Ahmad Sahroni: Saya Cek Ombak, Tipis-tipis Tanya Pendapat Publik
Ahmad Sahroni dan Ridwan Kamil disebut-sebut menjadi politisi yang bakal bertarung di pilgub DKI Jakarta 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah politisi seperti Bendahara Umum Partai Nasdem Ahmad Sahroni dan mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mulai mengeluarkan gimik politik untuk bersaing dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2024. Memanfaatkan berbagai medium, dari media sosial hingga baliho pinggir jalan, mereka berusaha untuk menarik perhatian publik.
Sejumlah politisi yang digadang-gadang bakal berkontestasi dalam pemilihan gubernur Jakarta 2024 mulai mengeluarkan gimik politik mereka. Dua di antaranya dilakukan Bendahara Umum Partai Nasdem Ahmad Sahroni dan Wakil Ketua Umum Bidang Penggalangan Pemilih Partai Golkar Ridwan Kamil.
Baca juga: Ridwan Kamil, Ahmad Sahroni, dan Gimik Media Sosial Pilgub DKI Jakarta
Sahroni bahkan jauh-jauh hari sudah beriklan lewat baliho. Dia mengunggah tulisan gede di baliho yang bertebaran seantero Jakarta, ”Dari Tanjung Priok untuk Jakarta”. Di ujung baliho tertulis inisial ASC, singkatan Ahmad Sahroni Center. Foto-foto baliho tersebut juga diunggah di akun Instagram Ahmad Sahroni, @ahmadsahroni88.
”Sejujurnya, saya tak ada niatan khusus untuk maju Pilkada DKI Jakarta. Namun, memang Partai Nasdem dan banyak pihak mendukung, tapi kan, saya juga harus perhitungkan. Saya cek ombak, ya misalnya dengan mulai ’tipis-tipis’ tanya pendapat publik,” ujar Wakil Ketua Komisi III DPR Sahroni saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (28/2/2024).
Ia menekankan, belum ada deklarasi atau keputusan berkaitan dengan Gubernur DKI Jakarta. Saat ini, fokusnya bekerja sebagai wakil rakyat untuk membela mereka yang mendapat ketidakadilan hukum, seperti yang selama ini telah dilakukannya dalam 10 tahun terakhir.
Memang Partai Nasdem dan banyak pihak mendukung, tapi kan, saya juga harus perhitungkan. Saya cek ombak, ya misalnya dengan mulai ’tipis-tipis’ tanya pendapat publik.
Sementara itu, Ridwan Kamil ketika dikonfirmasi melalui salah seorang yang dekat dengannya, enggan berkomentar terkait kemunculannya dalam bursa Pillkada DKI Jakarta. Baliho mantan Gubernur Jawa Barat itu tak berkaitan dengan politik. Meski gambar tersebut seolah menyiratkan pesan bahwa dirinya hendak ke Jakarta.
Langkah politik Kamil akan sangat ditentukan keputusan Partai Golkar. Saat ini, ia masih tercatat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Golkar.
Menanggapi hal ini, pengamat politik sekaligus pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Kunto Adi, menilai, gimik politik pasti dibutuhkan untuk menarik perhatian publik. Namun, cara ini hanya meningkatkan popularitas semata untuk menciptakan opini publik. Popularitas ini tak serta-merta mengerek elektabilitas keduanya.
Baca juga: Soal Pilkada DKI Jakarta, Ridwan Kamil: Tunggu 29 Februari
Saling sahut antara Sahroni dan Kamil berhasil menarik perhatian khalayak. Dari sisi momentum awal, keduanya tampak sangat memahami cara berkompetisi di Jakarta.
”Ada proses politik dan proses ambil hati dan pikiran pemilih. Ini bagian ambil hati. Menurut saya sudah dapat kita memperbincangkan soal Sahroni dan Emil,” ujar Kunto.
Peluang nama lain
Bursa Pilkada DKI Jakarta 2024 yang mulai ramai dibahas ternyata masih membuka peluang bagi mantan gubernur provinsi ini. Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dinilai memiliki kans untuk kembali bertarung.
Menurut Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya, Anies masih bisa berkontestasi dalam Pilkada DKI Jakarta walaupun pernah mengikuti Pemilihan Presiden 2024. Secara aturan, ia masih berhak maju lagi. Sebaliknya, Basuki juga masih diperbolehkan bertarung lagi.
