Sopir truk di Parung Panjang tak mematuhi aturan pembatasan jam operasional truk karena mata pencahariannya terusik.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
BOGOR, KOMPAS - Truk muatan tambang masih beroperasi di wilayah Parung Panjang dan sekitarnya di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemerintah dianggap tidak hadir mengatasi masalah sehingga warga dan sopir truk tambang menjadi korban selama bertahun-tahun.
Uji coba pembatasan jam operasional truk tanpa muatan pada pukul 13.00 hingga 16.00 tidak diindahkan oleh para sopir. Lalu lintas di Jalan Mohamad Toha hingga Jalan Sidamanik, Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Selasa (12/12/2023) kemarin, dijejali truk tanpa muatan dan bermuatan material tambang. Truk-truk besar itu berbaur dengan kendaraan bermotor sehingga membuat kondisi jalan sangat berdebu.
Amirrudin (35) dan sejumlah sopir truk lainnya terpaksa tetap menyopiri truk tambang karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan mereka tetap mengantar hasil tambang. Jika mengikuti aturan uji coba atau jalan pada malam hari pada pukul 22.00 hingga pukul 05.00, mereka hanya bisa membawa satu rit atau satu kali perjalanan. Hal itu membuat mereka rugi karena hanya mendapatkan bayaran yang sedikit.
Aturan pembatasan jam operasional truk itu tertuang dalam Peraturan Bupati Bogor Nomor 56 Tahun 2023.
”Kami rugi, bayaran jadi sedikit dengan aturan itu. Cuma bisa satu rit. Itu tidak cukup. Kami punya keluarga yang perlu dikasih makan. Dua sampai empat rit saya kurang. Apalagi satu rit," kata laki-laki yang akrab dipanggil Udin itu.
Dalam sehari uang bersih yang bisa dibawa pulang Udin dan sopir truk lainnya hanya sekitar Rp 150.000-200.000. Uang itu sudah dipotong dengan pungli, makan, dan lainnya.
Udin mengerti ada aturan pembatasan jam operasi truk tambang, tetapi sekali lagi ia dan teman-teman buruh sopir lainnya juga terikat pada aturan perusahaan tambang dan armada truk. Mereka harus tetap mengantar barang tambang karena ada permintaan yang harus dipenuhi.
”Kalau ada jalur (jalan khusus truk) lebih bagus biar kami tidak lewat jalan ini. Seolah-olah kami sebagai orang yang paling bertanggung jawab. Kami hanya bekerja, cari makan, hanya ini jalur yang bisa digunakan,” ujarnya.
Sumiyati (27), warga yang tinggal tak jauh dari Jalan Mohamad Toha, setiap hari harus berhadapan dengan truk-truk tambang dan debu yang kadang membuatnya sesak nafas dan mata perih.
Kondisi jalan berdebu dan licin saat hujan serta situasi lalu lintas yang telah menahun itu membuatnya sangat kesal. Ia menilai pemerintah membiarkan warga mati perlahan karena debu atau mati cepat karena risiko tinggi ditabrak truk.
”Sampai kapan kami tidak diperhatikan seperti ini. Saya marah. Pemerintah begitu tidak peduli biar kami seperti ini. Kondisi berdebu itu juga mengancam kami. Saya merasakan sesak. Keponakan saya bahkan sering sakit-sakitan, kena ISPA (infeksi saluran pernapasan atas). Coba tanya warga lainnya, sudah berapa yang luka dan meninggal karena ditabrak," kata Sumiyati dengan nada tinggi.
Kekesalan serupa juga dirasakan Moh Fatur (35). Ia masih ingat peristiwa 2019 saat melihat warga tewas ditabrak truk. Tak hanya sekali, pada 2023 dan 2024 ini pun ia menyaksikan sejumlah warga terluka dan tewas karena tertabrak truk.
”Seperti tinggal tunggu giliran ditabrak jika kita tidak ekstra hati-hati. Korban akan masih terus ada selama jalur lalu lintas kendaraan ini dilalui truk tambang. Belum lagi debunya. Tolonglah, berikan kami perlindungan. Pemerintah tolong main ke sini, tinggal di sini biar tahu rasanya seperti apa,” kata Fatur.
