Jakarta Tambah 5 Polder, Revitalisasi 2 Pompa, dan Bangun 8 Waduk
Jakarta kerap kebanjiran setelah hujan lebat dengan intensitas lebih dari 150 milimeter per hari.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun lima polder, merevitalisasi dua pompa stasioner, dan membangun delapan waduk atau embung untuk pengendalian banjir tahun 2024. Pembangunan ini bagian dari upaya meningkatkan kapasitas atau daya tampung infrastruktur pengendalian banjir, khususnya saat hujan deras.
Jakarta kerap kebanjiran setelah hujan lebat dengan intensitas lebih dari 150 milimeter (mm) per hari. Salah satunya pada Jumat (22/3/2024), banjir melanda 55 RT dan 30 ruas jalan setelah hujan deras di Semanan, Jakarta Barat, dengan intensitas 212 mm per hari dan 208 mm per hari di Pompa Tanjungan, Jakarta Utara.
Sekretaris Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Hendri mengatakan, setiap tahun pemerintah daerah terus berupaya meningkatkan kapasitas infrastruktur pengendalian banjir.
Ada pembangunan sistem polder secara bertahap, peningkatan prasarana dan sarana kali/sungai, seperti tanggul, waduk atau embung untuk retensi air, dan salurandrainase di wilayah rawan banjir. Peningkatan kapasitas infrastruktur ini tentunya membutuhkan koordinasi dengan dinas atau instansi lainnya.
”Tahun ini lima polder sedang dibangun, dua pompa stasioner direvitalisasi, dan delapan waduk/embung yang dibangun,” ujar Hendri, Selasa (26/3/2024).
Kelima polder ini ialah Pompa Sunter C, Pompa Gaya Motor, Pompa Kali Sepatan (Kawasan Berikat Nusantara), Pompa IKPN Bintaro, dan Pompa RW 13 Greenville. Sementara revitalisasi pompa tengah berlangsung di Pompa Stasioner Jalan Tanjung Duren Raya-Jalan S Parman, Jakarta Barat dan Pompa Stasioner Taman BMW, Jakarta Utara.
Adapun delapan waduk/embung terdiri dari enam pembangunan lanjutan, yakni Waduk Marunda, Waduk Dukuh 2, Waduk Munjul, Waduk Cilangkap, revitalisasi embung Kaja, dan penyelesaian embung Pekayon, serta dua embung baru, yaitu embung SDN 01 Petukangan Selatan dan embung Jalan Pemuda Srengseng Sawah.
Selain itu, bergulir rencana normalisasi Kali Semongol, sodetan Kali Gendong, dan penurapan untuk mengantisipasi banjir di Jakarta Barat. Rencana ini masuk program prioritas tahun 2025.
Hendri menyebutkan, rencana normalisasi dan sodetan masih dalam tahap kajian. Setelah keluar hasil kajian, maka akan berlanjut dengan persiapan proses pekerjaan di lapangan.
”Untuk normalisasi Kali Semongol dan sodetan Kali Gendong sedang dikaji untuk perencanaannya,” ujar Hendri.
Dinas SDA DKI Jakarta juga rutin mengeruk kali, waduk, dan saluran air untuk mengangkat sedimen lumpur sehingga kapasitas saluran tetap optimal dalam menampung air, serta memasang sheet pile atau tanggul di sisi kali/sungai.
Pemasangan tanggul ini untuk menanggulangi tanah longsor di sekitar kali/sungai. Lokasi terpasang antara lain Kali Pesanggrahan, Jakarta Barat, dan Kali Sunter segmen Pompa Pulomas, Jakarta Utara.
Hujan harus dikelola dengan infrastruktur yang baik dan tepat.
Hendri menambahkan, upaya lainnya dengan mempercepat pembangunan tanggul pengaman pantai National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) Fase A. Tanggul tersebut untuk mengatasi banjir rob karena pasang laut di wilayah pesisir utara Jakarta.
”Pembangunan NCICD Fase A dilakukan di Muara Angke, Pantai Mutiara, Sunda Kelapa Kelapa-Ancol Barat, dan Kali Blencong (Kawasan Cilincing-Marunda),” kata Hendri.
Pengelolaan hujan
Sistem pengendalian banjir merupakan bagian dari pengelolaan hujan terpadu. Hujan dikelola untuk seluruh spektrumnya, mulai dari hujan ringan sampai hujan lebat.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengklasifikasikan intensitas curah hujan per hari sebagai berikut, kurang dari 5 mm (sangat ringan), 5-20 mm (hujan ringan), 20-50 mm (hujan normal/sedang), 50-100 mm (hujan lebat), lebih dari 100 mm (hujan sangat lebat).
Guru Besar Ilmu Hidrologi Fakultas Teknik Universitas Indonesia Dwita Sutjiningsih menuturkan, setiap klasifikasi hujan punya teknik pengelolaannya dan jenis infrastruktur untuk mengelolanya dengan benar. Hujan ringan hingga sedang pada umumnya lebih sering terjadi ketimbang hujan deras, seperti yang terekam di Stasiun Hujan FTUI, dengan rerata pencatatan 2003-2022 mencapai 67 persen.
”Hujan harus dikelola dengan infrastruktur yang baik dan tepat. Apalagi sepertiga hujan lebat yang menimbulkan genangan di sana-sini ini yang paling mudah untuk diributkan orang,” ujar Dwita.
Hujan sangat ringan sampai sedang ini dikelola dengan infrastruktur yang bersifat meresapkan air hujan ke dalam tanah sebagai sumber untuk mengisi kembali cadangan air tanah. Sementara infrastruktur untuk mengelola sepertiga hujan lebat dan sangat lebat dalam paradigma konvensional disebut sistem drainase.
Sistem drainase utama Jakarta, Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur, dirancang untuk kala ulang 100 tahunan, sedangkan alur-alur lainnya 25 tahunan sampai 50 tahunan. Tak heran saat hujan lebih lebih dari kala ulang, maka akan terjadi luapan yang menimbulkan genangan hingga banjir.
”Di Jakarta, terdapat sistem saluran yang hanya mengandalkan gaya gravitasi sehingga di bagian utara yang mana elevasi lahannya berada di bawah rerata muka air laut diperlukan bantuan pompa dan waduk yang dikenal sebagai sistem polder,” kata Dwita.
Sehubungan dengan normalisasi kali/sungai, dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia ini mengatakan, terminologi normalisasi bisa multitafsir. Dalam hidrologi teknik, normalisasi merupakan pengerukan sedemikian rupa sehingga penampang melintang sungai mampu untuk melalukan debit rencana.
Misalnya, segmen Kali Ciliwung di Pintu Air Manggarai, berdasarkan perhitungan Sistem Pengendalian Banjir Jakarta yang disusun oleh Netherlands Engineering Consultants (NEDECO) pada tahun 1973, untuk kala ulang 100 tahun sebesar 370 meter kubik per detik.
Namun, perlu dicatat bahwa kondisi tata guna lahan daerah aliran sungainya (DAS) adalah 1970-an. Artinya, setelah setengah abad berlalu sudah sangat jauh berbeda.
”Sebagian besar tutupan lahan telah menjadi lahan kedap air (permukiman, kawasan industri, dan jalan). Dengan demikian, untuk besaran hujan yang sama, akan menghasilkan debit yang jauh lebih besar. Apabila alur sungainya tidak dinormalisasi, maka tidak akan mampu melakukan debit yang jauh lebih besar,” ujar Dwi.