”(Hal) yang menarik sebetulnya adalah peluang terbesar masih dimiliki Anies dan Basuki yang pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta. (Keduanya) pernah memiliki basis konstituen besar dan masih terjaga dari dua sosok ini,” tuturnya.
Baca juga: Baliho Ridwan Kamil, Ahmad Sahroni, dan Spekulasi Kandidat Gubernur Jakarta
Selain kedua nama mantan Gubernur DKI itu, menurut Yunarto, Ridwan Kamil termasuk salah satu yang punya peluang besar mengingat namanya selalu masuk papan atas dalam survei Pilkada DKI. Di tingkat nasional, sosok Ridwan Kamil juga sudah cukup dikenal.
Sementara menurut Yunarto, posisi Sahroni saat ini belum setinggi politisi Golkar itu.
Yunarto menilai, Jakarta merupakan barometer politik nasional. Aktor yang digadang-gadang bisa menjadi pemimpin dapat berasal dari beragam kalangan, seperti tokoh nasional, pejabat petahana DKI Jakarta, dan setidaknya pernah menjadi kepala daerah di tempat lain.
Menurut dia, tokoh alternatif mewakili teknokratis juga berpeluang muncul. Beberapa adalah Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Budi Hadimuljono, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
”Apalagi dalam peralihan, (Jakarta) bukan lagi jadi ibu kota tapi akan jadi kota bisnis dibutuhkan sosok yang harus lebih kuat latar belakang teknokratis dibandingkan politisi,” kata Yunarto.
Baca juga: Setelah Ridwan Kamil dan Ahmad Sahroni, Muncul Zaki Iskandar dan Riza Patria
Peluang Jakarta dipimpin kepala daerah bisa dari beragam latar belakang. Sebab, daerah khusus ini tak hanya sebatas tempat tinggal etnis tertentu, tetapi pusat bisnis yang mewakili beragam kalangan. Faktor ketokohan dan portofolio seseorang jadi prasyarat menjadi pemimpin.
Senada dengan Yunarto, Kunto Adi mengatakan, kans Anies maju dalam kontestasi pilgub DKI sangat mungkin terjadi. Anies dinilai telah memiliki modal kampanye pertemuan (town hall campaign) seperti Desak Anies.
Kampanye sejenis bisa menarik perhatian kuat jika diterapkan dalam pilkada. Metode kampanye ini bisa mengawinkan gimik dan substansi.
Gimik politik
Meski jumlah pemilih rasional di Indonesia terbatas, sebab masyarakat lebih banyak memilih berdasarkan stereotipe dan menggunakan prasangka-prasangka yang dilakukan. Cara-cara gimik politik ini dapat menggerus isi kampanye, seperti nilai dan program yang seharusnya ditonjolkan.
Pada Pemilu 2014, masyarakat masih mengonsumi konten-konten kampanye dengan tulisan cukup panjang. Selanjutnya, tren bergeser pada Pemilu 2019 dengan tulisan-tulisan yang lebih pendek di Twitter, serta gambar dan video melalui Instagram.
Kondisinya makin parah dalam Pemilu 2024, ketika Tiktok mendominasi. Netizen hanya disuguhkan teks dan video yang tak berkaitan.
”Itu akhirnya mendidik kita untuk tak berpikir kritis. Risikonya ketika dijadikan jurus manjur dalam pemilu dan pilkada, hal ini akan mengancam kemampuan pemilih untuk memilih berdasar substansi, rekam jejak, program yang semestinya dilakukan pemilih rasional,” tutur Kunto.
Sejauh ini, model kampanye persilangan gimik dan substansi tergolong lebih baik dibandingkan metode kampanye lainnya. Penyajiannya pun secara hibrida, bisa diikuti dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring).
Banyak pemilih Indonesia yang belum melek politik, sesederhana memahami peran dan tugas dasar kepala daerah. Kampanye perlu dimanfaatkan untuk mengembalikan politik agar jadi urusan rakyat.
”Jadi mengembalikan politik jadi urusan rakyat, tak hanya semata-mata tokoh, elite, dan model patron klien yang selama ini terjadi,” kata Kunto.
Tonton juga: Pilkada DKI Jakarta, Panggung Politik Bergengsi Selain Pilpres