Saatnya Transportasi Umum Lebih Cepat Dibanding Kendaraan Pribadi
Alasan masyarakat masih banyak yang menggunakan transportasi pribadi karena waktu tempuhnya lebih cepat.
JAKARTA, KOMPAS - Masyarakat diyakini akan meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih menjadi pengguna transportasi umum jika waktu tempuh yang diberikan bisa lebih cepat. Selama ini, pengguna kendaraan pribadi sulit menerima transportasi umum karena waktu tempuhnya lebih lama dan estimasi yang diberikan tidak sesuai.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, mengatakan, alasan masyarakat masih banyak yang menggunakan transportasi pribadi karena waktu tempuhnya lebih cepat. Kini saatnya tarif angkutan umum senilai Rp 3.500 itu harus lebih cepat daripada mobil pribadi.
”Saatnya ke depan dibuat yang paling cepat, ya, naik transportasi umum,” ucap Yayat, dalam acara Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Fest 2024 di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Minggu (10/3/2024). Acara digelar di tengah pelaksanaan hari bebas kendaraan bermotor (car free day).
Pemerintah telah mengembangkan model transportasi yang terintegrasi, seperti Transjakarta, KRL, LRT, dan MRT. Namun, menurut Yayat, perpindahan antarmoda transportasi masih memerlukan pembayaran tarif baru.
Selain itu, pengguna transportasi umum masih harus menambah perjalanan dengan berjalan kaki atau menggunakan ojek daring. Akibatnya, biaya total yang dikeluarkan oleh masyarakat bisa lebih tinggi daripada menggunakan kendaraan pribadi.
Suasana kepadatan penumpang di Stasiun Transit Tanah Abang, Jakarta Pusat saat jam sibuk, Selasa (11/4/2023) sore.
”Sebanyak 30 persen pengeluaran masyarakat itu untuk transportasi. Jadi, kalau harga Rp 3.500 sudah bisa mencakup semuanya, ya, masyarakat juga akan bisa berhemat,” katanya.
Adapun untuk menjangkau semua kalangan, fasilitas yang diberikan angkutan umum juga harus setara dengan kendaraan pribadi. Misalnya, angkutan umum harus wangi, nyaman, bersih, mudah dijangkau, dan tepat waktu. Selain itu, jarak keterjangkauan antara angkutan umum dengan rumah idealnya ialah 500 meter.
Saat ini, terdapat sekitar 19 juta sepeda motor dan sekitar 4 juta mobil di Jakarta, dengan jumlah penduduk sekitar 11 juta. Hal ini berarti jumlah kendaraan bermotor hampir dua kali lipat jumlah penduduk.
Baca juga: Memerangi Polusi dengan Transportasi Umum
Di sisi lain, penggunaan sepeda motor di DKI Jakarta juga hanya memerlukan pengisian bahan bakar yang saat ini juga mendapatkan subsidi dari pemerintah. Bahkan, bahan bakar tersebut tidak habis dalam sehari dan bisa digunakan kembali keesokan harinya. Yayat pun menekankan bahwa sepeda motor adalah pilihan yang paling ekonomis bagi masyarakat.
Salah satu kekhawatiran penumpang saat mereka harus berpindah moda transportasi adalah mengenai waktu tunggu yang lama dan waktu tiba angkutan yang tidak pasti.
Pemerintah didorong bisa lebih berani untuk menggelontorkan subsidi terhadap transportasi umum. Nantinya, biaya menggunakan transportasi umum bisa jauh lebih murah dibanding menggunakan kendaraan pribadi. Dengan cara ini, masyarakat akan memilih menggunakan transportasi umum.
Suasana di dalam bus Transjakarta koridor 1 Blok M-Kota, Rabu (6/11/2019).
Yayat menggarisbawahi pentingnya integrasi waktu antarmoda transportasi agar masyarakat tidak perlu menunggu terlalu lama saat berpindah dari satu moda ke moda yang lain.
”Salah satu kekhawatiran penumpang saat mereka harus berpindah moda transportasi adalah mengenai waktu tunggu yang lama dan waktu tiba angkutan yang tidak pasti. Jika pengguna terlalu lama menunggu tibanya angkutan, mereka pasti merasa kehilangan kesempatan berharga,” katanya.
Lebih lama
Warga Jakarta Selatan, Sella Suryani Dharma (29), sependapat. Alasannya, saat ia menggunakan sepeda motor ke kantor, waktu yang ditempuh lebih singkat, kurang dari 25 menit jika lalu lintas lancar. Berbeda saat ia menggunakan transportasi publik, perjalanan yang lumayan singkat itu justru bisa ditempuh dengan waktu dua kali lebih lama.
”Biasanya kalau bangun lebih pagi, saya naik KRL dari Stasiun Cawang ke Stasiun Sudirman, itu butuh waktu sekitar 38 menit. Tapi belum terhitung waktu transitnya di Stasiun Manggarai dan harus menunggu kereta, terus jalan kaki juga ke kantor. Jadi, lebih lama,” kata Sella.
Sejumlah warga tengah berlari pagi di Jakarta Pusat, Minggu (10/3/2024).
