Siasat Berhemat Kelas Menengah Urban Saat Harga Sembako Kian Melesat
Tak hanya warga miskin, kelas ekonomi menengah perkotaan ikut terdampak akibat kenaikan harga bahan pangan.
Dompet warga kelas ekonomi menengah turut terdampak akibat kenaikan harga sembako yang kian melesat. Mereka pun harus memiliki siasat untuk berhemat. Kelas menengah ini umumnya merujuk pada kelas pekerja dengan pendapatan tetap dan biasanya tidak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan tergolong berkecukupan.
Warga Jakarta Timur, Alfiyah (35), misalnya, kini harus meminta uang lebih sebesar Rp 150.000 kepada suaminya untuk belanja bulanan akibat harga sejumlah komoditas naik, seperti cabai merah hingga beras.
”Yang paling terasaitu harga cabai rawit yang naik dari Rp 65.000 menjadi Rp 90.000 per kilogramnya dalam seminggu. Naiknya tidak tanggung-tanggung, Rp 25.000,” katanya, Senin (19/2/2024).
Alfiyah mengaku tidak mengurangi atau mengubah masakannya, kecuali pengurangan cabai. Ia lebih memilih menambah pengeluaran dibandingkan pemangkasan pengeluaran. Belanja bulanan bahan pangan yang biasanya memakan budget sebesar Rp 3,5 juta untuk empat orang, kini ditambah sekitar Rp 150.000 sejak awal Februari ini.
”Paling lebih mengurangi cabai saja. Misalnya kalau pas harga cabai lagi murah, pakai cabainya untuk membuat sambal lebih banyak. Kalau pas harga naik, jumlahnya dikurangin,” tutur Alfiyah yang juga bekerja sebagai pedagang baju ini.
Satu bulan lalu, harga beras premium juga hanya mencapai Rp 75.000 per 5 kg. Namun, saat ini harganya telah naik menjadi Rp 84.000 per 5 kg. Meski kenaikan hanya Rp 10.000, sangat terasa bagi Alfiyah.
Kenaikan harga juga dialami warga Bekasi, Jawa Barat, Fipin (31). Demi menekan pengeluaran, Fipin gencar mencari promo atau voucher di e-commerce untuk berbelanja. Meskipun demikian, potongan yang ditawarkan tidak banyak.
”Selain harga sejumlah sembako naik, beras premium juga menghilang dari minimarket,” kata Fipin.
Baca juga: Setelah Kedatangan Presiden, Harga Beras di Pasar Induk Cipinang Turun Tipis
Di kawasan rumahnya, harga beras naik dari Rp 70.000 per 5 kg menjadi Rp 80.000. Belum lagi harga bawang merah, cabai, dan buah-buahan juga ikut naik akibat gagal panen.
Meski harga sejumlah komoditas naik, Fipin tidak memangkas uang belanjanya dan tidak mengganti menu masakannya. Apalagi, ia masih memiliki anak kecil.
Namun, Fipin berharap agar harga kebutuhan pokok bisa stabil. Walaupun naik, setidaknya tidak sampai 20-50 persen.
”Terutama beras ya. Bagi penjual juga jangan berlebihan ngasih harganya. Kalau kemahalan nanti tidak laku,” ujarnya.
Lain halnya dengan karyawan swasta di Jakarta Pusat, Rista Ayodia (24). Meski tidak memasak setiap hari, ia merasa kenaikan harga di sejumlah komoditas turut memengaruhi pemangkasan diskon dalam berbelanja makanan secara daring di e-commers.
Baca juga: Harga Turun, Beras Premium Masih Dijual Terbatas di Jakarta
”Sebagai anak kos, saya lebih sering memesan makanan secara daring karena menunya lebih beragam dan banyak diskon. Tetapi sejak sebulan terakhir, saya merasa promo yang ditawarkan semakin berkurang. Biasanya Rp 32.000 sudah dapat dua makanan, tetapi sekarang nyaris Rp 40.000 untuk dua makanan harga termurah,” kata Rista.