Kekesalan Fatur semakin memuncak tak kala para sopir truk menutup akses jalan di Malang Nengah di perbatasan wilayah Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Tangerang, pada Jumat hingga Sabtu (8-9/12/2023), dari pukul 22.00 sampai sekitar pukul 14.00. Tak ayal, jalur perlintasan wilayah itu sulit dilalui karena terjadi antrean panjang kendaraan.
Dari peristiwa itu, tidak ada satu pun dari pemerintah dan kepolisian yang turun membantu mengatasi masalah pemblokadean jalan yang begitu lama.
”Pemerintahnya, ya, tidur saja, makan gaji buta. Akhirnya kita paham bahwa inilah pekerjaan pemerintah. Kerjaannya membuat warga sulit, kerjanya mengabaikan masalah yang dihadapi warga," katanya.
Wajar warga marah karena mereka bertahun-tahun mengalami ini. Kesehatan, keselamatan, perkembangan ekonomi dan kegiatan warga lainnya terganggu.
Jalur khusus
Ketua Aliansi Gerakan Jalur Tambang, Junaedi menilai, mobilisasi truk tambang bermuatan berlebih di wilayah Kecamatan Parung Panjang, Rumpin, Gunung Sindur, dan Ciseeng, tak hanya membuat warga kecewa dan marah.
Namun juga, memperlihatkan pemerintah tidak siap dengan perkembangan pembangunan di Jabodetabek sehingga warga menjadi korban karena tidak ada tindak tegas dalam regulasi dan penyelesaian masalah berupa penertiban izin tambang hingga pembuatan jalur khusus truk tambang.
Pembangunan dan perkembangan hunian perkotaan yang semakin meluas ke wilayah Bodetabek tidak diikuti dengan pembenahan dan penambahan infrastruktur.
Pemerintah dinilai terlalu fokus pada jalur tol dan kereta api, meski itu juga penting. Namun, jalur jalan umum juga harus diperhatikan karena masih menjadi urat nadi warga.
Wajar warga marah karena mereka bertahun-tahun mengalami ini. Di jalur jalan umum dilintasi truk tambang besar. Itu membahayakan. Kesehatan, keselamatan, perkembangan ekonomi dan kegiatan warga lainnya terganggu. Seperti kasus tabrakan, kami mencatat pada 2022-2023 saja setidaknya ada 17 warga meninggal. Kami banyak menemukan sopir di bawah umur pula," kata Junaedi di lokasi.
Warga, kata Junaedi, mengerti kondisi para sopir yang terpaksa harus bekerja dan melanggar aturan pembatasan jam operasional. Tuntutan warga bukan kepada sopir truk tambang, tapi kepada kepedulian dan ketegasan pemerintah dalam membuat serta menjalankan aturan yang melindungi warga kecil termasuk pada sopir truk.
"Perlu ada regulasi tegas terkait jam operasional. Tidak cukup perbup. Tidak pula pergub. Lebih tinggi lagi yaitu PP. Tapi aturan itu ya harus tegakkan. Dan pembenahan infrastruktur hingga peninjauan kembali izin tambang itu," ujarnya.
Junaedi menjelaskan, pemetaan jalur khusus truk tambang sudah ada. Sayang janji Pemerintah Provinsi Jawa Barat sejak 2015 hingga saat ini jalur khusus itu tak kunjung selesai.
”Jalur itu, mulai dari Cigudeg, Parung Panjang, lalu tembus masuk Jalan Tol Serpong. Itu jalur seksi satu sepanjang 12,5 km. Lalu seksi dua di Rumpin yang tembus dan terintegrasi ke tol juga," jelasnya.
Sayang, meski sudah ada pemetaan dan berbagai kunjungan dari pejabat Pemprov Jabar, Pemkab Bogor, termasuk para gubernur, nyatanya tidak berdampak pada perubahan di jalur neraka Parung Panjang, Rumpin, Gunung Sindur, dan Ciseeng.