsi publik bahwa menjadi wakil rakyat atau kepala daerah mahal.
Kasus penipuan berkedok pinjaman untuk dana kampanye yang dilaporkan di Polsek Tambora, Jakarta Barat, pada Minggu (5/11/2023) lalu makin menebalkan asumsi publik bahwa untuk dapat lolos menjadi wakil rakyat ataupun kepala daerah membutuhkan dana yang tidak sedikit.
NZ (52), tersangka sekaligus agen yang menawari para calon pejabat publik, menuturkan bahwa ada puluhan calon pejabat publik, baik legislatif maupun eksekutif, yang tergiur dengan jasa pinjaman instan hingga puluhan miliar rupiah sebagai dana talangan untuk maju dalam kontestasi pemilihan umum.
Dua korbannya adalah M yang bakal maju dalam kontestasi DPRD DKI Jakarta dan B yang akan mencalonkan diri sebagai anggota DPR dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan.
Baca juga : Pinjaman Fantastis untuk Calon Legislatif
Menanggapi fenomena ini, anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Nasional Demokrat (Nasdem), Ahmad Lukman Jupiter, Selasa (14/11/2023), beranggapan, jika ada calon anggota legislatif (caleg) yang harus meminjam uang hingga miliaran rupiah untuk lolos sebagai anggota dewan, dipastikan mereka akan rentan terlibat dalam praktik korupsi.
”Itu karena gaji dan tunjangan yang diperoleh sebagai anggota DPRD tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan,” kata Jupiter.
Ia merinci pendapatannya berupa gaji dan tunjangan sebagai anggota DPRD DKI Jakarta hanya Rp 83 juta setiap bulan. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp 15 juta dialokasikan untuk partai, Rp 20 juta untuk kegiatan sosial, dan Rp 25 juta untuk menggaji lima anggota stafnya yang bertugas mendampingi masyarakat jika memerlukan bantuan.
”Dengan begitu, saya hanya memperoleh pendapatan bersih sekitar Rp 23 juta per bulan,” katanya.
Dengan pendapatan itu, ujar Jupiter, sangat tidak mungkin bisa mengembalikan dana pinjaman yang sampai miliaran rupiah dengan cara halal. ”Karena itu, sebelum menjadi wakil rakyat perlu dipastikan mereka sudah terlebih dulu mapan secara finansial,” ujar Jupiter yang merupakan pengusaha di bidang perbankan dan properti.
Uang bukanlah yang utama bagi warga, tetapi apakah caleg itu bisa benar-benar bisa mewakili publik ketika membuat sejumlah kebijakan.
Selain itu, Jupiter menilai, tidak semua ”suara” warga Jakarta bisa dibeli. Sebagian besar dari mereka sudah memiliki wawasan politik yang cukup baik. Ketika ada orang yang ingin mencalonkan diri sebagai pejabat publik, warga akan terlebih dulu melihat program, latar belakang, dan perannya dalam masyarakat.
”Uang bukanlah yang utama bagi warga, tetapi apakah caleg itu bisa benar-benar bisa mewakili publik ketika membuat sejumlah kebijakan. Mungkin uangnya diambil, tetapi mereka (warga) tetap memilih caleg yang lain,” kata Jupiter.
Karena itu, sebelum berkontestasi dalam pemilihan umum, seorang caleg seharusnya memiliki modal. Bukan sekadar uang, melainkan telah dikenal positif oleh konstituen sebagai insan yang amanah dan dapat dipercaya. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah dengan terjun langsung ke masyarakat dan terlibat aktif dalam organisasi.
”Sebelum maju menjadi caleg, saya sudah terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan 10 tahun sebelumnya, terutama membantu mereka kaum disabilitas,” kata Jupiter.
Baca juga : Mencari Titik Temu soal Durasi Kampanye
Dengan modal itu, Jupiter mengaku hanya mengeluarkan uang sekitar Rp 500 juta ketika memutuskan maju menjadi caleg pada tahun 2019. Uang itu digunakan untuk membeli alat peraga kampanye dan bertemu dengan konstituen.
Hal ini diamini Justin Adrian, anggota DPRD DKI Jakarta Fraksi Partai Solidaritas Indonesia. Ia mengaku, untuk bisa lolos menjadi anggota legislatif pada 2019, dana yang dikeluarkan untuk kampanye sekitar Rp 450 juta. Uang itu digunakan untuk membeli alat peraga kampanye dan konsumsi ketika melakukan pertemuan dengan konstituen.