Tentu saja Rista harus putar otak. Selisih harga Rp 5.000 hingga Rp 10.000 cukup tinggi baginya. Ia pun mulai beralih membeli makanan secara langsung ke warung terdekat dengan harga Rp 15.000 per porsi, yang sesuai budget-nya.
Penghasilan Rista dalam satu bulan menyentuh angka Rp 7 juta. Warga asal Magelang, Jawa Tengah, ini hidup sendirian dengan menyewa kos di Jakarta. Ia merinci biaya yang yang harus ia keluarkan dalam satu bulan, mulai dari biaya sewa kos Rp 1,2 juta, uang makan Rp 2 juta, uang bensin Rp 100.000, uang kuota internet Rp 100.000, biaya kebutuhan sekunder Rp 1 juta, uang untuk laundry Rp 100.000, transfer bulanan orangtua Rp 500.000, dan menabung Rp 2 juta.
”Kalau di hari biasa, saya membiasakan menghabiskan uang secukupnya, Rp 50.000 saja. Pokoknya harus tetap menabung Rp 2 juta sampai Rp 2,5 juta dalam satu bulan. Jangan sampai naiknya harga sembako turut memangkas uang tabungan,” katanya.
Kenaikan harga sembako juga berdampak pada pelaku usaha makanan di Jakarta. Para penjual makanan harus menempuh beragam strategi agar bertahan dalam menjalankan usaha. Selain menaikkan harga jual produk makanan, sebagian penjual juga berusaha mengurangi porsi makanan yang dijual.
Baca juga: Harga Beras Dikhawatirkan Terus Naik Jelang Ramadhan
Pedagang sate taichan di Jakarta Selatan, Ahmad Hartono (32), memiliki cara untuk tetap untung meski harga ayam, beras, dan cabai tengah naik. Ia memilih untuk menambahkan lebih banyak air di sambal buatannya.
”Salah satu bahan utama di sate taichan itu cabai. Jadi harus tetap ada dan enak. Saya menambahkan sedikit air agar sambalnya bisa lebih banyak karena harga cabai sangat mahal sekarang,” katanya.
Hartono menambahkan, biasanya ia juga akan memberi sambal gratis untuk pembeli yang ingin tambah. Namun, sekarang ia tak lagi menerapkan itu. Jika pelanggan ingin tambah, ia harus menambah biaya.
Berbeda dengan penjual gudeg di Jakarta Pusat, Sumiati (56). Ia tidak mengurangi jumlah dagangannya meskipun pendapatannya turut tercekik akibat harga sembako naik.
”Kalau ada yang dikurangi, nanti pembeli pasti tahu. Meskipun tidak protes, mereka pasti ada yang tidak mau beli lagi,” katanya.
Gudeg yang ia jual biasanya ramai dibeli pekerja kantoran pada siang hari saat jam makan siang. Sebab, tempat berjualannya berseberangan dengan sebuah kantor dan tempat jual sepeda motor.
”Paling pendapatan berkurang. Misal ada yang beli gudeg dengan lauk harga Rp 20.000, seharusnya dapat untung Rp 3.000 jadi untungnya tinggal Rp 2.000,” tuturnya.
Terus naik
Harga sejumlah bahan pangan di DKI Jakarta hari ini terpantau naik. Melansir data panel harga pangan Badan Pangan Nasional pada Senin (19/2/2024) pukul 13.00 WIB, terdapat sembilan komoditas yang harganya naik dan tiga komoditas harganya turun dibandingkan satu minggu yang lalu di DKI Jakarta, yakni Senin (12/2/2024).
Harga rata-rata komoditas cabai merah keriting di Provinsi DKI Jakarta naik dari Rp 74.170 per kg menjadi Rp 81.650 per kg. Begitu juga dengan bawang merah yang naik dari Rp 36.980 per kg menjadi Rp 37.690 per kg. Lalu cabai rawit merah naik dari Rp 60.030 per kg menjadi Rp 78.680 per kg.