Kereta yang padat penumpang juga menjadi alasan Sella tidak selalu menggunakan transportasi itu, terlebih pada jam berangkat dan pulang kerja. Sebab, sudah menjadi hal lumrah jika transportasi publik seperti bus dan kereta dipenuhi banyak orang yang hendak berangkat atau pulang kerja.
”Secanggih apa pun transportasi publiknya, nyatanya masih belum mampu mengubah citra itu, yakni padat penumpang,” katanya.
Namun, ada sisi lebih yang dirasakan warga jika menggunakan transportasi umum kereta, yakni tidak mengalami gangguan lalu lintas. Penumpang juga bisa istirahat di perjalanan saat kereta tidak sesak.
Baca juga: 70 Persen Warga Jakarta Ditargetkan Beralih ke Transportasi Umum
Selain itu, keberangkatan kereta juga sudah terjadwal. Dengan demikian, masyarakat bisa mengatur waktu keberangkatan agar tidak menunggu kereta terlalu lama.
Namun, dalam beraktivitas tentunya tidak selamanya masyarakat bisa tepat waktu. Ada kalanya masyarakat akan telat berangkat karena sejumlah faktor.
”Jika telat semenit saja, harus menunggu kereta selanjutnya datang. Dan itu memerlukan waktu lebih lama,” lanjut Sella.
Sejumlah transportasi publik memang menerapkan biaya murah dan terjangkau. Namun, biaya lebih murah nyatanya tidak berlaku jika seseorang harus berganti moda transportasi menuju tempat tujuan.
”Akan tetap mahal jika harus berpindah menggunakan moda transportasi lain untuk menuju tempat kerja,” kata Zahra Husainia (27), warga Jakarta Pusat.
Zahra mencontohkan dalam kesehariannya. Jarak ke kantornya jika menggunakan sepeda motor memerlukan waktu sekitar 20 menit, pergi-pulang menghabiskan biaya bahan bakar kurang dari Rp 13.000 untuk dua hari.
”Sementara kalau naik transportasi umum (Transjakarta) itu bayar Rp 3.500 dan kalau pulang pergi jadinya Rp 7.000 per hari. Lebih mahal lagi karena ditambah naik ojek daring ke kantor dari halte, biasanya tarifnya Rp 15.000. Beruntung kalau lagi ada promo bisa lebih hemat,” tuturnya.
Upaya
Di sisi lain, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) terus berupaya meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan angkutan umum.
Direktur Angkutan BPTJ Tatan Rustandi menyebutkan, strategi yang diterapkan antara lain Push and Pull, skema layanan Buy the Service (BTS) yang setara, hingga integrasi informasi dan integrasi antarmoda transportasi di Jakarta dengan area-area penyangga.
Tatan menyebutkan, saat ini, untuk area Jakarta, daya jangkau layanan angkutan umum ke masyarakat (coverage area) telah mencapai 70 persen. Namun, di kota-kota penyangga sekitar Jakarta masih berkisar 20 persen hingga 30 persen.
Baca juga: Merayu ”Kaum Elite” untuk Beralih ke Transportasi Publik
Karena itu, BPTJ telah melakukan strategi dan kebijakan baik jangka pendek, menengah, dan panjang, untuk menggerakkan masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Dengan begitu, akan mengurangi volume kendaraan pribadi di ruas-ruas jalan Jakarta.
”BPTJ memiliki rencana induk sampai 60 persen (coverage area) di Bodetabek. Oleh karena itu, perlu adanya modernisasi di wilayah Bodetabek sehingga orang mau beralih ke layanan transportasi umum yang modern dan ramah lingkungan,” ujarnya.
Halte Bus Buy The Service (BTS) yang sudah selesai dibangun di depan Stasiun Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (23/10/2021).
Salah satu langkah yang dilakukan BPTJ untuk meningkatkan penggunaan transportasi umum adalah menerapkan strategi “Push and Pull”. Langkah push strategy yang dilakukan berupa manajemen ruang dan waktu untuk akses kendaraan pribadi, termasuk pembatasan ruang jalan, pembatasan parkir, dan pengaturan waktu.
Sementara pull strategy dilakukan dengan perbaikan berkelanjutan layanan transportasi umum dengan segala kelengkapan sarana dan prasarana, serta operasional.
BPTJ memiliki rencana induk sampai 60 persen ( coverage area) di Bodetabek. Oleh karena itu, perlu adanya modernisasi di wilayah Bodetabek sehingga orang mau beralih ke layanan transportasi umum yang modern dan ramah lingkungan.
Tatan menilai pull strategy dapat menciptakan penyediaan pelayanan transportasi umum yang setara antara Jakarta dengan Bodetabek, baik dalam hal pelayanan maupun aksesibilitas. “Contohnya, pengoperasian layanan bus dengan skema Buy the Services. Pelaku perjalanan dapat memperoleh layanan angkutan umum lebih dekat di tempat tinggalnya di Bodetabek sehingga meninggalkan kendaraan pribadinya dan beralih ke angkutan umum,” tuturnya.
Perbaikan ataupun penyempurnaan penyediaan fasilitas integrasi transportasi umum juga akan terus dilakukan sehingga perpindahan moda transportasi umum menjadi lebih nyaman dan aman, serta tanpa penambahan biaya.