”Karena dana terbatas, tim pemenangan pun harus efisien, tidak perlu banyak, tetapi memang militan di lapangan,” katanya.
Dana itu Justin kucurkan ketika menjalani masa kampanye selama tujuh bulan. Untuk kontestasi tahun ini, sepertinya akan lebih hemat karena masa kampanye hanya sekitar tiga bulan.
Menurut dia, jika ada caleg yang mengeluarkan uang hingga miliaran rupiah, itu akan sangat berisiko. ”Jangan pernah pinjam uang atau jual aset demi nyaleg karena pilihan masyarakat di luar kendali kita,” kata Justin.
Dia menilai, calon anggota legislatif yang rela mengeluarkan banyak uang biasanya pendatang baru yang belum memiliki banyak basis massa. Karena itu, menurut Justin, sangat penting bagi caleg untuk mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum masuk ke ranah politik.
”Tetap rasional dan jangan mengambil risiko yang terlalu besar. Menjual aset atau meminjam uang untuk nyaleg bukanlah pilihan yang bijak. Sebab, masih banyak warga yang tidak bisa dibeli,” kata Justin.
Transparan
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mengatakan, dalam kontestasi pemilihan umum, para caleg membutuhkan uang operasional kegiatan kampanye, sosialisasi, hingga aktivitas politik dalam rangka meraup suara yang banyak. Proses pelaksanaan kampanye peserta pemilu juga ada dana kampanye. Dana itu bisa ditetapkan oleh caleg secara perorangan, badan hukum, ataupun pihak ketiga yang tidak mengikat.
Pertanyaannya, kata Fadli, apakah caleg bisa mengemban itu secara mandiri lalu mencari cara dengan berutang sehingga terjerat dalam penipuan.
Menurut Fadli, ketika memutuskan maju menjadi kontestan pemilu, caleg harus punya analisis pada kemampuan politik, kapasitas jaringan, hingga finansial. Jika dana bukan dari kantong pribadi, ia harus punya jaringan yang akan mendukung perjalanan politiknya.
”Namun, beberapa fenomena pencalonan legislatif lebih banyak reaktif, bahkan instan. Seolah-olah caleg jalan untuk mendapatkan kekuasaan, jabatan, dan uang,” kata Fadli.
Tak heran, seorang caleg belum memiliki modal analisis kuat terkait kapasitasnya, tetapi tetap ikut kontestasi akan menjadi langkah berat sehingga terjerat penipuan.
Kemitraan caleg dengan calon pemilihnya dan penyumbang harus strategis dan transparan.
Dalam pendekatan praktis, lanjut Fadli, tidak ideal jika kaderisasi dan rekrutmen oleh partai politik, seorang caleg yang mereka usung dalam pemilu harus berutang atas nama dirinya sendiri. Namun, situasinya, parpol yang mencalonkan calegnya tidak semua bisa dibantu.
Idealnya, partai membantu caleg mencari sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat dan wajib melaporkan pinjaman itu sebagai wujud transparansi. Itu tidak terjadi dalam fenomena politik di Indonesia.
”Kemitraan caleg dengan calon pemilihnya dan penyumbang harus strategis dan transparan. Yang terjadi seolah-olah semua dilakukan di bawah meja. Potensi korupsi akan semakin besar. Ini konsekuensi dari mahalnya biaya politik,” ujarnya.
Kepala Kepolisian Sektor Tambora Komisaris Putra Pratama mengatakan, dari hasil pemeriksaan tersangka NZ diketahui bahwa sindikat penipuan ini tidak hanya beroperasi di Jakarta, tetapi sudah merambah hingga ke berbagai pulau, seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Nyatanya, beberapa korban dari komplotan ini adalah kaum terpelajar yang berprofesi sebagai dokter atau dosen. ”Padahal, secara nalar, mana mungkin ada orang yang mau memberikan pinjaman uang hingga miliaran rupiah hanya dengan jaminan pembelian koper,” kata Putra.
Ini menandakan bahwa risiko bagi calon anggota legislatif ataupun eksekutif untuk terjerat penipuan masih sangat besar. Putra berharap, dengan terkuaknya kasus ini tidak ada lagi calon wakil rakyat yang menjadi korban aksi penipuan ini. ”Jika ada yang merasa dirugikan oleh komplotan ini, segera laporkan,” ujarnya.