Merayu ”Kaum Elite” untuk Beralih ke Transportasi Publik
Perluasan rute bus JR Connexion diharapkan dapat menjangkau ”kaum elite” untuk beralih menggunakan transportasi publik.
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek terus memperluas rute layanan bus Jabodetabek Residence (JR Connexion/JRC) untuk memfasilitasi warga di sekitar permukiman penyangga Ibu Kota menuju pusat kegiatan bisnis di Jakarta dan sebaliknya. Program ini juga salah satunya untuk menjangkau ”kaum elite” beralih menggunakan transportasi publik.
JR Connexion beroperasi sejak tahun 2017 di beberapa wilayah Bodetabek. Akan tetapi, belum semua warga Jabodetabek mengetahui adanya bus eksklusif ini. Salah satunya Nur Shalihah (35), warga Bekasi, Jawa Barat.
Lihah, sapaan akrabnya, memang sering melihat bus besar di Mega City Bekasi. Namun, ia tidak tahu jika bus tersebut bisa mengantarkan warga hingga ke Jakarta.
Sementara itu, warga Bekasi lainnya, Dwi Arini (32), sudah mengetahui adanya JR Connexion. Ia pernah beberapa kali naik bus ini dengan rute Grandhika City Jatiwarna- Kuningan dengan ongkos Rp 25.000 untuk sekali jalan.
Baca juga: Transjakarta, 20 Tahun Perjalanan Membangun Budaya Transportasi Publik
Menurut Dwi, fasilitas di dalam bus cukup lengkap. Terlebih ada fasilitas untuk mengisi daya handphone serta memiliki akses Wi-Fi. Bus juga sudah dilengkapi penyejuk ruangan (AC) yang sangat dingin.
Bekerja di Kuningan, Jakarta Selatan, Dwi memiliki alasan untuk tidak menggunakan JR Connexion sebagai moda transportasi sehari-hari. ”Kalau ke kantor, harus naik moda transportasi lainnya lagi. Jadi, saat ini masih sering menggunakan mobil untuk sehari-hari,” katanya, Jumat (26/1/2023).
Meski demikian, Dwi ada niatan untuk pelan-pelan beralih menggunakan transportasi umum. Selain lebih murah, ia juga ingin menekan polusi udara di Jabodetabek.
Adapun bus JR Connexion merupakan angkutan umum massal premium untuk melayani kebutuhan masyarakat di kawasan permukiman Bodetabek menuju simpul transportasi utama di DKI Jakarta. Bus ini termasuk angkutan umum dalam kategori point to point, yakni melayani langsung kebutuhan masyarakat dari titik keberangkatan menuju lokasi tujuan dan tidak banyak berhenti di halte-halte.
Besaran tarif JR Connexion adalah Rp 20.000-Rp 25.000 sekali jalan. Tarif tersebut memang tergolong mahal jika dibandingkan dengan angkutan umum biasa, misalnya KRL atau Transjakarta.
Baca juga: JR Connexion Menjangkau Permukiman, Menghubungkan Jabodetabek
Dengan harga tersebut, bus ini relatif nyaman. Sebab, memiliki akses Wi-Fi, AC, jumlah kursi per kolom dua unit, sabuk pengaman di tiap kursi, hingga pengisi daya baterai ponsel. Bus diisi penumpang sesuai jumlah tempat duduk sehingga tak ada penumpang yang berdiri.
Terus dikembangkan
Sejak diluncurkan pada 2017, JR Connexion telah melayani 23 permukiman di kawasan Bodetabek. Saat ini, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan berencana menyediakan bus JR Connexion di 117 titik kawasan permukiman di Jabodetabek. Tahun ini ditargetkan ada 40 titik yang terlayani.
Pelaksana Tugas Kepala BPTJ Kemenhub Suharto mengatakan, program ini dikejar dalam waktu tiga tahun. Tiap tahunnya akan fokus penambahan rute di 40 titik dan ditarget rampung pada 2026 mendatang.
Pada tahun 2024, BPTJ menargetkan penambahan rute pelayanan JR Connexion di 40 perumahan Bodetabek, antara lain di Morizen, Discovery Bintaro Jaya, Kota Harapan Indah, dan Alam Sutera. Kemudian pada tahun 2025 rencana ada penambahan rute pelayanan di 40 perumahan lagi, antara lain Suvarna Sutera, Royal Tajur Residence, Springville Residence, dan The Orchid Mansion. Selanjutnya, menjangkau 37 perumahan lainnya, antara lain El Premio, Raffles Hills, dan Grand Trevista pada tahun 2026.
Tidak hanya menambah rute, BPTJ juga akan menambah jumlah bus. Pada tahun 2024 dibutuhkan penambahan 106 armada bus besar, 86 bus pada tahun 2025, dan 46 bus pada tahun 2026.
Setelah target di tahun ini selesai, kata Suharto, selanjutnya adalah meningkatkan integrasi dengan layanan transportasi di Jakarta. Pihaknya juga melihat kemungkinan pemberian subsidi atau intervensi dari pemerintah. Salah satunya melalui account based ticketing (ABT).
Baca juga: Terlelap di Bus JRC di Tengah Kemacetan...
”Kami juga perlu mendapat masukan penentuan titik naik turun penumpang JRC pada area permukiman dan Transjabodetabek pada mal. Apakah di dalam area permukiman atau pusat perbelanjaan, atau di luar, bahkan di pinggiran,” ujar Suharto.
Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ), ada delapan hal yang harus dibangun BPTJ dalam penyelenggaraan transportasi di Jabodetabek. Pertama, penggunaan angkutan umum harus mencapai 60 persen dari total pergerakan orang. Kedua, waktu tempuh maksimal angkutan umum dari tempat asal ke tujuan adalah 1 jam 30 menit saat jam sibuk.
Ketiga, kecepatan minimal angkutan umum pada jam sibuk adalah 30 kilometer per jam. Keempat, layanan angkutan umum mencapai 80 persen dari total panjang jalan. Selanjutnya kelima, akses jalan kaki maksimal menuju angkutan umum adalah 500 meter.
Lalu keenam, adanya jaringan transportasi pengumpan atau feeder di setiap daerah, yang terintegrasi dengan jaringan utama melalui satu simpul transportasi perkotaan. Ketujuh, simpul transportasi memiliki fasilitas jalan kaki dan parkir, dengan jarak maksimal perpindahan antarmoda berada di angka 500 meter. Adapun yang terakhir atau kedelapan adalah ihwal perpindahan moda dalam satu kali perjalanan, yang berada di batas maksimal tiga kali.
Pengembang permukiman, operator, dan mal untuk penyediaan layanan transportasi di Jabodetabek juga mempunyai peran penting. Operator Bus Alfaomega, Onny Febriananto, pun menyatakan ketertarikannya untuk bersama-sama menyediakan layanan JRC.
”Kami optimistis 117 permukiman yang akan dikembangkan layanannya dapat memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum massal,” kata Onny.
Pengembang permukiman Lippo Cikarang, Marcus, juga mendukung rencana perluasan layanan JRC. Ia berharap JRC dan Transjabodetabek dapat terus diperluas jangkauannya.
Kendala
Kepala Divisi Operasional Kantor Pusat Perum Damri, Yulianto, mengatakan, Damri telah melayani bus JRC dengan 95 unit sejak tahun 2017. Pada tahun 2023 penggunanya mencapai 1,7 juta orang. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2022 yang hanya melayani 995.712 penumpang.
Namun, hingga saat ini, masih terdapat beberapa kendala yang dihadapi JRC dalam operasionalisasinya. Pertama, belum semua fasilitas pemberangkatan JRC memiliki park and ride dan fasilitas untuk naik turun yang layak. Kedua, kenaikan jumlah penumpang dari awal operasionalisasi hingga mencukupi operasionalisasi membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Kemudian batas usia kendaraan 10 tahun cukup pendek, sedangkan kilometer tempuh per hari bus JRC relatif kecil. Kemacetan lalu lintas juga memengaruhi waktu tempuh serta jumlah keberangkatan.
Lalu, banyak pesaing yang tidak resmi, seperti angkutan liar dan transportasi daring. Dan terakhir, banyaknya angkutan kedinasan yang mengangkut penumpang umum dengan tarif yang lebih murah.
Masih krisis
Menurut Wakil Ketua Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno, Indonesia sedang mengalami krisis angkutan umum.
Baca juga: Bus BTS Segera Beroperasi di Depok, Tarif Digratiskan Dua Tahun
Djoko menyebut, sekitar 95 persen kawasan perumahan di Bodetabek tidak memiliki akses layanan transportasi umum. Padahal, idealnya, warga seharusnya bisa menemukan halte bus, terminal bus, atau stasiun kereta dengan berjalan kaki tidak lebih dari 500 meter.
Saat ini, sekitar 7,3 juta atau lebih dari 65 persen jiwa penduduk DKI Jakarta dilayani oleh angkutan umum eksisting. Akan tetapi, baru 656.000 orang atau kurang dari 5 persen jiwa penduduk Bodetabek yang telah dilayani angkutan umum eksisting. Padahal, berdasarkan cakupan layanan 500 meter dari titik simpul, angkutan umum massal eksisting berpotensi melayani 7,97 juta atau 25,18 persen penduduk Jabodetabek.
Pertambahan jumlah kendaraan pribadi di DKI Jakarta dan di daerah penyangga, baik sepeda motor maupun mobil, juga memperlihatkan bahwa masyarakat masih memilih transportasi pribadi untuk bermobilisasi. Banyak pula mobil berkapasitas lima hingga delapan penumpang dibawa beraktivitas meski hanya berisi sang pengendara.
Tawaran mendapatkan sepeda motor yang kian mudah dan murah juga dinilai Djoko menyebabkan masyarakat lebih tertarik memakai sepeda motor untuk bermobilitas. Sepeda motor, baik kendaraan pribadi maupun ojek daring, kian menjadi pilihan transportasi masyarakat karena cenderung lebih gesit.
Menurut pengamat transportasi Darmaningtyas, agar bus diminati masyarakat kelas atas, kualitas dan layanan bus harus sesuai dengan pangsa pasar mereka. Terlebih, bus ini diyakini menyasar masyarakat yang tinggal di perumahan elite.
”Yang menjadi tantangan ialah mengubah citra pengguna angkutan umum, dari yang dianggap untuk kaum menengah ke bawah menjadi pilihan utama masyarakat semua kalangan,” katanya.
Selain itu, subsidi terhadap penumpang juga diperlukan. Ia menilai, daripada memberi subsidi pembelian sepeda motor listrik, lebih baik subsidi untuk naik angkutan umum berbasis listrik.