Kemudian, daging ayam ras juga mengalami kenaikan dari Rp 38.300 per kg menjadi Rp 38.590 per kg. Lalu telur ayam ras naik dari Rp 27.950 per kg menjadi Rp 28.820 per kg, serta tepung terigu (curah) naik dari Rp 10.160 per kg menjadi Rp 10.320 per kg.
Harga beras premium juga naik dari Rp 15.690 per kg menjadi Rp 16.500, lalu beras medium naik dari Rp 13.620 per kg menjadi Rp 14.300 per kg, serta harga daging sapi murni naik dari Rp 134.030 per kg menjadi Rp 134.870 per kg.
Meski demikian, sejumlah komoditas juga mengalami penurunan harga meskipun tidak seberapa. Komoditas itu di antaranya harga ikan kembung dari Rp 36.200 per kg menjadi Rp 35.660 per kg, ikan tongkol dari Rp 37.380 per kg menjadi Rp 36.760 per kg, dan ikan bandeng dari Rp 41.140 per kg menjadi Rp 40.590 per kg.
Persoalan pangan ini tidak terlepas dari tata kelola yang masih semrawut.
Sejumlah komoditas harganya masih tetap. Komoditas itu misalnya bawang putih bonggol Rp 40.960 per kg, gula konsumsi Rp 16.390 per kg, minyak goreng kemasan sederhana Rp 17.380 per liter, tepung terigu kemasan (non-curah) Rp 13.130 per kg, minyak goreng curah Rp 15.160 per liter, garam halus beryodium Rp 11.540, serta kedelai biji kering (impor) Rp 11.660 per kg.
Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Eliza Mardian, menilai, ada dua pokok alasan yang menjadi biang kerok kenaikan harga bahan pokok di Jabodetabek, yakni dampak El Nino dan permintaan yang meningkat.
”Beras dan cabai yang mayoritas dipenuhi dalam negeri disebabkan dua faktor, yakni supply terganggu akibat El Nino dan demand masyarakat relatif tinggi,” katanya.
Eliza menganggap masalah pangan di Indonesia saat ini sudah selayaknya fenomena gunung es. Ia mengatakan, harga mahal seolah-olah hanya murni imbas El Nino.
”Padahal, persoalan pangan ini tidak terlepas dari tata kelola yang masih semrawut. Data pangan yang akurat dan real time tidak ada, insentif bagi petani berkurang, subsidi pupuk dan solar juga dikurangi. Imbasnya, biaya produksi meningkat dan harga meningkat bagi konsumen,” kata Eliza.
Selain itu, Eliza menyoroti rantai pasok yang masih panjang sehingga menyebabkan inefisiensi. Ia juga mempermasalahkan kurangnya research and development (RnD) untuk menerapkan teknologi yang bisa menggenjot jumlah produksi dan menekan biaya.
”Kurangnya insentif bagi petani serta kurangnya RnD menyebabkan kita ketergantungan bahan pokok impor. Ketergantungan impor ini sudah bertahun-tahun lamanya,” tutur Eliza.
Menurut Eliza, pemerintah seharusnya menerbitkan kebijakan yang komprehensif. Impor dan operasi pasar yang dilakukan pemerintah selama ini dinilai hanya penyelesaian masalah jangka pendek. Ia pun menekankan pentingnya komitmen menempuh perbaikan tata kelola dalam jangka menengah dan panjang.
Sebelumnya, Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian DKI Jakarta Suharini Eliawati mengatakan, kelangkaan beras premium lantaran belum masuknya masa panen raya. Alhasil, timbul ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan sehingga harga naik.
Masa panen raya sendiri diperkirakan berlangsung pertengahan Maret ini. Food Station Tjipinang Jaya pun secara bertahap menyalurkan beras premium ke seluruh ritel di Jabodetabek sembari meningkatkan kerja sama dengan mitranya untuk mengamankan stok beras.
Namun, Suharini memastikan stok beras tercukupi jelang dan selama Ramadhan nanti. Ia mengimbau warga tak perlu panik. ”Sebanyak 50.000 ton dari 200.000 ton beras komersial yang disiapkan Bulog dialokasikan khusus untuk Jakarta,” ujarnya.